Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH
1. Kronologis Munculnya Ushul Fiqh
Dalam menelusuri kronologis munculnya Ushul Fiqh, Anda dapat menelaah ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam. Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam, Ilmu ushul Fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, Ilmu ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqh, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhshish sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat.
Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan itjihad yang dilakukan oleh Mu’adz Ibn Jabal ketika diutus oleh Rasulullah ke Yaman. Sebagai konsekuensi dari ijtihad adalah qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas. Contoh qiyas yang dapat dikemukakan adalah ucapan Ali dan Abd. Al-Rahman Ibnu ‘Auf mengenai hukum peminum khamr yang berbunyi:
اذاشرب هذي و اذاهذي افترى وحد المفترى شمانون جلدة
Artinya:“Bila seseorang meminum khamr, ia akan mengigau. Bila mengigau, ia akan menuduh orang berbuat zina, sedangkan had (hukuman) bagi orang yang menuduh itu 80 dera”.
Adapun pemahaman tentang takhshish dapat dilihat dalam cara Abdullah bin Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa batas iddahnya berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat al-Thalaq. Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang ada pada surat al-Baqarahayat 228. Dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa nash yang datang kemudian dapat menasakh atau mentakhshsish yang datang terdahulu.
Pada masa tabi’in, cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode mashlahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa al-Aimmah al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan orang-orang Madinah. Menurutnya, amalan mereka lebih dapat dipercaya daripada hadis Ahad.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang sistematis dan belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.1
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, yang tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya, mendorong diperlukannya pembukuan Ushul Fiqh. Secara historis, yang pertama berbicara tentang Ushul Fiqh sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun, yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu, terlebih dahulu akan dikemukakan teoriteori penulisan dalam ilmu Ushul Fiqh.
Secara garis besar, ada dua teori penulisan yang dikenal. Pertama, merumuskan kaidahkaidah fiqhiyah bagi setiap bab-bab fiqh dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Misalnya, kaidah-kaidah jual beli secara umum, atau kaidah-kaidah perburuhan. Kemudian menetapkan batasan-batasannya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasikannya dalam kaidah-kadiah itu. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk mengistinbath hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh al-Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab semacam ini belum pernah ada sebelumnya menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah.
Berdasarkan teori kedua di atas, Jalalluddin al-Suyuti menyatakan bahwa al-Syafi’i adalah peletak batu pertama pada ilmu ushul fiqh Dia orang yang pertama-tama berbicara tentang itu dan menulisnya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwaththa’ hanya menunjukkan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian pula para ulama lain semasanya, seperti Abu Yusuf dan Muhamamd al-Hasan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpilkan bahwa kitab al-Risalah merupakan kitan yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu Ushul Fiqh. Kitab ini tersusun dengan metode tersendiri, objek pembahasan dan permasalahannya juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqh manapun.2
3. Tahapan-tahapan Perkembangan Ushul Fiqh
Secara garis besar, perkembangan Ushul Fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap awal (abad 3 H); tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan (abad 5 H). Masing-masing tahapan dapat diuraikan sebagai berikut:
Tahap Awal (abad 3 H)
Pada abad 3 H, di bawah pemerintahan Abbasiyah, wilayah Islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang berkuasa abad ini adalah: al-Ma’mun (w. 218 H), al-Mu’tashim (w. 227 H), al-Wasiq (w. 232 H), dan al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa mereka ini terjadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan khalifah al-Rasyid. Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh, yang pada gilirannya mendorong untuk disusunnya metode berpikir fiqh yang disebut Ushul Fiqh. Seperti telah dikemukakan, kitab Ushul Fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah al-Risalah karangan al-Syafi’i. Kitab ini dinilai para ulama sebagai kitab yang bernilai tinggi. Al-Razi mengemukakan bahwa kedudukan al-Syafe’i dalam ilmu Ushul Fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Mantiqh dan kedudukan al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu ‘Arud. Ulama sebelum al-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikannya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi serta mentarjihkannya. Maka datanglah al-Syafi’i menyusun ilmu Ushul Fiqh yang merupakan kaidah-kaidah umum (qanun kully) dan dijadikan rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i. Kalaupun ada orang yang menyusun kitab lmu Ushul Fiqh sesudah al-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada al-Syafe’i, karena ia yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Pada abad 3 H juga telah tersusun sejumlah kitab Ushul Fiqh lainnya. Isa Ibnu Iban (w. 221 H) menulis kitab Itsbat al-Qiyas, Khabar al-Wahid, Ijtihad al-Ra’yi. Ibrahim ibnu Syiyar al-Nashsham (w. 221 H) menlis kitab al-Nakt. Daud Ibnu Ali Ibnu Daud al-zhahiri (w. 270 H) menulis kitab al-Ijma’, al-Abthal al-Taqlid, Ibthal al-Qiyas, al- Khabar al-Mujib li al-‘Ilm, al-Hujjat, al-Khushush wa al-‘Umum, al-Mufassar wa al-Mujmal, dan kitab al-Ushul.Dalam kitab al- Ushul, al-Zhahiri mengatakan tidak perlu menetapkan hukum atas dasar qiyas dan istihsan. Selain itu, Muhammad Ibnu Daud Ibnu Ali Ibnu al-Khalf al-Zhahiri (w.297 H) juga menulis kitab al-Ushul fi Ma’rifat al-Ushul, dan masih banyak lagi kitabkitab ushul fiqh yang ditulis oleh ulama-ulama lainnya.3
Pada abad 3 H juga telah tersusun sejumlah kitab Ushul Fiqh. Pada umumnya, kitabkitab ushul fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya, kecuali kitab al-Risalah. Kitab al-Risalah mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian para fuqaha pada zaman itu. Pemikiran ushuliyah yang sudah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqh. Hal lain yang dapat dicatat pada abad ini adalah lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya madzhab-madzhab Fiqh. Para pengikut mereka semakin menunjukkan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul fiqh dari para imamnya. Al-Syafe’i misalnya, tidak menerima cara penggunaan istihsan yang masyhur di kalangan Hanafiyah, sebaliknya Hanafiyah tidah menggunakan cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadits-hadits yang dipegang oleh al-Syafe’i. Semnetara itu, kaum al-Hadits pada umumnya dan kaum zhahiri pada khususnya, tidak menyetujui metode-metode dari kedua golongan tersebut, namun golongan terakhir mempunyai metode tersendiri dalam qiyas dan ta’wil.
Perbedaan pendapat dan metaode yang dimiliki oleh masing-amsing aliran yang disertai dengan sikap saling mengkritik antara satu terhadap lainnya merupakan salah satu pendorong semangat pengkajian ilmiah di kalangan ulama pada abad 3 H ini. Semangat pengkajian ini berlanjut terus dan semakin berkembang pada abad 4 H.
Tahap Perkembangan (Abad 4 H)
Abad 4 H merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah dalam bidang politik. Pada Abad ini dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian, kelemahan bidang politik ini tidak memepengaruhi perkembangan semangat keilmuan di kalangan para ulama ketika itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu keislaman pada abad 4 H ini jauh lebih maju dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini antara lain disebabkan masing-masing penguasa daulah-daulah kecil itu berusaha memajukan negerainya dengan memperbanyak kaum intelektual, sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Juga disebabkan terjadinya desentralisasi ekonomi yang membawa daulah-daulah kecil itu semakin makmur dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negerinya.
Khusus di bidang pemikiran Fiqh Islam, abad 4 H iin mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. Mereka menganggap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikirannya yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja. Akibatnya, aliran-aliran fiqh yang ada semakin mantap eksistensinya, apalagi disertai oleh fanatisme di kalangan penganutnya. Hal ni ditandai dengan adanya kewajiban menganut suatu amzhab tertntu dan larangan melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh pendahulunya. Usaha mereka antara lain:
Memperjelas ‘illat-‘illat hukum yang diistinbathkan oleh para imam mereka; mereka itulah yang disebut ulama takhrij;
Mentakhrijkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik dari segi riwayah dan dirayah;
Setiap golongan mendukung madzhabnya sendiri dan mentakhrijkannya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusun kitab al-Khilaf, yang didalamnya diungkapkan masalah-masalah yan diperselisihkan dan mentarjihkan pendapat atau pendiirian madzhab yang dianutnya.
Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup. Akibatnya bagi perkembangan fiqh Islam adalah sebagi berikut:
Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya;
Menghimpun masalah-maslaah furu’ yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat;
Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Keadaan tersebut sangat berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanua usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama-ulama terdahulu dan mentarjihkannya justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh. Hal ini karenad alam meneliti dan emntakhrij pendapat para ulama terdahulu, diperlukan penelusuran sampai pada akar-akarnya dan pengevaluasian kaidah-kaidah ushul yang menjadi dasarnya. Dengan demikian, semakin berkembanglah ilmu ushul yang menjadi dasarnya dan dengan sendirinya ushul fiqh menjadi semakin berkembnag apalagi masing-masing madzhab menyusun kitab Ushul Fiqh.
Tampaknya, para fuqaha memperoleh lapangan baru untuk berijtihad dalam Ushul Fiqh daripada berijtihad dalam bidang fiqh. Mereka melakukan pemikiran yang mandiri dan liberal, serta mempunyai ciri khas dan keorisinilan yang belum pernah dimiliki sebelum mereka. Hal yang turut membantu ialah kecenderungan mereka terhadap ilmu aqliyah, antara lain filsafat, sehingga turut mewarnai metode berpikir Islam ketika itu.
Dengan kata lain, terhentinya ijtihad mutlaq bagi kebanyakan ulama ketika itu tidaklah mengendorkan perkembangan ilmu Ushul Fiqh, bahkan timbul usaha untuk meneliti dan melakukan studi mendalam di bidang ilmu ushul fiqh. Meskipun tidak melakukan istinbath hukum yang bertentangn deng madzhabnya, mereka dapat menemukan argument-argumen yang dapat menguatkan pendirian madzhabnya itu dalam ushul fiqh. Oleh karena itu, secara material, diperlukan semacam ukuran untuk memperbandingkan pandangan-pandangan yang berbedabeda yang pada masa itu menjadi perdebatan sengit, maka jadilah Ushul Fiqh sebagai alat tahkim dalam memecahkan perselisihan-perselisihan.
Sebagai tanda berkembanganya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H. ini, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang merupakan hasil karya dari para ulama. Kitab-kitab yang palng terkenal diantaranya adalah:
Kitab Ushul al-Kharki yang ditulis oleh Abu Hasan Ubaidillah Ibnu al-Husain Ibnu Dilal Dalaham al-Kharkhi (w. 340 H.). Kitab ini bercorak Hanafiyah, memuat 39 kaidah-kaidah ushul fiqh.
Kitab al-Fushul fi al-Ushul, ditulis oleh Amad Ibnu Ali Abu Bakar al-Razim yang dikenal dengan al-Jashshash (305-370 H). Kitab ini bercorak Hanafiyah dan banyak mengkritik isi kitab al-Risalah terutama dalam masalah al-Bayan dan istihsan;
Kitab Bayah Kasyf al-Ahfazh, ditulis oleh Abu Muhammad Badr al-Din Mahmud Ibnu Ziyad al-Lamisy al-Hanafi. Kitab ini ditahqiq oleh Muhammad Hasan Musthafa al-Syalaby. Ia mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kamus yang menerangkan arti lafadz dan arti definisi-definisi yang sangat dibutuhkan oleh para Qadi dan Mufti.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas perkembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 4 H, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang membahas masalah ushul Fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas kitabkitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu (Sulaiman: 162). Selain itu, materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab-kitab itu berbeda dengna kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukkan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana yang tampak dalam kitab al-Fushul fi al-Ushul, karya Abu Bakar al-Razi. Hal ini juga merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4 H. ini.
Dalam abad 4 H ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berpikir menurut ilmu Manthiq dalam ilmu Uhsul Fiqh. Hal ini terlihat dalam masalah mencari makna dan pengertian sesuatu, yang dalam ilmu Ushul Fiqh al-Hudud merupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam perkembangan (kitab-kitab) sebelumnya. Akibat dari pengaruh ini sekurangkurangnya ada dua, yaitu:
1) Ketergantungan penulis dalam bidang ushul fiqh pada pola acuan dan criteria manthiq dalam menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyah. Hal ini membuka jalan bagi mereka untuk melakukan criteria dan keabsahan berpendapat, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ilmu Ushul Fiqh selanjutnya;
2) Munculnya berbagai karangan dalam berbagai bentuk baru yang independen dalam memberikan definisi dan pengertian terhadap peristilahanperistilahan yang khusus dipakai dalam ilmu ushul fiqh.
c. Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6)
Kelemahan politik di Bagdad yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tidak lagi berpusat di Bagdad, tetapi juga di kota-kota, seperti Cairo Bukhara, Gahznah, da Markusy. Hal ini disebbakan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil terhadap perkembnagan ilmu dan peradaban.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang ilmu ushul fiqh yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya; antara lain al-Baqilani, al-Qahdhi Abd. Al-Jabar, Abd. Al-Wahab al-Baghdadi, Abu Zayd Al-Dabusy, Abu Hamid al-Ghazali, dan lain-lain. Mereka itu pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ilmu ushul fiqh yang tidak ada bandingannya dalam penulisan dan pengkajian keislaman. Itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukkan minatnya pada produk-produk ushul fiqh dan menjadikannya sebagai sumber pemikiran.
Kitab-kitab ushul fiqh yang ditulis pada abad ini, di samping mencerminkan adanya kitab ushul fiqh bagi masing-masing madzhab, juga menunjukkan adanya dua aliran ushul Fiqh, yakni aliran Hanafiyah yang dikenal sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakallimin. Ulama yang terkenal di kalangan Hanafyah ialah Abu Zayd al-Dabusy dan Abu Husain Ali Ibnu Al-Husain al-Badzawi, sedangkan yang terkenal dari aliran mutakallimin adalah Imam al-Haramain, penulis al-Burhan, al-Ghazali, penulis al- Mustasyfa, keduanya dari golongan Asy’ariyah dan al-Qadhi Abd al-Jabar, penulis kitab al-‘Ahd, Abu al-Hasan al-Bishari penulis kitab al-Mu’tamad, keduanya dari golongan Mu’tazilah.
Dalam sejarah perkembngan ilmu Ushul Fiqh, pada abad 5 dan 6 H ini merupakan periode penulisan kitab ushul Fiqh terpesat, yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang penting antara lain adalah:
Kitab al-Mughni fi al-Abwab al-‘Adl wa al-Tawhid, yang ditulis oleh al-Qadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H). Dalam kitab ini ditulis kaidah-kaidah fiqh dan ilmu kalam dan ilmu ushul fiqh saling menyempurnakan antara satu dengan yang lainnya.
Kitab al-Mu’tamad fi al-Ushul Fiqh yang ditulis oleh Abu al-Husain al-Bashri (w. 436 H) yang beraliran mu’tazilah. Kitab ini adalah karya yang paling sempurna dan menjadi sumber utama para ulama Mu’tazilah pada umumnya, bahkan dinilai sebagai slah satu dari empat standar kitab Ushul Fiqh, yang dijadikan rujukan oleh umumnya pengkaji ilmu Ushul fiqh sesudahnya.
Kitab al-Iddaf fi Ushul al-Fiqh, ditulis oleh Abu al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf al-Farra (w.458 H.). Pengaruhnya di kalangan Hambali sangat besar dan berlanjut sampai generasi sunni sesudahnya khusunya kaum Hambali, mellaui berbagai karangan tentang al-Qur’an, akidah, fiqh dan ushul fiqh.
Kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, ditulis oleh Abu al-malik Abd. Al-malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf al-Juwaini Imam Haramain (w. 478 H.). Kitab ini dinilai sebagai salah satu kitab standar ushul Fiqh. Dalam kitab iin, al-Juwaini menunjukkan keorisinilan dan kebebasan cara berpikir sehingga dalam berbagaii hal, ia berbeda pendapat dengan Al-Syafe’i, al-Ash’ari dan al-Baqilani.
Kitab al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H.). Menurut Ibnu Khaldun, kitab al-Mustashfa adalah kitab terakhir dari seluruh kitab standar ushul fiqh.4
Daftar Pustaka
1. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: h. 26-27
2. Rachmat Syafe’i, h. 27-30
3. Sulaiman: Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung, Risalah, 1985: h. 98-100
4. Rachmat Syafe’i, h. 30-40
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak