Hukum Islam (hukum syara') dan unsur-unsurnya


HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA

HUKUM

1. Pengertian Hukum
Pengertian hukum, dapat Anda telaah dari asal kata hukum itu sendiri. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum”, yang secara etimologi berarti “memutuskan”, “menetapkan”, dan “menyelesaikan”. Dalam arti yang sederhana, hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluurh anggotanya1
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:
خطاب اللّه المتعلق بأفعال المكلفين اقتضلء اوتخييرا اوضعا
Artinya, “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan oran dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sesuai sebab, syarat dan penghalang”.
“Khithab Allah” dalam definisi di atas adalah kalam Allah atau titah Allah yang melekat dalam dirinya, bersifat azali; tidak ada awalnya. Ini disebut jenis (genus) dalam definisi. Sebagaimana sifat suatu jenis ia berbentuk umum yang mencakup segala firman Allah dalam al-Quran (Amir Syarifuddin, 2008: 309). Yang dimaksud khithab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik al-Qur’an, al-Sunnah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan qiyas. Namun para ulama ushul kontemporer, seperti Hasballah dan Abd. Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil di sini hanya al-Qur’an dan al-Sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah tersebut. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.2 Kata “yang menyangkut tindak tanduk orang mukallaf” dalam definisi ini disebut fasal (differentium pertama) dengan fungsi mengeluarkan dari definisi hukum syara’ segala firman Allah yang tidak menyangkut tindak tanduk mukallaf seperti firman Allah tentang penciptaan alam dan tentang kebesaran serta rahmat Allah untuk hamba-Nya.3 Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan serta ucapan, seperti gibah (menggunjing) dan namimah (mengadu-domba).4
Kata “dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan” disebut fasal (differentium kedua) yang keluar dengan menyebutkan fasal ini firman Allah yang juga menyangkut perbuatan mukallaf tetapi tidak berbentuk tuntutan, pilihan atau ketentuan seperti firman Allah tentang mimpi nabi Ibrahim menyembelih anaknya, kisah Nabi Yusuf dan lainnya.5
Yang dimaksud dengan imperative (iqtidha’) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntuan itu bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud takhyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama.
Sementara yang dimaksud wadh’i (mendudukkan sesuautu) adalah memposisikan sesuatu sebagai penghubunga hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang. Definisi hukum di atas merupakan definisi hukum sebagai kaidah, yakni patokan perilaku manusia.6

2. Pembagian Hukum
Bertiitk tolak pada definisi hukum di atas, Anda dapat menelaah bahwa hukum menurut ulama ushul terbagi dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
a.    Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.7 Hukum taklifi berbentuk tuntutan atau pilihan. Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi dua, yaitu tuntutan untuk memperbuat dan tuntutan untuk mneinggalkan. Sedangkan dari segi bentuk tuntitan juga terbagi kepada dua, yaitu tuntutan secara pasti dan tuntutan tidak secara pasti. Adapun pilihan terletak antara memperbuat dan meninggalkan.8 Contoh firman Allah Q.S. al-Nur ayat 56 yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ٥٦
Artinya, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi rahmat”.

Contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 188 yang bersifat menuntut meningalkan perbatan:
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨
Artinya, “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan batil..........”.

Contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 187 yang bersifat memilih (fakultatif):

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧
Artinya, “........Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..........”.
Dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi terdapat dua golongan ulama. Pertama, bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur Ulama Ushul Fiqh/Mutakallimin, kedua bentuk-bentuk hukum taklifi menurut ulama Hanafiyah.
Menurut jumhur ulama ushul fiqh, bentuk-bentuk hukum taklifi itu ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah, dan tahrim. Kelimanya akan dijelaskan berikut ini:
1)        Ijab yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Mislanya, dalam surat al-Nur ayat 56 dinyatakan:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ .....٥٦
Artinya, “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…”
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafdz ‘amr, yang menurut para ahli Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut itu (mendirikan shalat dan membayar zakat) disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab, menurut ulama ushul Fiqh, terkait dengan khithab (tuntutan Allah), yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.
2)        Nadb, yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran sehingga seeorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya dalam surat al-baqarah ayat 282 sbb.:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ ..... ٢٨٢
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....”.

Lafadz faktubu (maka tuliskanlah olehmu) dalam ayat itu pada dasarnya mengndung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut, yaitu ayat 283 surat al-Baqarah sebagai berikut:
 ۞.... فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ .... ٢٨٣

Artinya, “.....Akan tetapi apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya.....”.

Tunututan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang-piutang disebut mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di atas disebut nadb.
3)        Ibahah, yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut:
.... وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ .... ٢
Artinya, “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibada haji, maka bolehlah kamu berburu”.

Ayat ini juga menggunakan lafadz ‘amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini juga disebut ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
4)        Karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya, sabda Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:  Yang artinya, “perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak”.
Khithab hadits ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab itu disebut makruh.
5)        Tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, firmna Allah dalam surat al-An’am ayat 151 sebagai berikut:
۞..... وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ... ١٥١
Artinya, “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah”.
Lima macam hukum taklifi di atas disebut “hukum yang lima” atau al-ahkam alkhamsah. Mengenai tuntutan mengerjakan dalam bentuk pasti, jumhur ulama tidak membedakan kekuatan dalil yang menetapkannya. Dengan demikian, hukum yang muncul dalam bentuk ini hanya satu, yaitu wajib.
Adapun bentuk hukum taklifi menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam, yaitu:
1)        Iftiradh, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil qath’i. Misalnya, tuntutan untuk melaksanakan shalat dan membayar zakat. Ayat dan hadits yang mengandung tuntutan mendirikan shalat dan membayar zakat sifatnya adalah qath’i.
2)        Ijab, yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi mellaui dalil yang bersifat dzanni (relative benar). Misalnya, kewajiban membayar zakat fitrah, membaca al-Fatihah dalam shalat, dan ibadah kurban. Perbuatan-perbuatan seperti ini, menurut ulama Hanafiyah, tuntutannya bersifat ijab dan wajib dilaksankaan, tetapi kewajibannya didasarkan atas tuntutan yang zhanni.
3)        Nadb, maksudnya sama dengan yang dikemukakan Jumhur ulama ushul Fiqh di atas.
4)        Ibahah, maksudnya sama dengan yang dikemukakan Jumhur ulama ushul Fiqh di atas.
5)        Karahah tanzihiyyah, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya larangan berpuasa pada hari Jumat. Karahah tanzihiyyah di kalangan Hanafiyah sama pengertiannya dengan karahah di kalangan Jumhur ulama Ushul Fiqh.
6)        Karahah Tahrimiyyah, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Apabila pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan itu dikerjakan, maka ia dikenakan hukuman. Hukum ini sama dengan haram yang dikemukakan Jumhur Ulama Ushul Fiqh.
7)        Tahrim, yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan didasarkan pada dalil yang qath’i. Misalnya, larangan membunuh orang seperti yang dikemukakan surat al-Isra ayat 23, dan berbuat zina, seperti yang dikemukakan surat al-Nur ayat 2. 9

Perbedaan pembagian hukum taklifi antara jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin dengan ulama Hanafiyah bertolak dari sisi kekuatan dalil. Ulama Hanafiyah memerinci lagi tuntutan pasti dari segi kekuatan dalilnya menjadi dua, yaitu: (1) Tuntutan mengerjakan ssecara pasti ditetapkan melalui dalil yang qath’i atau pasti, yang disebut fardlu; dan (2) bila dalil yang menetapkannya bersifat tidak pasti (zhanni), hukumnya disebut wajib.
Ulama Jumhur menganggap wajib itu identik dengan fardlu pada umumnya. Di kalangan ulama Hanafiyah terlihat adanya pengaruh pembedaan antara wajib dengan fardlu itu. Meninggalkan yang fardlu menyebabkan akibat bathal-nya perbuatan yang di-fardlu-kan itu. Umpamanya, tidak membaca ayat-ayat al-Quran dalam shalat. Keharusan membaca al-Quran didasarkan kepada dalil yang qath’i, yaitu firman Allah dalam surat al-Muzammil ayat 20 sbb.:
۞.... فَٱقۡرَءُواْ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِۚ .... ٢٠
Artinya, “Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran”.
Sedangkan bila yang wajib ditinggalkan tidak menyebabkan bathalnya perbuatan, hanya saja orang yang meninggalkannya berdosa karena tidak menjalankan perintah. Umpamanya membaca surat fatihah dalam shalat yang ditetapkan dengan sabda Nabi: yang artinya, “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah”.
Fardlu di kalangan ulama Jumhur disamakan dengan rukun. Jumhur ulama tidak membedakan antara wajib dengan rukun atau fardlu, kecuali dalam ibadah haji.10

b.         Hukum Wadl’i
Hukum wadh’i bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.11 Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam hukum ia disebut pertimbangan hukum.12
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditunjukkan bahwa hukum wadh’i itu ada 3 macam, yaitu sebab, syarat dan mani’ (penghalang).
1)        Sebab, menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan illat, walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan illat.
Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain, seperti yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ .... ٧٨
Artinya, “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergeincir”.

Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat. Dengan demikian, terlihat keteraitan hukum wadh’i (dalam hal ini ada sebab) dengan hukum taklifi, sekalipun keberadaan hukum taklifi itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama Ushul Fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash bukan buatan manusia.
2)        Syarat, yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.Oleh karena itu, suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’.
Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagi syarat, seperti terdapat pada surat al-Nisa ayat 6:
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ .... ٦
Artinya, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa)”.

Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menajdi syarat hilangnya perwalian atas dirinya. Contoh lain adalah wdlu’ sebagai salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudlu. Akan tetapi apabila seseorang berwudlu’, ia tidak harus menjalankan shalat.
3)        Mani’ (penghalang), yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Contoh khithab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang, seperti terdapat dalam Hadits Rasulullah saw. berikut: yang artinya, “Pembunuh tidak mendapat waris”.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan. Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenhinya syarat-syarat. Syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang dalam melaksanakannya.
Sebaliknya, hukum tidak ada apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya halangan untuk mengerjakannya. Misalnya, shalat zhuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir matahari (sebab) dan elah berwudlu’ (syarat), tetapi karena orang yang mengerjakan shalat itu sedang haidl (mani’/penghalang), maka shalat zhuhur itu tidak sah dikerjakan. Demikian juga apabila syarat terpenuhi (telah berwudlu’) tetapi penyebab wajibnya shalat zhuhur belum muncul (matahari belum tergelincir), maka shalat pun belum wajib. Termasuk ke dalam kelompok hukum wadh’i juga hal-hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi dalam hubungannya dengan hukum wadh’i, yaitu:
4)        Shihhah, yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan shalat zhuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudlu (syarat) serta tidak ada penghalang (tidak ada haidh, nifas dan sebagainya), maka pekerjaan yang dilakasnakan itu hukumnya sah. Sebaliknya jika sebab tidak ada da syaratnya tidak terpenuhi, sekaliun mani’ nya tidak ada, maka shalat itu tidak sah.
5)        Bathal, yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya, memperjual-belikan minuman keras. Akad ini dipandang bathal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
6)         ‘Azimah, yaitu hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Misalnya, jumlah rakaat shalat zhuhur adalah empat rakaat. Jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada ukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat zhuhur. Hukum tentang rakaat shalat zzhuhur adalah empat rakaat disebut ‘azimah.
7)        Rukhshah adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena udzur, mislanya kebolehan mengerjakan shalat zhuhur dua rakaat bagi para musafir, maka hukum itu disebut rukhshah..

3. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadl’i

Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadl’i, antara lain:
a.         Dalam hukum al-taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wadl’i, hal ini tidak ada, melainkan. mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara dapat dijadikan sebab, syarat, atau penghalang.
b.        Hukum al-taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-Wad’I tidak diamksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum al-Wadl’I ditentukan agar hukum al-taklif dapat dilaksanakan;
c.         Hukum al-taklifi harus sesuai dnegan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum al-taklif tidak boleh ada kesulitan (masyaqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum al-wadl’i hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqah dan haraj dalam hukum al-wadl’i adakalanya dapa dipikul mukallaf, seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan, dan adakalanya di luar kemampuan mukalaf, seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat zhuhur.
d.        Hukum al-taklifi ditujukan kepada para mukallaf, sedangkan hukum al-wadl’i dutujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.13


Daftar pustaka
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: 307
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999. H. 295
Amir Syarifuddin, , Ushul Fiqh,h.  309
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, h.  295
Amir Syarifuddin, , Ushul Fiqh,h.  309
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, h.  295-296
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, h.  296
Amir Syarifuddin, , Ushul Fiqh,h.  310
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, h.  301-302
Amir Syarifuddin, , Ushul Fiqh,h.  312
Amir Syarifuddin, , Ushul Fiqh,h.  313
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, h.  312
Racmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: h 316 & Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1998: h 250-251

Komentar

Postingan Populer