UHSUL FIQH : Latar Belakang, Pengertian, Objek Kajian, Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh
UHSUL FIQH : LATAR BELAKANG, PENGERTIAN, OBJEK KAJIAN, TUJUAN DAN FUNGSI UHSUL FIQH

1. Latar Belakang
Untuk menelusuri latar belakang timbulnya ushul fiqh, Anda dapat menelaahnya sejak zaman Rasulullah saw. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul, langsung ditanyakan kepadanya. Ia memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, ia memberikan jawaban melalui penetapannya yang disebut Hadits atau Sunnah. Al-Quran dan penjelasannya dalam bentuk Hadits disebut “Sumber Pokok Hukum Islam”.1
Al-Quran turun dalam bahasa Arab. Demikian pula hadits yang disampaikan Nabi juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab sebagai bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafadznya dan maksud dari setiap ungkapannya. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah. Karenanya mereka tidak merasa memerlukan sesuatu di balik itu dalam usaha.
mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami al-Quran dan hadits Nabi yang berbahasa Arab itu.2
Pada saat para sahabat nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentua hukumnya, mereka mencari jawabannya dalam al-Quran. Bila mereka tidak menemukan jawabannya secara harfiyah dalam al-Quran, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadits Nabi Bila mereka tidak menemukan jawabannya dalam hadits Nabi, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu, mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadits. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemashlahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’.3
Dengan cara seperti itulah Muadz ibn Jabal memberikan jawaban kepada nabi dalam dialog di antara keduanya sewaktu Muadz diutus oleh Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan wali.4
Nabi : “Bagaimana cara Anda menetapkan hukum bila kepada Anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Mu’adz : “Aku menetapkan hukum berdasarkan hukum Allah”.
Nabi : “Bila Anda tidak menemukan jawabannya dalam Kitab Allah?”
Mu’adz : “Aku menetapkan hukum dengan Sunnah Nabi”.
Nabi : “Bila dalam Sunnah, Anda juga tidak menemukan?”
Mu’adz : “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah dalam ijtihadku”. Jawaban Mu’adz dengan urut-urut seperti di atas mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad saw.5
Allah SWT. telah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 59 sbb.:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Baca juga;
Suruhan Allah dalam ayat ini untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Suruhan untuk mentaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat islam dalam bidang hukum. Suruhan untuk mengembalikan hal dan urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan qiyas (daya nalar) dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, hadits dan tidak ada pula ijma’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama jumhur adalah empat,yaitu al-Qur’an, Hadits atau Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.6
Setelah masa kejayaan Islam berlalu, datanglah suatu masa dimana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya secara baik. Sedangkan waktu itu, bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenanya para ahli hukum berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk membantu seseorang terjaga dari kesalahan dalam memahami al-Qur’an dan hadits yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.7
Seiring dengan itu, para ulama mujtahid pun merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan syari’ah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut uhsul Fiqh 8
2. Pengertian Ushul Fiqh
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqh, Anda dapat menelaah dari dua aspek. Pertama, Ushul Fiqh sebagai kata majemuk (murakkab), dan kedua Ushul Fiqh sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushul yang merupakan bentuk jamak dari kata ashal dan kata fiqh. Kata Ashal, secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun non-materi”. Sementara menurut istilah atau secara terminologi, kata ashal mempunyai beberapa arti, yaitu: 9
1. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqh bahwa ashal dari wajibnya shalat lima waktu adalah Firman Allah SWT. dan Sunnah Rasul.
2. Qai’dah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad saw. “Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).
3. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqh “Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan itu.
4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperi tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5. Far’u, (cabang), seperti perkataan ulama ushul: “Anak adalah cabang dari ayah”.
Dari ke lima pengertian kata ashal di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqh. Adapun Fiqh, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal, seperti yang diisyaratkan Q.S. Thaha ayat 27-28, yaitu:
وَٱحۡلُلۡ عُقۡدَةٗ مِّن لِّسَانِي ٢٧ يَفۡقَهُواْ قَوۡلِي ٢٨
Terjemahnya:
“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka mengerti perkataanku”.10
Pengertian Fiqh secara etimologi pun diisyaratkan oleh Q.S. al-Nisa ayat 78, yaitu:
أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِي بُرُوجٖ مُّشَيَّدَةٖۗ وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٞ يَقُولُواْ هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَقُولُواْ هَٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَۚ قُلۡ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثٗا ٧٨
Terjemahnya:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng, yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun”11
Juga pengertian di atas diisyaratkan oleh Q.S. Hud ayat 91 sbb.:
قَالُواْ يَٰشُعَيۡبُ مَا نَفۡقَهُ كَثِيرٗا مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَىٰكَ فِينَا ضَعِيفٗاۖ وَلَوۡلَا رَهۡطُكَ لَرَجَمۡنَٰكَۖ وَمَآ أَنتَ عَلَيۡنَا بِعَزِيزٖ ٩١
Terjemahnya:
“Mereka berkata, “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakana itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu, tentulah kamu telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kamu”.12
Makna Fiqh yang berarti faham pun terdapat dalam hadits Rasulullah saw. Sebagai berikut:13 Yang artinya, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya”.
Adapun pengertian Fiqh secara terminologi seperti dikemukakan para ahli Fiqh terdahulu adalah: Artinya, “Ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.14
Seiring dengan itu, ulama lain mengemukakan bahwa Fiqh adalah: Artinya, “Himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dali-dalilnya yang terperinci”.15
Dua definisi di atas menunjukkan bahwa pengertian Fiqh secara terminology ada dua tendensi, pertama sebagai ilmu yang menjelaskan hukum dan kedua sebagai hukum. Sebagai ilmu, Fiqh diartikan ilmu tentang hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci. Sementara Fiqh dalam arti hukum adalah himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Pada umumnya, dalam memberikan pengertian Fiqh, para ulama menekankan bahwa Fiqh adalah hukum syari’at yang diambil dari dalilnya.16
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan Fiqh, baik menurut bahasa maupun istilah, maka di sini dikemukakan pengertian Ushul Fiqh. Menurut al-aidlawi, yang dimaksud dengan Ushul Fiqh adalah:17 “Ilmu pengetahuan tentang dalil-dalil Fiqhsecara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya”.
Sementara Jumhur Ulama Ushul Fiqh, seperti yang dikemukakan oleh Khudlari Beik, mendefinisikan bahwa ushul Fiqh adalah:18 “Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya”.
Dua pengertian Ushul Fiqh di atas memliki penekanan yang berbeda. Menurut ulama Syafi’iyah, penekanannya pada objek kajian ushul Fiqh, yaitu dalil-dalil yang bersifat ijmali, bagaimana cara menginstimbath hukum, syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Sedangkan menurut jumhur ulama, penekanannya pada operasional atau fungsi ushul Fiqh, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah ushul
Fiqh dalam menggali hukum syara’. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya yang digunakan dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dengan menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.19
Umpamanya, dalam kitab-kitab Fiqh ditemukan ungkapan, “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum syara”. Tidak pernah tersebut dalam al-Qur’an maupun Hadits bahwa shalat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-Quran hanyalah perintah shalat yang berbunyi: (Kerjakanlah shalat). Ayat al-Quran yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut “dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut “hukum syara’” dari Firman Allah اقيموا الصلاة. Yang disebut dalil syara’ itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut disebut Ilmu Ushul Fiqh.20
3. Objek Kajian Ushul Fiqh
Dari definisi Ushul Fiqh di atas, Anda dapat memperoleh penjelasan bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqh secara garis besar ada tiga, yaitu:21
a. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya;
b. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya;
c. Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.
Lebih rinci, Muhammad al-Juhaili menyebutkan bahwa objek kajian Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:22
a. Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati, seperti al-Qur’an dan Sunnah maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan mashlahah mursalah;
b. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad;
c. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat dengan ayat atau sunnah dengan sunnah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian (al-Jam’u wa al-Taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut al-dalilain);
d. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhshah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum ‘alaih, dan lain-lain;
e. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbath hukum dan cara menggunakannya 23
4. Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkadnung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu 24
Walaupun para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab Fiqh, umat Islam tetap memerlukan Ushul Fiqh. Ada dua tujuan mengetahui Ushul Fiqh. Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul Fiqh dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab Fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu. Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum Fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum sesuai dengan kemashlahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kajian ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ushul Fiqh.25
Para ulama ushul menyatakan bahwa ushul Fiqh merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, muamalah, ‘uqubah, maupun akhlak. Ushul Fiqh bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana.26
Secara rinci, Ushul Fiqh berfungsi sebagai berikut:
a. Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum;
b. Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid , agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad;
c. Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru;
d. Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman pada ushul fiqh, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara’;
e. Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat; dan
f. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, orang yang belum mampu berijtihad dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-alasan yang tepat.27
Catatan Kaki:
1. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih Cet: ;2, Jakarta Pusat: Kementerian Agama Ri: 2012 H.5
2. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.5
3. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.5
4. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.6
5. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.6
6. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.6
7. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.6
8. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: 36-38.
9. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.6
10. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.7-8
11. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.8
12. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.8
13. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.8
14. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.8
15. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.8
16. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.8-9
17. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.9
18. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.9
19. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: Hlm. 22-23.
20. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 39.
21. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.10
22. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H.10
23. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 23
24. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 45
25 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 45-46
26. Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, H. 11
27. Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, H. 24
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak