‘AM DAN KHAS
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH
‘AM
DAN KHAS
1. ‘AM
a. Pengertian ‘Am
‘Am menurut bahasa, artinya
merata atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah : “Lafal yang meliputi
pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan
hanya disebut sekaligus.”
Dengan pengertian lain, al-’am
ialah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala sesuatu
yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: Al-Insan
yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum. Jadi, semua
manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini, sekali mengucapkan lafal Al-Insan
berarti meliputi jenis manusia seluruhnya.
Dapat dimengerti keumuman itu
menjadi sifat yang pengertiannya mencakup segala yang dapat dimasukkan ke dalam
konotasi lafal. Sedangkan lafal yang hanya menunjukkan beberapa orang seperti
Rijalun tidak termasuk lafal umum.1
b. Jenis-jenis ‘Am
Lafal ‘Am mempunyai beberapa bentuk, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Lafal kulun, jami’un, kaffah, ma’syar
(artinya seluruhnya). Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi
mudhaf ilaihi dari lafal-lafal itu, misalnya:
a) Kullun: misalnya firman Allah QS. Ali-Imran
: 185:
كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ
... ١٨٥
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa, akan
merasakan mati.”
b) Jami’un: misalnya firman Allah QS.
Al-Baqarah : 29:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم
مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ .... ٢٩
Artinya: “Dia-lah (Allah) yang menjadikan
bagimu apa-apa yang ada di bumi, semuanya.”
c) Ma’syar: misalnya firman Allah QS. Al-An’am
:130:
يَٰمَعۡشَرَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ
أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ رُسُلٞ مِّنكُمۡ يَقُصُّونَ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتِي
وَيُنذِرُونَكُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَٰذَاۚ ... ١٣٠
Artinya: “Hai
golongan jin dan manusia! Apakah tidak pernah datang kepadamu Rasul-rasul dari
golonganmu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi
peringatan kepadamu, terhadap pertemuan hari ini?”
d) Kaffah: misalnya firman Allah QS. Saba’ :
28:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ
إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ .... ٢٨
Artinya: “Dan Kami tidak mengutusmu melainkan
kepada manusia semuanya”.
2) Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa),
aina, ayyun (dimana), dan mata (kapan), misalnya :
a) Man (siapa): misalnya firman Allah QS.
Al-Baqarah : 245:
مَّن ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ
قَرۡضًا حَسَنٗا ... ٢٤٥
Artinya: “Siapakah yang mau berpiutang kepada
Allah dengan piutang yang baik?”
b) Ma (apa): misalnya firman Allah QS.
Al-Muddasir : 42:
مَا
سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ ٤٢
Artinya: “Apa sebab kamu masuk neraka?”
c) Ayyun (siapakah): misalnya firman Allah QS.
An-Naml : 38:
... أَيُّكُمۡ يَأۡتِينِي بِعَرۡشِهَا قَبۡلَ
أَن يَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ ٣٨
Artinya: “Siapkah
diantara kamu yng bisa membawa kursi tahta kerajaan (Bulqis) dihadapanku
sebelum mareka datang menyerahkan diri kepadaku.”
d) Mata (kapan):
misalnya firman Allah: “Kapan datangnya pertolongan Allah ? Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah ini sangat dekat”.
e) Aina (dimana) misalnya: “Dimanakah tempat
tinggalmu?”
3) Isim Isyarat, seperti man (barang siapa),
ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja), misalnya :
a) Man (barang siapa): misalnya firman Allah
QS. An-Nisa’ :123:
b) Ma (apa saja): misalnya firman Allah QS.
Al-Baqarah : 272:
..وَمَا
تُنفِقُونَ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ ٱللَّهِۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ
يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٢
Artinya: “Dan apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) niscaya kamu diberi
pahalanya dengan cukup dan sedikit pun kamu tidak dianiaya.”
c) Ayyun (mana saja): misalnya firman Allah
QS. Al-Isra’ : 110:
... أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ
ٱلۡحُسۡنَىٰۚ ... ١١٠
Artinya: “Dengan apa saja kamu seru Dia, mak
aia mempunyai nama-nama yang baik.”
d) Ayyuma (siapa
saja): misalnya hadits Rasulullah saw. yang artinya: “Siapa saja perempuan yang
minta ditalak kepada suaminya tanpa alas an, maka haram baginya wangi surga”
(HR. Ahmad).
4) Isim mufrad yang makrifat dengan alif lam
(al) atau idhafah: misalnya firman Allah
QS. Al-Baqarah : 275 dan QS. Al-Maidah : 38:
... وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
... ٢٧٥
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengahramkan riba.”
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ
فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٣٨
Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri
perempuan, potonglah tangannya.”
Makrifat dengan idhafah, seperti dalam firman
Allah QS. Ibrahim: 34:
... وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا
تُحۡصُوهَآۗ ... ٣٤
Artinya: “Kalau kamu menghitung-hitung nikmat
Allah tentu kamu tidak dapat menghitungnya.”
5) Jama’ yang ditakrifkan (makrifat) dengan
alif lam atau dengan idhafah :
a) Makrifat dengan alif lam (al), seperti
firman Allah QS. Al-Maidah : 42:
... إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang adil.”
b) Makrifat dengan idhafah, seperti firman
Allah QS. AN-Nisa’ : 23:
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ
أُمَّهَٰتُكُم... ٢٣
Artinya: “Terlarang bagimu (mengawini)
ibu-ibumu”.
6) Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi.
Misalnya firman Allah QS. Al-Baqarah : 48:
وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا لَّا
تَجۡزِي نَفۡسٌ عَن نَّفۡسٖ شَيۡٔٗا ... ٤٨
Artinya: “Jagalah
dirimu dari (adzab) hari (kiamat), yang pada hari itu seorang pun tidak dapat
membela orang lain, walau sedikit pun.”
Kalimat
nafsun = seorang pun, yang jatuh sesudah nafi (la=tidak) yakni tidak tertentu,
dan ditujukan kepada semua jenis manusia, baik laki-laki mupun perempuan.
7) Isim mausul (alladzi, alladziina, allatii,
maa, dan sebagainya). Misalnya firman Allah QS. An-Nisa’ : 10:
إِنَّ ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ
نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak-anak yatim dengan aniaya,
benar-benar orang-orang itu makan api pada perut mereka.”
Lafal ‘Am dapat
dibagi menjadi tiga macam :
a. Lafal umum yang tidak mungkin ditakhsiskan,
seperti dalam firman Allah QS. Hud : 6:
۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا
عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا ... ٦
Artinya: “Dan tidak
ada suatu binatang melata pun dibumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya.”
Ayat di atas menerangkan
sunnatullah yang berlaku bagi setiap makhluk karena dilalah-nya qat’i yang
tidak menerima takhsis.
b. Lafal umum yang
dimaksud khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam
firaman Allah QS. Ali-Imran : 97:
... وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ .... ٩٧
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah.”
Lafal manusia dalam ayat di atas
adalah lafal umum, yang dimaksud adalah manusia yang mukhalaf saja karena
dengan perantaraan akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal, seperti anak
kecil dan orang gila.
c. Lafal umum yang khusus seperti lafal umum
yang tidak ditemui tanda yang menunjukkan ditakhsis seperti dalam firman Allah
QS. Al-Baqarah : 228:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ ... ٢٢٨
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaknya
menahan (menunggu) tiga kali quru’.”
Dalam
uraian yang dikemukakan di atas diterangkan bahwa Al-Quran dapat ditakhsiskan
dengan Al-Quran seperti dalam firman Allah QS. An-Nur : 4:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ
...٤
Artinya: “Dan orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera.”
Ayat ini bersifat umum, yakni
siapa saja yang menuduh orang yang berbuat zina, apakah istri atau bukan
istrinya, dihukum delapan puluh kali dera. Namun, ditermui dalil lain yang
menjadi takhsisnya ialah mengecualikan kalau yang dituduh itu istrinya sendiri
dalam QS. An-Nur : 6 yang berbunyi :
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ
أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَٰدَةُ
أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٦
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh
isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orangorang yang benar.”
Al-Quran dapat juga ditakhsiskan
dengan hadits mutawatir, seperti ayat yang berbicara tentang hukuman pencurian
yang diterangkan dalam surat Al-Maidah ayat 38 dikenakan kepada setiap pencuri
tanpa memperhatikan jumlah barang yang dicurinya. Namun, ditemukan hadis yang
memberikan takhnis dari keumuman ayat itu ialah hadis yang berbunyi “Potonglah
(tangan pencuri yang mencuri jumlah) seperempat dinar dan jangan potong kurang
dari seperempat dinar” (HR. Ahmad dari Aisyah).
Juga ayat yang berbicara tentang
hukum memakan bangkai juga bersifat umum, apakah bangkai binatang darat atau
air, namun ditemui hadis ahad yang memberikan takhsis bahwa halal memakan
bangkai binatang air, seperti dalam hadis yang berbunyi “Dia (laut) airnya suci
dan halal bangkai (binatang) nya” (HR. Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu
Majah dari Abu Hurairah).
Ayat yang berbicara tentang hukum
perwarisan ditakhsis dengan hadis yang berbunyi “Tidak asda bagian bagi
pembunuh sedikit pun dari harta warisan” (HR. Nasa’i dan Faruqutni dari Amrun
bin Syaib).
Ayat-ayat yang berbicara tentang
hukuman bagi penzina ditakhsis dengan hadis yang berbicara tentang hukuman
rajam, ayat yang berbicara tentang hukuman pencurian ditakhsis dengan hadis
yang menerangkan bahwa hukum potong tangan itu tidak boleh kalau kurang dari
seperempat dinar. Orang yang berpendapat Al-Quran tidak boleh ditakhsis dengan
sunah ahad akan berhadapan dengan contoh-contoh yang dikemukakan di atas dan
tidka dapat dipungkiri adanya takhsis Al-Quran dengan hadis ahad.
Lafal umum wajib dilaksanakan
secara umum tanpa melihat sebab terjadinya, baik sebab itu dalam bentuk
pertanyaan atau kasus tertentu. Hal yang semacam ini banyak terjadi, di
antaranya sebab hadi syang menerangkan air laut itu suci adalah pertanyaan dari
beberapa orang sahabat yang berlayar yang apabila mereka berwudlu dengan air
yang mereka bawa maka mereka akan kehausan karena kehabisan air, lalu mereka
bertanya kepada Rasulullah, “Bolehkah berwudlu dengan air laut? Rasulullah
menjawab, “Air laut itu suci”. Lafal ini menunjukkan umum bukan hanya dalam
keadaan terpaksa bahkan juga dalam keadaan normal, bukan untuk berwudu bahkan
untuk mandi, menghilangkan najis dan sebagainya, tanpa melihat sebabnya.
Demikian juga dalma beberapa
ayat yang di antaranya berbicara tentang hukuman pencuri yang diterangkan pada
kasus pencurian terhadap gandum atau selendang milik Safwan bin Shahar, ayat
li’an diturunkan pada kasus Hilal bin Umayah. Para sahabat memberlakukan semua
ayat dan hadis secara umum tanpa melihat kepada sebab turunnya.2
C. Dilalah dan Pengamalan ‘Am
1. “Apabila ‘am
datang karena sebab khas, maka yang dianggap adalah umumnya lafal, bukan
khususnya sebab”.
Hal tersebut karena perintah
ibadah kaepada seluruh hamba Allah hanya dengan lafal yang datang dari syar’i,
padahal lafal ini umum. Jika menjumpai suatu hadis Nabi SAW yang merupakan
jabwaban atas suatu pertanyaan tiba-tiba kita lihat bahwa itu menggunakan
perkataan (lafal) yang memberikan pengertian umum maka kita tidak usah
mengembalikan pada sebab timbulnya hadis tersebut. Dalam hal ini, kita
mengambil kesimpulan hukum dari hadis tersebut. Contoh seorang sahabat bertanya
kepada Rasulullah SAW. sebagai berikut “Hai Rasulullah! Bahwasanya kita ini sedang
mengarungi lautan, padahal kita hanya membawa air sedikit saja, dan bila kita
berwudlu, dengan air ini, tentu kita akna kehausan apaah kita boleh berwudlu
dengan air laut? Maka Nabi SAW bersabda, Laut itu airnya suci dan binatangnya
halal (dimakan)” (HR. Tirmidzi). Jawaban itu seolah-olah diberikan karena
terpaksa (daraurat), hingga andaikan tidak ada keadaan yang serupa, maka hukum
air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Namun, sesuai dengan kaidah di
atas, maka pengertian jawaban Nabi SAW itu menunjukkan yang ‘am. Hukum itu
berlaku dalam keadaan terpaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena ada
sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian umum.
2. ”Khitab yang khusus tertuju keada seseorang
dari seluruh umat memberikan faedah menunjukkan umum, kecuali apabila diketahui
ada dalil yang menunjukkan khusus bagi orang itu saja”.
Kita sering
menjumpai khitab yang ditujukan untuk seseorang saja yang berhubungan dengan
suatu kejadian yang dialami oleh orang itu. Dalam hal ini, jika tidak dijumpai
adanya dalil yang menentukan bahwa khitab itu hanya khusus untuk orang yang
menerimanya saja, maka khitab tersebut berlaku untuk umum, sebagaimana Nabi
SAW. bersabda “Sesungguhnya perkataan yang tertuju kepada seorang wanita, sama seperti
perkataanku terhadap seratus wanita” (HR. Tirmidzi).
Contoh sabda Nabi
SAW. “Aku telah menikahkan kamu kepadanya (wanita itu) dengan mahar Al-Quran,
artinya dengan mahar mengajar” (HR. Bukhari dan Muslim).Meskipun khitab ini
ditujukan kepada seseorang yang sedang melakukan pernikahan pada masa Nabi SAW
tetapi khitab ini berlaku pula untuk umum, karena tidak ada dalil yang
mengkhususkan untuk orang itu saja. Dengan demikian, memberi mahar dengan
mengajar Al-Quran, dianggap cukup memenuhi pembayaran mahar yang merupakan
kewajiban bagi orang yang melakukan akad pernikahan.
Lain pula khitab yang ditujukan
kepada seseorang, kemudian terdapat dalil yang menentukan bahwa khitab itu khusus
untuk orang yang dituju, misalnya sabda Nabi SAW yang ditujukan kepada Abu
Burdah, tentang kurban dengan anak kambing yang belum cukup umurnya: “Kurban
itu cukup bagimu, akan tetapi belum dianggap cukup bagi orang lain sesudah
kamu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Khitab semacam itu, tidak
berlaku untuk orang lain, karena ada dalil yang mengkhususkan, artinya tidak
berlaku terhadap umum.
3. “Menyebut sebagaian satuan lafal ‘am
tersebut, tidak berarti menakhsiskan.”
Kita sering menjumpai dua macam
khitab yang menetapkan hukum tentang suatu hal. Khitab pertama menunjukkan
umum, sedangkan khitab kedua menunjukkan khusus, yaitu isinya merupakan
sebagain dari satuan lafal yang menunjukkan umum (khitab pertama). Apabila
khitab kedua mengandung hukum yang sama dengan hukum yang terdapat pada khitab
yang pertama maka khitab kedua itu tidak berarti mentakhsis khitab pertama,
yakni keumuman khitab yang pertama itu tetap berlaku.
4. “Lafal ‘am sesudah ditakhsis tetap menjadi
hujjah bagi (satu-satuan) yang masih tertinggal.”
Dalil
‘am sesudah ditakhsis masih berlaku bagi satuan lain, misalnya firman Allah
SWT. QS. Al-A’raf : 32:
قُلۡ مَنۡ حَرَّمَ زِينَةَ ٱللَّهِ
ٱلَّتِيٓ أَخۡرَجَ لِعِبَادِهِۦ ... ٣٢
Artinya:
“Katakanlah (hai Muhammad)! Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya bagi hamba-hamba-Nya?”
Ayat ini menyatakan bahwa semua
perhiasan dibolehkan, kemudian ditakhsisnya cincin emas bagi orang laki-laki
dengan hadis Nabi sebagai berikut “Bahwasannya Nabi SAW melihat cincin emas di
tangan seorang laki-laki, kemudian beliau mencabut dan diletakkannya, seraya
bersabda “Dengan sengaja salah seorang di antara kamu mengambil bara api
neraka, maka janganlah ia di tangannya” (HR. Muslim).
5. “Mengamalkan (dalil) ‘am sebelum
menyelidiki yang menakhsis tidak dibolehkan”.
Menurut kaidah tersebut di atas,
kita tidak boleh mengamalkan dalil-dalil ‘am tanpa menyelidiki lebih dahulu
dalil yang menakhsiskannya. Kita ketahui bahwa dalil-dalil syari’ah itu terdiri
atas ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis yang letaknya tidak selalu beriringan
antara satusama lain yang memberikan pengertian umum dan yang khusus. Karena
itu, perlu adanya usaha untuk mencari dan membandingkan semua dalil syara’
terutama tentang dalil yang memberikan pengertian umum itu ditakhsis atau tidak.3
2. KHAS
a. Pengertian Lafal Khas
Di samping lafal ‘am, ada juga
lafal khas, yaitu perkataan atau susunan yang mengadung arti tertentu yang
tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan dari ‘am.
Lafal khusus ini adakalanya dipergunakan
untuk seorang, barang, atau hal tertentu, seperti Abdullah, radio, atau Puasa
Ramadhan. Dan adakalanya kalimat ini dipergunakan untuk dua orang atau barang
seperti dua orang suami-istri atau
sepasang pena Hero. Lafal khusus ini dipergunakan juga untuk lebih dari
dua orang yang tidak dibatasi, seperti
lafal Ar-Rijaal (beberapa orang laki-laki atau tiga orang laki-laki).
Dengan demikian, yang dimaksud
dengan khas ialah lafal yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua,
atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak mencakup semua,
namun hanya berlaku untuk sebagaian tertentu.
Dalam pembahasan ini, ada
beberapa istilah yang erat hubungannya dengan khas, antara lain takhsis dan
mukhassis.
Takhsis ialah mengeluarkan sebagian
lafal yang berada dalam lingkungan umum menurut batasan yang tidak ditentukan. Mukhassis
ialah suatu dalil (alasan) yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafal tersebut.
Mukhassis ada 2 (dua) macam, yaitu mukhassis muttasil dan mukhassis munfasil.
1. Mukhassis
Muttasil , Yaitu lafal yang tidak berdiri sendiri, yakni maknanya bersangkutan
dengan lafal sebelumnya. Misalnya Firman Allah QS. Al- An’am :151 :
...ۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي
حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ... ١٥١
Artinya: “Dan
janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu yang benar”.
Susunan “Janganlah kamu membunuh
suatu jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya” itu menunjukkan umum, artinya
tidak boleh membunuh siapa pun. “Melainkan dengan jalan yang benar” yaitu qisas
atau di dalam pertempuran.
2. Mukhassis
Munfasil, Yaitu lafal yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan
pengertian umum. Misalnya firman Allah QS. Al-A’raf : 31:
... وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْ.... ٣١
Artinya: “Dan makan serta minumlah, tetapi
jangan berlebih-lebihan.”
Perkataan “Makanlah …” itu umum,
yakni boleh makan apa saja yang kita kehendaki, tetapi keumuman ini telah
dibatasi oleh Allah dengan frman-Nya juga QS. Al-Baqarah : 173, sebagai
berikut:
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ
لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ ...١٧٣
Artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (makan) bangkai, darah, daging
babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.”
Ayat ini membatasi keumuman ayat
31 dari surat Al-A’raf dan menentukan bahwa yang haram itu hanya 4 macam
makanan tersebut di atas. Pembatasan ini tidak terdapat pada satu ayat dalam
surat Al-A’raf ayat 31 melainkan terpisah (munfasil).
Yang termasuk mukhasssis
munfasil ialah : (1) Ayat Al-Quran ditakhsis oleh ayat Al-Quran; (2) Hadis
ditakhsis oleh ayat Al-Quran; (3) Ayat Al-Quran ditakhsis oleh Hadis; dan (4)
Hadis ditakhsis oleh Hadis. Keempatnya akan dijelaskan di bawah ini:
1) Mentakhsis Al-Quran dengan Al-Quran
Seperti firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah :
228:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ .... ٢٢٨
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”
Ayat
ini memberikan pengertian umum, yaitu meliputi semua wanita yang dicerai,
tetapi wanita-wanita yang sedang hamil ditakhsis oleh QS. At-Talaq :4 sebagai
berikut :
... وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن
يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ... ٤
Artinya:
“Wanita-wanita yang hamil waktu iddahnya ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya”.
Begitu
pula wanita-wanita yang belum bergaul, ditakhsis dengan Q.S. Al-Ahzab : 49
sebagai berikut :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ
أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ .... ٤٩
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu mengawini wanitawanita yang beriman
kemudian kamu ceraikan sebelum kamu bergaul dengan mereka, tidalah bagi kamu
atas mereka iddah yang kamu hitung”.
2) Mentakhsis Al-Quran dengan Hadis: Seperti
firman Allah SWT. QS. An-Nisa’: 11:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ
أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ .... ١١
Artinya: “Allah
mensyariahkan bagimu tentang (pembagain pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
Ayat ini memberikan pengertian
umum, baik Islam maupun kafir, tetapi keumuman lafal “auladikum” (anak-anakmu)
itu ditakhsis dengan sebuah hadis yang menyatakan sebagai berikut “Orang Islam
itu tidak dapat menerima warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak
mernerima warisan dari orang Islam” (HR. Bukhari dan Muslim).
3) Mentakhsis Hadis
dengan Al-Quran. Seperti Hadits Rasulullah saw. “Allah tidak akan menerima
salat seseorang dari kamu apabila berhadas sehingga berwudlu” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadis ini memberikan pengertian
umum, untuk tidak udzur dalam berwudlu, maupun yang udzur, baik dalam
perjalanan maupun dalam keadaan sakit. Kemudian keumuman hadis tersebut
ditakhsis dengan firman Allah SWT. QS. An-Nisa’ : 43:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ
مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ
وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ
أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا
طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا ٤٣
Artinya: “Dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan atau datang dari tempat orang buang air, atau
kamu telah menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Menurut hadis tersebut di atas
dalam keadaan bagaimanapun juga, sahnya salat harus dengan wudlu, artinya
bersuci dengan air dan ketentuan ini berlaku untuk seluruh orang yang akan
menunaikan salat. Kemudian hadis tersebut ditakhsis dengan Al-Quran, Ayat 43
Surat An-Nisa’ yang membolehkan tayamum bila dalam keadaan tidak mendapat air.
4) Mentakhsis Hadis dengan Hadis
Dalam hadis Bukhari dan Muslim,
Nabi Muhammad SAW bersabda “Semua
tumbuh-tumbuhan yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh” (HR.
Bukhari dan Muslim).Hadis ini memberikan pengertian umum, tetapi kemudian
keumuman itu ditakhsis dengan hadis lain yang berbunyi sebagai berikut ”Bagi
tanam-tanaman yang kurang dari lima wasaq, tidak dikenakan zakat.”(HR. Bukhari
dan Muslim)Keterangan : 5 wasaq lebih kurang 1000 kg.
5) Mentakhsis Al-Quran dengan Ijma’. Seperti firman
Allah SWT. QS. Al-Jumuah : 9:
... إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ
فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ... ٩
Artinya: “Jika dipanggil untuk salat pada hari
jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah (salat Jumat) dan
tinggalkanlah semua jual-beli”.
Ayat ini berlaku untuk siapa pun
juga, artinya semua manusia terkena kewajiban salat Jum’at. Tetapi para ulama
telah sepakat (ijma’) bahwa orangorang perempuan dan budak-budak tidak
berkewajiban salat Jum’at. Jadi, keumuman ayat tersebut ditakhsis dengan ijma’,
artinya ijma’ ini membatasi berlakunya kewajiban salat Jum’at hanya kepada
laki-laki dan orang merdeka.
6) Mentakhsis dengan Qiyas
Yang dimaksud di sini ialah
mentakhsis Al-Quran atau hadis yang menunjukkan pengertian umum, dengan qiyas
atau membatasi keumuman itu. Misalnya firman Allah Q.S. An-Nur : 2:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي
فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ ... ٢
Artinya:
“Orang-orang perempuan yang berzina dan orang laki-laki yang berzina, maka
deralah masing-masing dari keduanya seratus kali”.
Ayat ini berlaku untuk umum,
meliputi orang-orang yang merdeka dan budak. Selanjutnya bagi budak perempuan
kita dapati ayat Al-Quran yang menentukan hukuman mereka, yaitu separuh dari
apa yang berlaku bagi perempuan merdeka, sebagaimana firman Allah Q.S. An-Nisa’
: 25:
...فَإِنۡ
أَتَيۡنَ بِفَٰحِشَةٖ فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ
... ٢٥
Artinya: “Apabila
merek a(budak perempuan) melakukan zina, maka kepada mereka (dikenakan siksa)
separuh dari siksa perempuan yang merdeka”.
Ayat ini hanya ditujukan pada
budak-budak perempuan, sedangkan pada budak laki-laki tidak ada ketentuannya.
Karena itu, hukuman untuk budak-budak lakilaki dipersamakan (diqiyaskan) dengan
budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera, yakni seperuh dari siksa orang
yang merdeka. Jadi menakhsiskan surat An-Nur ayat 2 tentang budak laki-laki
bukan dengan ayat Al-Quaran atau hadis, melainkan dengan qiyas terhadap budak
perempuan yang sudah ada ketentuan hukumnya sebagaimana tersebut dalam Al-Quran
ayat 25 surat An- Nisa’.
Lafal khas terkadang mutlaq
yakni tidak di-qaid-kan dengan suatu qaid, tetapi kadang di-qaid-kan dengan
suatu qaid yang dinamakan muqayyad, terkadang dalam bentuk ‘amr (perintah), dan
terkadang, dalam bentuk nahi (larangan). Jadi, lafal khas ada empat bentuk,
yaitu mutlaq, muqayyad, ‘amr dan nah.4
b. Dilalah dan Pengamalan Lafal Khas
Lafal khas yang ditemui dalam
nash diartikan sesuai dengan arti sebenarnya, selama tidak ditemukan dalil yang
memalingkan pada arti lain. Contohnya, hukuman yang dijatuhkan kepada orang
yang menuduh berbuat zina adalah delapan puluh kali dera tidak boleh lebih dan
tidak boleh kurang. Namun, apabila ditemukan dalil yang dapat memalingkan
artinya pada arti lain, maka hukuman tersebut dilaksanakan sesuai dengan
dilalah dari bukti itu. Seperti halnya dalam hadis yang menerangkan bahwa untuk
setiap empat puluh ekor kambing dikeluarkan zakatnya seekor dan setiap orang
mengeluarkan zakat fitrahnya satu sha’ gandum atau kurma. Mdzhab Hanafi
menganggap boleh menyerahkan seekor kambing atau jumlah uang seharga satu ekor
kambing. Demikian pula dalam zakat fitrah, boleh menyerahkan satu sha’ gandum
atau uang seharga satu sha’ gandum atau kurma. Hal ini karena zakat ditujukan
untuk kepentingan fakir-miskin, yang pada suatu waktu lebih memerlukan barang
daripada uang dan pada waktu lainnya lebih memerlukan uang daripada barang.
Jadi, lafal yang dilaksanakan sesuai dengan artinya dan kalau di-qaid-kan
sesuai pula dengan qaid-nya.
Kalau lafal khas yang mutlaq
dalam nash lain diterngkan secara muqayyad, sedangkan pokok yang dibicarakan
dan sebabnya sama, maka hukumnya sama. Umpamanya dalam ayat 3 surat Al-Maidah
lafal darah dibawakan dalam bentuk mutlaq dan lafal darah dalam surat Al-Anam
ayat 145 dibawakan dalam bentuk muqayyad yakni darah yang mengalir maka lafal
yang mutlaq dialihkan menjadi muqayyad.
Kalau kedua nash itu berbeda
hukumnya atau sebabnya, maka yang mutlaq tetap berlaku mutlaq dan dilaksanakan
sesuai dengan pengertiannya. Demikianlah menurut para ulama di kalangan madzhab
Hanafi dan sebagain besar ulama madzhab Syafe’i menyetujui pendapat di atas
kalau kedua nash itu berbeda tentang hukum dan sebabnya atau berbeda hukumnya
saja tetapi bila sebab dan hukumnya tidak berbeda, maka yang mutlaq diartikan
dengan muqayyad.
Contoh dua buah nash yang
hukumnya berbeda namun sebabnya sama, seperti dalam firman Allah SWT. QS.
Al-Maidah : 6:
...غۡسِلُواْ
وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ ... ٦
Artinya: “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku.”
Dan ayat 6 Q.S. Al-Maidah yang berbunyi :
... فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم
مِّنۡهُۚ .... ٦
Artinya: “Sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah.”
Ayat pertama berbicara tentang
wudlu dan ayat kedua berbicara tentang tayamum, kendati berbeda namun sebabnya
sama, yaitu untuk bersuci agar boleh mengerjakan salat. Namun hukumnya berbeda,
yaitu dalam berwudlu wajib membasuh muka dan tangan, sedangkan dalam tayamum
menyapu muka dan tangan, maka keduanya dilaksanakan secara terpisah.
Contoh dua buah nash yang
hukumnya sama, tetapi sebabnya berbeda, seperti dalam ayat yang berbicara
tentang hukum pembunuhan tersalah dengan kafarah zhihar.pembunuhan tersalah
diwajibkan membayar kafarah, yaitu memerdekakan seorang budak yang beriman,
seperti yang diterangkan dalam ayat 92 surat An-Nisa’ sedangkan kafarah zhihar
diwajibkan memerdekakan seorang budak, seperti yang diterangkan dalam ayat 3
surat Al-Maidah. Maka dalam bentuk ini dilaksanakan yang muqayyad dan yang
mutlaq tetap berlaku mutlaq.
Kalau lafal khas dalam bentuk
‘amr atau berita yang mengadung arti ‘amr maka perintah itu atau berita
mengandung arti wajib, seperti firman Allah SWT. QS. Al-Maidah : 38 :
... فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا ... ٣٨
Artinya: “Potonglah tangan keduanya.”
Dalam bentuk berita yang mengandung
arti ‘amr seperti dalam firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah :228:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ... ٢٢٨
Artinya: “wanita-wanita yang ditalak hendaknya
menahan dirinya”.
Ayat ini memberikan petunjuk
wajib bagi perempuan yang ditalak untuk menahan diri. ‘amr atau semakna dengan
‘amr mengandung arti wajib selama tidak ditemukan buktu yang dapat memalingkan
kepada arti lain. Tetapi kalau ada bukti yang menunjukkan kepada arti lain
dapat diartikan dengan mubah, irsyad (petunjuk), kebolehan, ancaman, kemuliaan,
tahzir, takjiz, doa, dan sebagainya.
Kebiasaan tuntutan dalam ‘amr
cukup sekali dilaksanakan dan tidak harus dilakukan dengan segera, yang berarti
dapat dilaksanakan kapan saja. Namun demikian, ada tanda yang menunjukkan lafal
‘amr dilaksanakan berulang dan dilaksanakan dengan segera dan tidak boleh
ditunda pada waktu lain, seperti firman Allah QS. Al-Baqarah : 185:
... فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ
فَلۡيَصُمۡهُۖ ... ١٨٥
Artinya: “Karena itu barang siapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan ini”.
Petunjuk yang didapat dari luar
nash, yaitu setiap awal bulan Ramadhan wajib berpuasa pada saat itu juga
artinya tidak boleh ditunda. Setiap ‘amr untuk berbuat kebajikan dikerjakan
dengan segera sesuai dengan ajaran Allah QS. Ali-Imran : 133:
۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن
رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ ... ١٣٣
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
Tuhanmu.”
Lafal nahi apbila dibawakan
dalam bentuk khas atau dalam bentuk berita yang mengandung arti nahi,
pengertiannya haram dalam firman Allah QS. Al-Baqarah : 221:
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ
حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ ... ٢٢١
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita yang musyrik sebelum mereka beriman”.
Larangan dalam ayat di atas
menunjukkan keharaman menikahi wanita musyrik. Namun, bila ada tanda yang
menunjukkan bahwa artinya dipalingkan kepada arti majazi, maka pengertiannya
disesuaikan dengan tanda itu yang mungkin mengandung arti makruh, doa, irsyad
dan sebagainya.
Nahi harus dilaksanakan dengan
segera dan berlaku terus menerus karena tuntutan untuk menghentikan sesuatu
perbuatan baru dianggap terlaksana apabila telah dikerjakan sesuai dengan isi
larangan atau berita itu. Larangan untuk berbuat dapat menghindari, sedang
kerusakan harus disingkirkan dengan segera dan terusmenerus.5
Daftar pustaka
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 61
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 62-74
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 74-80
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 81-89
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak