Hukum Islam (hukum syara') dan unsur-unsurnya
HUKUM
SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA
HUKUM
1. Pengertian Hukum
Pengertian hukum, dapat Anda telaah dari asal kata hukum itu sendiri.
Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum”, yang secara etimologi berarti
“memutuskan”, “menetapkan”, dan “menyelesaikan”. Dalam arti yang sederhana,
hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan
dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat
untuk seluurh anggotanya1
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:
خطاب اللّه المتعلق بأفعال المكلفين اقتضلء اوتخييرا اوضعا
Artinya, “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan oran dewasa dan berakal
sehat, baik bersifat imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sesuai
sebab, syarat dan penghalang”.
“Khithab Allah” dalam definisi di atas adalah kalam Allah atau titah Allah
yang melekat dalam dirinya, bersifat azali; tidak ada awalnya. Ini disebut
jenis (genus) dalam definisi. Sebagaimana sifat suatu jenis ia berbentuk umum
yang mencakup segala firman Allah dalam al-Quran (Amir Syarifuddin, 2008: 309).
Yang dimaksud khithab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil,
baik al-Qur’an, al-Sunnah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan qiyas. Namun
para ulama ushul kontemporer, seperti Hasballah dan Abd. Wahab Khalaf
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil di sini hanya al-Qur’an dan
al-Sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari
al-Qur’an dan Sunnah tersebut. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada
kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.2
Kata “yang menyangkut tindak tanduk orang mukallaf” dalam definisi ini disebut
fasal (differentium pertama) dengan fungsi mengeluarkan dari definisi hukum
syara’ segala firman Allah yang tidak menyangkut tindak tanduk mukallaf seperti
firman Allah tentang penciptaan alam dan tentang kebesaran serta rahmat Allah
untuk hamba-Nya.3 Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan
mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat
meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan serta ucapan, seperti gibah
(menggunjing) dan namimah (mengadu-domba).4
Kata “dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan” disebut fasal
(differentium kedua) yang keluar dengan menyebutkan fasal ini firman Allah yang
juga menyangkut perbuatan mukallaf tetapi tidak berbentuk tuntutan, pilihan
atau ketentuan seperti firman Allah tentang mimpi nabi Ibrahim menyembelih
anaknya, kisah Nabi Yusuf dan lainnya.5
Yang dimaksud dengan imperative (iqtidha’) adalah tuntutan untuk
melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya yakni
melarang, baik tuntuan itu bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang
dimaksud takhyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu
atau meninggalkannya dengan posisi yang sama.
Sementara yang dimaksud wadh’i (mendudukkan sesuautu) adalah
memposisikan sesuatu sebagai penghubunga hukum, baik berbentuk sebab, syarat,
maupun penghalang. Definisi hukum di atas merupakan definisi hukum sebagai
kaidah, yakni patokan perilaku manusia.6
2. Pembagian Hukum
Bertiitk tolak pada definisi hukum di atas, Anda dapat menelaah bahwa
hukum menurut ulama ushul terbagi dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan
hukum wadh’i.
a.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah
firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu
atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.7 Hukum taklifi
berbentuk tuntutan atau pilihan. Dari segi apa yang dituntut, taklifi terbagi
dua, yaitu tuntutan untuk memperbuat dan tuntutan untuk mneinggalkan. Sedangkan
dari segi bentuk tuntitan juga terbagi kepada dua, yaitu tuntutan secara pasti
dan tuntutan tidak secara pasti. Adapun pilihan terletak antara memperbuat dan
meninggalkan.8 Contoh firman Allah Q.S. al-Nur ayat 56 yang bersifat
menuntut untuk melakukan perbuatan:
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ
تُرۡحَمُونَ ٥٦
Artinya, “Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi rahmat”.
Contoh firman Allah Q.S.
al-Baqarah ayat 188 yang bersifat menuntut meningalkan perbatan:
وَلَا
تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ
لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ
تَعۡلَمُونَ ١٨٨
Artinya, “Janganlah kamu
memakan harta di antara kamu dengan jalan batil..........”.
Contoh firman Allah Q.S.
al-Baqarah ayat 187 yang bersifat memilih (fakultatif):
أُحِلَّ
لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ
وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ
أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ
مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ
ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ
إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ
تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ
ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧
Artinya, “........Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..........”.
Dalam menjelaskan
bentuk-bentuk hukum taklifi terdapat dua golongan ulama. Pertama, bentuk-bentuk
hukum taklifi menurut jumhur Ulama Ushul Fiqh/Mutakallimin, kedua bentuk-bentuk
hukum taklifi menurut ulama Hanafiyah.
Menurut jumhur ulama
ushul fiqh, bentuk-bentuk hukum taklifi itu ada lima macam, yaitu ijab, nadb,
ibahah, karahah, dan tahrim. Kelimanya akan dijelaskan berikut ini:
1)
Ijab yaitu tuntutan syar’i yang
bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang
meninggalkannya dikenai sanksi. Mislanya, dalam surat al-Nur ayat 56
dinyatakan:
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ .....٥٦
Artinya, “Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat…”
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafdz
‘amr, yang menurut para ahli Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban
mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan
perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang
dituntut itu (mendirikan shalat dan membayar zakat) disebut dengan wajib. Oleh
sebab itu, istilah ijab, menurut ulama ushul Fiqh, terkait dengan khithab
(tuntutan Allah), yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat dari
khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.
2)
Nadb, yaitu tuntutan untuk
melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai
anjuran sehingga seeorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang
meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu
disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya dalam
surat al-baqarah ayat 282 sbb.:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ
..... ٢٨٢
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya....”.
Lafadz faktubu (maka tuliskanlah olehmu)
dalam ayat itu pada dasarnya mengndung perintah (wujub), tetapi terdapat
indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam
kelanjutan dari ayat tersebut, yaitu ayat 283 surat al-Baqarah sebagai berikut:
۞.... فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا
فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ .... ٢٨٣
Artinya, “.....Akan tetapi apabila
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya.....”.
Tunututan wujub dalam ayat itu, berubah
menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu
Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang
tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb,
sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang-piutang
disebut mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di atas disebut nadb.
3)
Ibahah, yaitu khithab Allah yang
bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat
secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan
perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, firman Allah dalam
surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut:
.... وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ .... ٢
Artinya, “Apabila kamu telah selesai
melaksanakan ibada haji, maka bolehlah kamu berburu”.
Ayat ini juga menggunakan lafadz ‘amr
(perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang
memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah, dan
akibat dari khithab ini juga disebut ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh
dipilih itu disebut mubah.
4)
Karahah, yaitu tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi
yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang
dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan
seperti ini disebut juga karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb.
Misalnya, sabda Nabi Muhammad saw. sebagai berikut: Yang artinya, “perbuatan halal yang paling
dibenci oleh Allah adalah talak”.
Khithab hadits ini disebut karahah dan
akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah, sedangkan perbuatan yang
dikenai khithab itu disebut makruh.
5)
Tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak
mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan
ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram.
Misalnya, firmna Allah dalam surat al-An’am ayat 151 sebagai berikut:
۞..... وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي
حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ... ١٥١
Artinya, “Jangan kamu membunuh jiwa yang
telah diharamkan Allah”.
Lima macam hukum taklifi di atas disebut “hukum yang lima” atau
al-ahkam alkhamsah. Mengenai tuntutan mengerjakan dalam bentuk pasti, jumhur
ulama tidak membedakan kekuatan dalil yang menetapkannya. Dengan demikian,
hukum yang muncul dalam bentuk ini hanya satu, yaitu wajib.
Adapun bentuk hukum taklifi menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam,
yaitu:
1)
Iftiradh, yaitu tuntutan Allah
kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil qath’i.
Misalnya, tuntutan untuk melaksanakan shalat dan membayar zakat. Ayat dan
hadits yang mengandung tuntutan mendirikan shalat dan membayar zakat sifatnya
adalah qath’i.
2)
Ijab, yaitu tuntutan Allah yang bersifat
memaksa kepada mukallaf untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi mellaui
dalil yang bersifat dzanni (relative benar). Misalnya, kewajiban membayar zakat
fitrah, membaca al-Fatihah dalam shalat, dan ibadah kurban. Perbuatan-perbuatan
seperti ini, menurut ulama Hanafiyah, tuntutannya bersifat ijab dan wajib
dilaksankaan, tetapi kewajibannya didasarkan atas tuntutan yang zhanni.
3)
Nadb, maksudnya sama dengan yang
dikemukakan Jumhur ulama ushul Fiqh di atas.
4)
Ibahah, maksudnya sama dengan yang
dikemukakan Jumhur ulama ushul Fiqh di atas.
5)
Karahah tanzihiyyah, yaitu
tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi
tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya larangan berpuasa pada hari Jumat.
Karahah tanzihiyyah di kalangan Hanafiyah sama pengertiannya dengan karahah di
kalangan Jumhur ulama Ushul Fiqh.
6)
Karahah Tahrimiyyah, yaitu
tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara
memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Apabila pekerjaan yang dituntut
untuk ditinggalkan itu dikerjakan, maka ia dikenakan hukuman. Hukum ini sama
dengan haram yang dikemukakan Jumhur Ulama Ushul Fiqh.
7)
Tahrim, yaitu tuntutan Allah
kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan
didasarkan pada dalil yang qath’i. Misalnya, larangan membunuh orang seperti
yang dikemukakan surat al-Isra ayat 23, dan berbuat zina, seperti yang
dikemukakan surat al-Nur ayat 2. 9
Perbedaan pembagian hukum taklifi antara jumhur ulama ushul
fiqh/mutakallimin dengan ulama Hanafiyah bertolak dari sisi kekuatan dalil.
Ulama Hanafiyah memerinci lagi tuntutan pasti dari segi kekuatan dalilnya
menjadi dua, yaitu: (1) Tuntutan mengerjakan ssecara pasti ditetapkan melalui
dalil yang qath’i atau pasti, yang disebut fardlu; dan (2) bila dalil yang
menetapkannya bersifat tidak pasti (zhanni), hukumnya disebut wajib.
Ulama Jumhur menganggap wajib itu identik dengan fardlu pada umumnya.
Di kalangan ulama Hanafiyah terlihat adanya pengaruh pembedaan antara wajib
dengan fardlu itu. Meninggalkan yang fardlu menyebabkan akibat bathal-nya
perbuatan yang di-fardlu-kan itu. Umpamanya, tidak membaca ayat-ayat al-Quran
dalam shalat. Keharusan membaca al-Quran didasarkan kepada dalil yang qath’i,
yaitu firman Allah dalam surat al-Muzammil ayat 20 sbb.:
۞.... فَٱقۡرَءُواْ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِۚ
.... ٢٠
Artinya, “Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran”.
Sedangkan bila yang wajib ditinggalkan tidak menyebabkan bathalnya
perbuatan, hanya saja orang yang meninggalkannya berdosa karena tidak
menjalankan perintah. Umpamanya membaca surat fatihah dalam shalat yang
ditetapkan dengan sabda Nabi: yang artinya, “Tidak sah shalat orang yang tidak
membaca al-Fatihah”.
Fardlu di kalangan ulama Jumhur disamakan dengan rukun. Jumhur ulama
tidak membedakan antara wajib dengan rukun atau fardlu, kecuali dalam ibadah
haji.10
b.
Hukum Wadl’i
Hukum wadh’i bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk
ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.11
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu
sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah
menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai
sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam
hukum ia disebut pertimbangan hukum.12
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditunjukkan bahwa hukum wadh’i
itu ada 3 macam, yaitu sebab, syarat dan mani’ (penghalang).
1)
Sebab, menurut bahasa adalah
sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang
dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat
yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan
bahwa sebab sama dengan illat, walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab
dengan illat.
Contoh firman Allah yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab yang lain, seperti yang terdapat dalam surat al-Isra’
ayat 78:
أَقِمِ
ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ .... ٧٨
Artinya, “Dirikanlah shalat sesudah
matahari tergeincir”.
Pada ayat tersebut, tergelincirnya
matahari dijadikan sebab wajibnya shalat. Dengan demikian, terlihat keteraitan
hukum wadh’i (dalam hal ini ada sebab) dengan hukum taklifi, sekalipun
keberadaan hukum taklifi itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’i
hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama
Ushul Fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash bukan buatan
manusia.
2)
Syarat, yaitu sesuatu yang berada
di luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya.
Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak
mengharuskan adanya hukum syara’.Oleh karena itu, suatu hukum taklifi tidak
dapat diterapkan kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan
syara’.
Contoh firman Allah yang menjadikan
sesuatu sebagi syarat, seperti terdapat pada surat al-Nisa ayat 6:
وَٱبۡتَلُواْ
ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ .... ٦
Artinya, “Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa)”.
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan
anak yatim menajdi syarat hilangnya perwalian atas dirinya. Contoh lain adalah
wdlu’ sebagai salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan
tanpa wudlu. Akan tetapi apabila seseorang berwudlu’, ia tidak harus
menjalankan shalat.
3)
Mani’ (penghalang), yaitu sifat
yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Contoh khithab Allah yang menjadikan
sesuatu sebagai penghalang, seperti terdapat dalam Hadits Rasulullah saw.
berikut: yang artinya, “Pembunuh tidak mendapat waris”.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa
pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan. Keterkaitan antara
sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab
dan terpenhinya syarat-syarat. Syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan
dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak
ada penghalang dalam melaksanakannya.
Sebaliknya, hukum tidak ada apabila
sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya halangan untuk
mengerjakannya. Misalnya, shalat zhuhur wajib dikerjakan apabila telah
tergelincir matahari (sebab) dan elah berwudlu’ (syarat), tetapi karena orang
yang mengerjakan shalat itu sedang haidl (mani’/penghalang), maka shalat zhuhur
itu tidak sah dikerjakan. Demikian juga apabila syarat terpenuhi (telah
berwudlu’) tetapi penyebab wajibnya shalat zhuhur belum muncul (matahari belum
tergelincir), maka shalat pun belum wajib. Termasuk ke dalam kelompok hukum
wadh’i juga hal-hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi dalam
hubungannya dengan hukum wadh’i, yaitu:
4)
Shihhah, yaitu suatu hukum yang
sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada
mani’. Misalnya, mengerjakan shalat zhuhur setelah tergelincir matahari (sebab)
dan telah berwudlu (syarat) serta tidak ada penghalang (tidak ada haidh, nifas
dan sebagainya), maka pekerjaan yang dilakasnakan itu hukumnya sah. Sebaliknya
jika sebab tidak ada da syaratnya tidak terpenuhi, sekaliun mani’ nya tidak
ada, maka shalat itu tidak sah.
5)
Bathal, yaitu terlepasnya hukum
syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.
Misalnya, memperjual-belikan minuman keras. Akad ini dipandang bathal, karena
minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
6)
‘Azimah, yaitu hukum-hukum yang disyari’atkan
Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum
hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf
wajib mengikutinya. Misalnya, jumlah rakaat shalat zhuhur adalah empat rakaat.
Jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada ukum lain
yang menetapkan jumlah rakaat shalat zhuhur. Hukum tentang rakaat shalat
zzhuhur adalah empat rakaat disebut ‘azimah.
7)
Rukhshah adalah hukum yang
ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena udzur, mislanya kebolehan
mengerjakan shalat zhuhur dua rakaat bagi para musafir, maka hukum itu disebut
rukhshah..
3. Perbedaan Hukum
Taklifi dengan Hukum Wadl’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadl’i,
antara lain:
a.
Dalam hukum al-taklifi terkandung
tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih berbuat atau tidak
berbuat. Dalam hukum wadl’i, hal ini tidak ada, melainkan. mengandung
keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara dapat dijadikan
sebab, syarat, atau penghalang.
b.
Hukum al-taklifi merupakan
tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan atau memilih
untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-Wad’I tidak diamksudkan
agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum al-Wadl’I ditentukan agar hukum
al-taklif dapat dilaksanakan;
c.
Hukum al-taklifi harus sesuai
dnegan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam
hukum al-taklif tidak boleh ada kesulitan (masyaqah) dan kesempitan (haraj)
yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum al-wadl’i hal
seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqah dan haraj dalam hukum al-wadl’i
adakalanya dapa dipikul mukallaf, seperti menghadirkan saksi sebagai syarat
dalam pernikahan, dan adakalanya di luar kemampuan mukalaf, seperti
tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat zhuhur.
d.
Hukum al-taklifi ditujukan kepada
para mukallaf, sedangkan hukum al-wadl’i dutujukan kepada manusia mana saja,
baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.13
Daftar
pustaka
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: 307
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999.
H. 295
Amir Syarifuddin, , Ushul
Fiqh,h. 309
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, h. 295
Amir Syarifuddin, , Ushul
Fiqh,h. 309
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, h. 295-296
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, h. 296
Amir Syarifuddin, , Ushul
Fiqh,h. 310
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, h. 301-302
Amir Syarifuddin, , Ushul
Fiqh,h. 312
Amir Syarifuddin, , Ushul
Fiqh,h. 313
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, h. 312
Racmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
h 316 & Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1998: h 250-251
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak