Talfiq antar mazhab
Konsep Dasar Talfīq
Diskursus talfīq muncul dan menjadi perdebatan dikalangan ulama fiqh seiring dengan semakin meluasnya pola pikir taqlid umat Islam. Istilah talfīq sendiri dimunculkan oleh ulama‟ muta‟akhirin, setelah abad ke 10 H.[1] Hal itu merupakan imbas dari kuatnya perasaan taqlid yang ditanamkan ulama madzhab pada saat itu dan mengharamkan seorang pengikut madzhab tertentu untuk mengambil pendapat madzhab lain.[2]
Secara etimologi kata talfīq (التلفيق) berasal dari kata تلفيقا - يلفق - لفق - yang bermakna adh-dhammu (الظمُّ) dan al-jam‟u ( الجَمْعُ ), keduanya dapat diartikan mengumpulkan atau menggabungkan. Dalam bahasa Arab menggabungkan ujung kain dengan ujung kain yang lain untuk dijahit dinamakan lafqu al-tsaubi (لفق الثوب)[3] Dengan demikian dapat dipahami istilah talfīq dalam bermadzhab secara bahasa berarti menggabungkan pendapat suatu madzhab fiqh dengan madzhab fiqh yang lain.
Pengertian talfīq secara terminologi sendiri banyak ragam definisi yang diberikan oleh para ulama. Untuk lebih jelasnya terkait pendefinisian talfīq, di bawah ini penulis uraikan definisi talfīq dalam pandangan para ulama.
Wahbah al-Zuhaili[4]
Bertaqlid kepada madzhab-madzhab serta mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu percampuran „amaliyah yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun dari para imam mujtahid.
Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili[5]
Talfīq adalah mengumpulkan dua pendapat atau lebih dalam satu rangkaian hukum (qadliyah)[6] yang menimbulkan suatu tata cara „amaliyah yang keberadaannya tidak diakui oleh masing-masing pemilik madzhab yang bersangkutan.
Ibrahim Hosen[7]
Talfīq adalah beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua madzhab atau lebih.
Amir Syarifudin[8]
Talfīq adalah mengamalkan atau beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa madzhab.
Dari beberapa definisi talfīq yang diberikan oleh para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa talfīq merupakan penggabungan pendapat-pendapat berbagai madzhab fiqih dalam suatu permasalahan amaliyah yang keberadaannya tidak mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari madzhab-madzhab terkait.
Baca Juga:
Wajibkah kita bermazhab
Mazhab: konsep, asal usul dan hukum bermazhab
Baca Juga:
Wajibkah kita bermazhab
Mazhab: konsep, asal usul dan hukum bermazhab
Kontroversi Hukum Talfīq
Keberadaan talfīq menjadi perdebatan dikalangan ulama ushūl maupun ulama fiqh, perbedaan itu muncul terkait boleh tidaknya melakukan talfīq antar madzhab. Berdasarkan hasil penelitian Ibrahim Hosen, beliau berkesimpulan bahwa perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam masalah talfīq bersumber dari masalah boleh dan tidaknya seseorang berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain.[9] Terkait pandangan ulama tentang boleh tidaknya talfīq, di bawah ini penulis klasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu pendapat yang melarang, dan pendapat yang membolehkan.
Pendapat yang Melarang
Pada umumnya ulama yang melarang talfīq antar madzhab dilakukan secara tegas dan mutlak. Dalam arti, talfīq tidak boleh dilakukan dalam situasi dan kondisi apapun. Salah satu pelopor ulama yang melarang talfīq adalah Imam Qaffal,[10] dan diikuti ulama Asy-Syinqithi, Al-Mu‟lama yang lain, seperti: Abdul Ghani An-Nabulsi, As-Saffarini, Al-A‟lawi, Al-Muthi‟i, dan Syeikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi.[11]
Adapun argumentasi yang dijadikan pegangan oleh para ulama yang melarang talfīq adalah sebagai berikut:[12]
Pertama, mencegah kehancuran. Pelarangan talfīq merupakan upaya untuk mencegah kerusakan di dalam tubuh Syari‟at Islam dan kehancuran berbagai madzhab fiqih yang ada dan telah mapan. Sebab talfīq tidak lain pada hakikatnya adalah semacam kompilasi pendapat berbagai madzhab fiqih yang sudah mapan, apabila pendapat-pendapat madzhab yang merupakan hasil ijtihad para ulama mujtahid itu dikompilasikan satu sama lain, maka dengan sendirinya semua madzhab yang ada akan menjadi hilang.
Kedua, kaidah kebenaran hanya satu. Hakikat kebenaran disisi Allah, Swt., hanya satu dan itu merupakan prinsip yang dipegang teguh oleh umat Islam. Pelegitimasian talfīq merupakan bentuk pertentangan terhadap prinsip tersebut. Karena prinsip talfīq adalah memandang bahwa pendapat semua mujtahid adalah benar, padahal dalam realitasnya para mujtahid berbeda pendapat satu sama lain.
Ketiga, tidak ada nash yang membolehkan. Ketiadaan nash atau dalil yang melegitimasi kebenaran untuk melakukan talfīq antar madzhab, baik dalam al-Qur‟an maupun hadits Nabi, Saw., sendiri. Dan tidak adanya contoh dari para ulama salaf sebelumnya dalam melakukan talfīq antar madzhab. Apabila ditemukan ada sebagian ulama salaf yang sekilas seperti melakukan talfīq, namun sebenarnya itu hanya anggapan generasi setelahnya yang menganggapnya sebagai talfīq, akan tetapi pada hakikatnya bukan talfīq.
Dengan argumentasi-argumentasi diatas, bagi kelompok ini, pelarangan talfīq bersifat mutlak dan mengikat tanpa alasan apapun dalam segala kondisi maupun situasi, melakukan talfīq adalah hal terlarang bagi pengikut madzhab maupun mujtahid sendiri.
Pendapat yang Membolehkan
Mayoritas ulama dari berbagai madzhab fiqih maupun ushul fiqh berpendapat bahwa talfīq boleh dilakukan dalam mengamalkan suatu pendapat. Salah satu pelopor yang berpendapat tentang kebolehan melakukan talfīq adalah al-Kamal bin Hammam dari Madzhab Hanafi.[13] Kemudian diikuti ulama-ulama lain dari berbagai madzhab, seperti: Imam al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dan Ibnu Urfah al-Wargami at-Tunisi atau Ibnu Urfah al-Maliki keduanya dari madzhab Maliki, dan sebagian ulama madzhab Syafi‟i.[14]
Argumentasi para ulama yang berpendapat tentang kebolehan melakukan talfīq adalah firman Allah, Swt.:
...وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ ...
Terjemahnya:
“...dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan...” (QS. Al-Hajj: 78)
Juga hadits Nabi, Saw.:
“Tidaklah Rasulullah saw. diberi pilihan antara dua hal, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, jika itu tidak perkara dosa. Jika itu perkara dosa, maka beliau paling menjahui dari perkara itu dibandingkan manusia siapapun.” (HR. Bukhari-Muslim).
Ulama fiqih (fuqaha) sendiri berpendapat bahwa talfīq dapat dilakukan pada hukum-hukum furu‟ (cabang) yang ditetapkan berdasarkan dalil dhanni (kebenarannya tidak pasti). Sedangkan dalam permasalahan dasar syari‟at, seperti akidah, akhlaq, dan permasalahan agama yang bersifat qath‟i, tidak termasuk dalam ruang lingkup talfīq. Sebab dalam semua permasalahan tersebut, tidak berlaku taqlid, bahkan juga bukan termasuk ruang lingkup ijtihad yang memunculkan kontroversi pendapat.[15]
Statemen para ulama yang memperbolehkan pelaksanaan talfīq sendiri tidaklah secara mutlak, para ulama memberikan ketentuan-ketentuan dibolehkannya memilih pendapat yang termudah dalam mengamalkan suatu ajaran agama. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:[16]
Mengambil cara yang termudah tersebut harus disebabkan karena adanya udzur. Dalam hal ini Imam Ghazali mengatakan bahwa, talfīq tidak boleh didasarkan pada keinginan mengambil yang termudah dengan dorongan hawa nafsu, dan hanya boleh apabila adanya udzur atau situasi yang menghendakinya.
Talfīq tidak boleh dilakukan apabila akan berdampak kepada pembatalan terhadap keputusan hakim, karena apabila hakim telah menentukan suatu pilihan hukum dari beberapa pendapat tentang suatu masalah, maka hukum itu wajib ditaati.
Talfīq yang akan mengakibatkan pencabutan suatu perbuatan yang telah dilakukan dengan bertaqlid pada madzhab lain. Atau talfīq yang akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hasil penetapan ijma‟. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya kamu jelas tertalak, dan suami tersebut berkeyakinan bahwa talaknya jatuh tiga kali karena ia mengikuti pendapat ulama yang mengatakan itu, dan ia juga menganggap istrinya haram atau tidak boleh dirujuk. Namun, setelah kejadian itu, ia berubah keyakinan dan menganggap bahwa talaknya jatuh hanya satu, sehingga ia boleh merujuk istrinya, hal tersebut karena ia mengikuti pendapat ulama lain yang mengatakan bahwa talaknya hanya jatuh satu kali. Dalam kasus ini, maka ia wajib tetap berpegang kepada pendapat pertama, artinya status istrinya tersebut tidak boleh dirujuk kembali dengan keyakinannya yang baru.
Catatan kaki:
[1] Wahbah al-Zuhayli, Ushūl al-Fiqh ... hal. 1142
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hal. 1786
[3] Fairuz Abadi, Al-Qamus al-Muhith, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, Tt, hal. 1190-1191
[4] Wahbah al-Zuhaily, Ushūl al-Fiqhal...hal. 1142
[5] Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili, Tanwir al-Qulub fi Mu‟amalati „Allam al-Ghuyub, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, hal. 356
[6] Qadliyah adalah sesuatu yang terdiri dari syarat, rukun, dan mubthilat (hal-hal yang membatalkan). Talfīq dalam satu qadliyah misalkan talfīq dalam masalah wudhu atau shalat. Lihat, Majelis Musyawarah Pondok Pesantren, 112 Masalah Agama, Kediri: MMPP, 1993, hal. 69
[7] Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan...hal. 35
[8] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. 427
[9] Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan ...hal. 36
[10] Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan..h. 36
[11] Lihat, Ahmad Sarwat, Ilmu Fiqh, Jakarta: DU Publishing, 2011, hal. 255-256
[12] Ahmad Sarwat, Ilmu Fiqih...hal. 255-256
[13] Lihat, Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan...h. 36
[14] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum ... hal. 1786
[15] Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh...hal. 1151
[16] Lihat, Wahbah al-Zuhaily, Ushūl Fiqh...hal. 1148. Juga lihat, Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum ... hal. 1786
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak