Mazhab: konsep, asal usul dan hukum bermazhab
Bermadzhab dalam Fiqh
Konsep, asal usul dan dasar hukum bermazhab
- Konsep Dasar Bermadzhab
Kata madzhab berasal dari suku kata ذهب yang berarti pergi. Madzhab adalah bentuk isim makan dan juga bisa menjadi isim zaman dari kata tersebut sehingga bermakna:
الطريق و مكان الذهاب وزمانه
“Jalan atau tempat untuk berjalan, atau waktu untuk berjalan”.
Ahmad ash-Shawi al-Maliki menyebutkan bahwa makna etimologi dari madzhab adalah:[1]
محل الذهاب كالطريق المحسوسة
“Tempat untuk pergi seperti jalanan secara fisik”. Sedangkan menurut istilah, madzhab adalah umpulan hukum yang berisi masalah-masalah hukum.[2] Sedangkan menurut az-Zarqani:[3]
ما ذهب إليه إمام من الأئمة في الأحكام الإجتهادية
“Pendapat yang diambil oleh seorang imam dan para imam dalam masalah yang terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah”.
Menurut Sjechul Hadi Permono, anggapan madzhab sebagai rujukan yang kaku, dan dijadikannya sebagai upaya pengidentitasan kelompok atau golongan adalah amat keliru. Hal ini membawa kepada ta‟ashshub madzhab (fanatik faham dan fanatik golongan), serta membangkitkan asumsi ketidakmungkinan untuk melakukan tajdid dan ijtihad dalam bidang fikih.[4]
Kata madzhab mempunyai dua arti:
Qaul (pendapat), yakni produk hukum seorang ahli
Manhâj(metode), yakni turuq al-istinbat, prosedur penetapan hukum dari seorang mujtahid.
Baca Juga:
Wajibkah kita bermazhab
Talfiq Antar Mazhab
Baca Juga:
Wajibkah kita bermazhab
Talfiq Antar Mazhab
Sejarah menunjukkan bahwa para ulama pengarang kitab pada umumnya bermadzhab dengan arti yang kedua (manhâj). Buktinya mereka banyak menelorkan qaul (pendapat) yang tidak ditawarkan oleh imam-imam madzhabnya, dan banyak aqwal (pendapat-pendapat) dari para imam dalam satu madzhab yang saling silang pendapat. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka hanya memakai manhajnya saja, tidak memakai qaul (produk hukum)-nya. Tegasnya mereka hanya memakai ushul dan qawa‟id fiqhiyyah-nya saja, tidak memakai fiqhnya. Bermadzhab dengan arti mengikuti manhâjjustru merupakan suatu aturan berpikir yang metodologis dan sistematis untuk mencapai suatu kebenaran ilmiah. Hal itu karena sesuai dengan metode ilmiah. Tanpa itu sesuatu yang dihasilkan tidak dapat dimasukkan dalam kategori kebenaran ilmiah, karena tidak melalui metode ilmiah.[5]
Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara/jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Maka makan, minum dan tidur bukan merupakan madzhab bagi seseorang atau sekelompok orang. Menurut para ulama dan ahli yang dinamakan madzhab adalah manhâj(metode) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikan madzhab sebagai pedoman yang jelas batasanbatasannya, bagian- bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.[6]
Berdasarkan pemaparan di atas, maka bermadzhab dalam fiqh dapat diartikan sebagai tindakan seseorang untuk mengikuti pendapat ulama tertentu dalam bidang fiqh atau furû‟. Dalam hal ini orang tersebut mengetahui dasar pemikiran dan argument pendapat ulama yang diikuti tersebut. Bermadzhab dengan tanpa mengetahui dasar-dasar atau argumentasi suatu putusan hukum imam madzhab tersebut disebut taqlid. Berkaitan dengan bermadzhab atau taqlid kepada ulama atau mujtahid tertentu memang tidak diatur dalam nash Sa‟îd Ramadhân al-Buti dalam kitabnya “al-La Madzhabiyyah: Akht}aru Bid‟atin Tuhaddidu al- Syarî‟ah al-Islâmiyah menyatakan bahwa tidak ada nash yang mengatur tentang taqlid. Namun demikian, taqlid disyariatkan dan ditetapkan. Selain itu, bagi orang yang bertaqlid berhak dan boleh untuk mengikuti madzhab tertentu.[7]
2. Asal-usul Bermadzhab
Pada periode Rasulullah tidak terjadi perbedaan pendapat dalam memberikan keputusan hukum terhadap suatu peristiwa sebab standar perundang-undangan masih satu. Pada masa ini seluruh jawaban untuk setiap persoalan umat diserahkan kepada Rasul. Pada masa ini juga terjadi keputusan-keputusan hukum yang bersifat ijtihadî yang dikeluarkan oleh para sahabat, namun semuanya dikembalikan kepada Rasul untuk disahkan atau dikoreksi.
Akan tetapi, pada periode sahabat, setelah munculnya pemuka-pemuka perundang-undangan di antara mereka, mulai timbullah perbedaan pendapat di kalangan mereka, sehingga dalam menetapkan hukum terhadap satu kejadian terdapat beberapa fatwa. Perbedaan pendapat ini terjadi sebab cara memahami maksud masing-masing teks berbeda-beda akibat perbedaan tingkat kecerdasan dan segi-segi tinjauannya, dan dalam soal sunnah. Kadang-kadang sebagian dari mereka berpegang kepada sunnah dan yang lain tidak berpegang kepadanya, sebab kepentingan-kepentingan yang harus dikeluarkan hukumnya pun berbeda-beda ukurannya, akibat perbedaan lingkungan. pemuka-pemuka perundangan itu sendiri. Fakta-fakta inilah yang menimbulkan perselisihan pemberian fatwa dan ketentuan hukum walaupun mereka sependirian dalam menetapkan sumber-sumber perundang-undangan dan urutan kembali mereka kepadanya, serta dalam hal prinsip-prinsip hukum yang umum. Dengan kata lain, mereka hanya berbeda dalam soal furû„ (cabang hukum) saja bukan dalam usus (pokok-pokok perundang-undangan) dan jenis- jenisnya.[8]
Pada abad kedua Hijriyah ketika kekuasaan perundang- undangan berpindah ke tangan angkatan para imam mujtahid, maka arena perbedaan pendapat di kalangan para pemuka- pemuka perundang-undangan semakin meluas, dan sebab-sebab perbedaan mereka pun tidak hanya terbatas pada tiga sebab yang menjadi pokok perbedaan pendapat di kalangan sahabat, bahkan sampai pada sebab-sebab yang berhubungan dengan sumber- sumber hukum, bertentangan hukum dan prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan untuk memahami nash. Dengan demikian, perselisihan mereka tidak hanya terbatas kepada fatwa-fatwa dan furû‟ (cabang-cabang) hukum saja, melainkan sudah terjadi pada usus (dasar-dasar) perundang-undangan dan garisnya. Hal ini menyebabkan setiap golongan dari mereka mempunyai suatu aliran hukum tertentu yang terbentuk dari hukum cabang yang mereka ambil (istinbat) dari garis perundang-undangan yang khusus.[9]
Perbedaan pendapat tentang garis perundang-undangan di kalangan para imam mujtahid itu bersumber pada perbedaan mereka mengenai tiga persoalan yakni:
Perbedaan tentang penetapan sebagian sumber-sumber perundang-undangan.
Perbedaan tentang pertentangan pengambilan hukum dari perundang-undangan.
Perbedaan tentang sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam memahami nash-nash.[10]
Perbedaan ini terus bertambah tajam sehingga masing- masing ulama yang diakui keilmuannya memiliki metode-metode istinbat sendiri serta keputusan-keputusan hukumnya yang berdiri sendiri. Dengan demikian, akhirnya timbul madzhab-madzhab dalam bidang fikih.
Jumlah madzhab fikih pada awalnya banyak sekali yang dimulai dengan bermunculannya banyak tokoh fikih dari kalangan sahabat dan tabi‟in, seperti „Aishah, „Abdullah bin Umar, Ibn Mas‟ud, Urwah bin Zubair, Abu Bakr bin Hisyam, Ibrahim al- Nakha‟i, Hasan al-Bas lainnya. Awal abad kedua hijriah sampai separuh abad keempat adalah abad keemasan bagi dunia ijtihad. Pada masa itu muncul tiga belas mujtahid yang madzhabnya dibukukan dan diikuti. Mereka adalah: Sufyan bin Uyainah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan al-Basri di Bashrah, Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsaury di Kufah, al-Auza‟iy di Syam, asy-Syafi‟i dan al-Laits bin Sa‟ad di Mesir. Kebanyakan dari mereka sekarang hanya ada dalam keterangan-keterangan berbagai kitab karena pengikutnya tidak ada.[11]
3. Hukum Bermadzhab
Sebagian ulama mengatakan bahwa komitmen dengan satu madzhab tertentu dan imam tertentu hukumnya harus. Karena ia yakin bahwa pendapat itu benar sehingga ia harus komitmen dengan keyakinannya. Sebagian besar ulama yang lain berpendapat bahwa tidak harus komitmen dengan satu imam tertentu dalam semua masalah dan hukum. Namun ia boleh bertaklid dengan imam mujtahid tertentu yang ia kehendaki.
Jika berkomitmen dengan satu madzhab tertentu, maka ia tidak wajib terus menerus mengikuti mereka dalam setiap masalah. Ia boleh berpindah dan memilih dari madzhab satu ke madzhab yang lain. Sebab ia hanya wajib mengikuti apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Sementara Allah dan Rasul- Nya tidak mewajibkan seseorang untuk mengikuti salah satu dari ulama. Allah hanya memerintahkan untuk mengikuti mereka secara umum tanpa mengkhususkan satu dari yang lain.
Ulama Ushuliyyûn berbeda pendapat mengenai hukum mengikuti salah satau Madzhab dalam fiqh (bermadzhab). Secara singkat pendapat mereka dapat dibagi menjadi tiga pendapat berikut:
Pertama, Sebagian Ulama memewajibkan umat Islam untuk mengikuti madzhab tertentu, karena adanya keyakinan bahwa madzhab tertentu adalah benar, maka wajib mengikuti kebenaran yang diyakini.
Kedua, Mayoritas Ulama Ushuliyyûn tidak mewajibkan mengikuti atau taqlid madzhab tertentu dalam menentukan hukum suatu permasalahan, tetapi diperbolehkan mengikuti ulama siapapun yang mereka kehendaki. Apabila seseorang mengkikuti madzhab imam tertentu, seperti Abu Hanifah, Syafi‟i dan lainnya, maka tidak wajib untuk terus mengikuti pendapat mereka, tapi diperbolehkan untuk berpindah madzhab dalam permasalahan tertentu. Alasan pendapat kedua ini, karena tidak ada kewajiban selain yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, sementara Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan kepada umat Islam untuk bermadzhab. Allah hanya memerintahkan umat Islam untuk mengikuti ulama dan menanykan kepada mereka mengenai hal-hal yang tidak diketahui.[12] Pendapat yang menyatakan kewajiban mengikuti madzhab tertentu malah akan menyulitkan seseorang padahal madzhab adalah keutamaan dan rahmat untuk umat. Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang râjih di kalangan ulama.
Ketiga, Al-Amidî dan Kamal bin al-Hammâm, apabila seseorang dalam memutuskan suatu permasalahan atau mengamalkan sesuatu mengikuti madzhab tertentu, maka tidak diperbolehkan baginya untuk berpindah madzhab dalam permasalahan tersebut. Ulama lain yang berpendapat demikian adalah al-Manshur Billah, Syaikh al-Hasan bin Muhammad, dan Syaikh Ah}mad bin Muhammad.[13]
Bermadzhab pada tataran furu‟ atau taqlid itu relevan hanya bagi orang yang tidak mempunyai kapasitas atau tidak memenuhi syarat mujtahid. Bagi orang semacam ini boleh, bahkan harus mengikuti ulama yang sudah mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Sementara itu, bagi orang yang mempunyai ilmu dan kapasitas untuk melakukan ijtihad maka dia tidak boleh taqlid. Artinya dia harus mendayagunakan segala ilmu dan kemampuannya untuk menggali dan menemukan hukum. Atau setidaknya ketika dia mengikuti pendapat seorang ulama atau mujtahid, maka dia harus mengetahui dalil dan argument ulama tersebut mengenai suatu permasalahan. Apabila mempunyai kemampuan untuk berijtihad, namun tidak dapat menemukan kaidah atau metode ijtihad, maka alangkah baiknya dia mengikuti metode madzhab tertentu, atau dengan kata lain bermadzhab secara metodologis (manhajî).
*tolong berikan komentar atau saran apa yang baik untuk admin bahas di postingan selanjutnya.
Jika tidak keberatan silahkan klik salah satu iklan di bawah sebagai bentuk dukungan anda kepada kami*
Terimakasih atas kunjungan anda
Catatan kaki:
[1] Ash-Shawi, Hasyiyah ash-Shawi „ala Syarh ash-Shaghir li ad-Dardiri, jilid 1, h. 16
[2] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, 1989, Beirut: Dār al-Fikr, I, h. 28
[3] Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani „ala Syarh al-Qani, h. 133
[4] Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi, 2002, Surabaya: Demak Press, h. 32
[5] Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi, 2002, Surabaya: Demak Press, h. 32
[6] Dikutip oleh Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 5
[7] Ramadhan al-Buti, al-Madzhabiyyah: Akht}aru Bid‟atin Tuhaddidu al-Syarî‟ah al Islâmiyyah, (Damaskus: Dâr al-Fârâbî, 2005), h. 95
[8] Abdul Wahab Khalaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, 2000, Bandung: CV Pustaka Setia, h. 79-80
[9] Abdul Wahab Khalaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, 2000, Bandung: CV Pustaka Setia, h. 79-80
[10] Abdul Wahab Khalaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, 2000, Bandung: CV Pustaka Setia, h. 79-80
[11] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, 1989, Beirut: Dār al-Fikr, I, h. 28
[12] Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui (QS. Al-Anbiya‟ : 7)
[13] Ibnu Wazir, al-Raudh al-Basim, (CD al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), II/243.
loading...
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak