MUTLAQ DAN MUQAYYAD
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
a. Pengertian Mutlaq
Apabila kita selidiki secara
seksama tentang keadaan tiap-tiap lafal yang dipandang dari segi dibatasinya
atau tidaknya lafal itu, maka ada yang keadaannya bebas dan tidak dibatasi penggunaannya
oleh hal lain (muqayyad). Hal-hal yang membatasi lafal itu disebut Al-Qaid.
Oleh karena itu,
berbicara tentang mutlaq terkait pula masalah Muqayyad dan Al-Qaid. “Mutlak
ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal
yang lain”.
Maksudnya lafal tersebut masih
dalam keadaan asli dan bebas dari pengaruh hal-hal yang lain. Lafal ini disebut
Mutlaq atau Al-Mutlaq. Contoh perkataan أَيْدِيْكُمْ Dalam ayat 43 QS. An-Nisa’:
... فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ
صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ ... ٤٣
Artinya: “Apabila kamu tidak
menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usaplah mukamu dan
tanganmu dengan debu itu”.
Mengusap tangan dengan debu,
dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya
tidak diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagainya. Yang
jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkataan وَأَيۡدِيكُمۡۗ
(tanganmu) ini tidak
dibatasi sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah
bagian mana saja asalkan bagian tangan. Karena itu, disebut mutlaq.
Contoh
lain, lafal Raqabatin رَقَبَةٖ dalam ayat 3 QS. Al-Mujadalah yang berbunyi :
.... فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ .... ٣
Artinya:
“Maka hendaklah engkau memerdekakan budak (raqabah)”.
Dalam ayat ini tidak diterangkan
budak yang bagaimana, jadi tidak dibatasi dengan sifat atau syarat lainnya.
Jadi perkataan رَقَبَةٖ (budak) ini disebut mutlaq, dengan demikian, budak yang bagaimana
saja boleh dimerdekakan karena tidak ada ketentuan bahwa budak tersebut harus
yang mukmin atau lainnya (ini dalam masalah zhihar).1
2. Pengertian Muqayyad
Muqayyad adalah
“Muqayyad atau Al-Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya,
dengan dibatasi oleh suatu hal dari batas-batas tertentu”.
Batas-batas yang tertentu tadi
disebut Al-Qaid.Contohnya, perkataan (وَأَيۡدِيَكُمۡ
إِلَى) “basuhlah tanganmu sampai siku-siku”,
yang terdapat dalam ayat 6 surat al-Maidah:
... وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ .... ٦
Artinya:
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”.
Ayat ini menerangkan soal wudlu,
yaitu harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku. Di sini jelaslah bahwa
lafal وَأَيۡدِيَكُمۡ ini disebut muqayyad
(dibatasi), sedangkan lafal إِلَى
ٱلۡمَرَافِقِ disebut Al-Qaid yang kadang-kadang disebut
dengan kata qaid.
Contoh lain adalah perkataan
“Raqabatin Mu’minatin” رَقَبَةٖ
مُّؤۡمِنَةٖ yang
artinya, budak yang mukmin. Yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ : 92:
... وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَٔٗا
فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ ... ٩٢
Artinya: “Barang siapa yang
membunuh orang mukmin karena tersalah, maka wajiblah memerdekakan budak mukmin”.
Dalam ayat ini, terdapat
ketentuan, yaitu terbatas pada budak mukmin sehingga harus memerdekaan budak
yang mukmin saja (dalam soal pembunuhan yang tidak disengaja)
Jadi lafal رَقَبَةٖ dalam ayat ini disebut muqayyad, sedangkan lafal مُّؤۡمِنَةٖ
disebut Al-Qaid.2
3. Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafal itu mutlaq, maka
mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak dibatasi). Dan apabila lafal itu
muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara muqayyad (dibatasi).
Maksudnya lafal yang mutlaq
harus diartikan secara mutlaq dan lafal yang muqayyad harus diartikan secara
muqayyad pula dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya. Maka dengan
sendirinya hukumnya pun harus berbeda.3
4. Hubungan antara Mutlaq dan Muqayyad
Apabila ada suatu lafal, di satu
tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat yang lain berbentuk muqayyad,
maka ada empat kemungkinan dari ketentuannya.
a. Persamaan Sebab dan Hukum
Apabila kedua lafal itu
bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada
yang lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal mutlaq tadi jiwanya sudah tidak
mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada yang muqayyad. Jadi, kedua lafal
tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya.
Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh lafal: ثَلَٰثَةِ
أَيَّامٖۚ yang
artinya tiga hari, bentuknya mutlaq, sebagaimana yang terdapat dalam ayat 89
surat al-Maidah:
.... فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ
أَيَّامٖۚ ... ٨٩
Artinya: “Maka barang siapa yang tidak
mendapatkannya hendaklah puasa tiga hari”.
Menurut bacaan mutawatir, lafal
di atas bentuknya mutlaq. Tetapi menurut bacaan syadzah lafal tersebut di atas
bentuknya muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi, “Hendaklah puasa tiga hari berturut-turut.”
Jadi, dibatasi dengan kata-kata berturut-turut
(mutatabiat).
Karena kedua bacaan tadi
bersamaan sebab dan hukumnya, maka qirat mutawatir di atas harus diikutkan
(disesuaikan) dengan qirat syadzah. Jadi, cara mengartikannya disamakan dengan
qirat syadzah. Hendaklah berpuasa tiga hari berturut-turut, jadi, dalam qiraat
mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut. Jadi karena keduanya sama
hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat sumpah.
Jelasnya, walaupun di dalam
mushaf tidak disebutkan” berturut-turu” tetapi cara mengartikannya haruslah
“berpuasa tiga hari berturut-turut” (dengan memakai qaid mutatabiat)
‘berturut-turut’ yang sesuai dengan qiraat syadz.
b. Sebabnya Berbeda tetapi Hukumnya Sama
Apabila dua lafal itu berbeda
dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum (persamaan hukum) maka bagian ini
diperselisihkan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus
diikutkan kepada yang muqayyad, sedangkan ulama yang lain mengatakan bahwa yang
mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contohnya pada perkataan
“Raqabatin” yang artinya budak. Lafal ini bentuknya mutlaq dalam ayat yang
artinya:
“Dan orang-orang yang bersumpah zhihar
kemudian menarik kembali apa yang dikatakannya, maka wajiblah memerdekakan
budak sebelum keduanya berkumpul.” (Q.S. Al-Mujadalah: 3).
Pada ayat lain dalam surat
An-Nisa’ disebabkan dengan bentuk muqayyad raqabatin mu’minatin (budak yang
mukmin) dalam ayat yang artinya, “Barang siapa yang membunuh orang mukmin
dengan tersalah, maka wajiblah memerdekakan budak yang mukmin.” (QS. An-Nisa’ :
92).
Dalam ayat pertama, yang menjadi
sebab seseorang harus memerdekakan budak ialah karena bersumpah zhihar, sedangkan
pada ayat kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam
sebabnya.
Meskipun berlainan sebabnya,
tetapi hukumnya bersamaan, yaitu sama-sama harus memerdekakan budak. Dalam ayat
yang pertama, bentuknya mutlaq karena hanya disebut raqabatin (budak) sedangkan
dalam ayat kedua bentuknya muqayyad karena disebut raqabatin mu’minatin, yakni
budak yang mukmin. Jadi, kalau yang mutlaq diikutkan kepada yang muqayyad, maka
yang dimaksud budak dalam ayat pertama itu ialah budak-budak yang mukmin (harus
yang mukmin). Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap pada
kemutlaqannya, maka dalam sumpah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus
mukmin, sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang
dimerdekakan harus yang mukmin.
Contoh lain adalah ayat tayamum dengan bentuk
mutlaq seperti dalam firman AllahQS. An-Nisa’ : 43.
... فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ ... ٤٣
Artinya: “Usaplah mukamu dan tanganmu”.
Sedangkan dalam ayat wudhu dengan bentuk
muqayyad, seperti firman Allah QS. Al-Maidah: 6:
.... فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ
إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ .... ٦
Artinya: “Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
sikut”.
Jika yang mutlaq diikutkan
kepada yang muqayyad (sebagaimana kata Imam Syafe’i, maka mengusap tangan dalam
tayamum harus sampai siku sebagaimana halnya dalam wudhu. Sedangkan Imam yang
lain tidak mengharuskan sampai siku.
c. Perbedaan Hukum dan Sebab Perbedaan dalam
Hukumnya Saja
Apabila terjadi perbedaan hukum
dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
Misalnya, dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan
tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hukum dan
sebabnya, yang satu diharuskan adil (Muqayyad), dan yang lainnya, diharuskan
memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satunya soal
pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Karena itu, tidak boleh diikutkan
satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil
sebagaimana dalam hal saksi.
Apabila terjadi perbedaan dalam
hukumnya, maka tidak ada perselisihan antara ulama ushul bahwa yang mutlaq
diikutkan kepada yang muqayyad.
Contohnya, perkataan:
Artinya: “Belilah budak dan merdekakanlah
budak mukmin”.
Karena keduanya ini berbeda
dalam hukumnya, yang satu harus membeli budak dan yang lainnya harus
memerdekakan budak. Oleh karena itu, yang satu tidak boleh diikutkan pada yang
lain.
Jadi, hubungan antara mutlaq dengan muqayyad
itu ada empat, yaitu:
a. Persamaan hukum
dan sebab, yang mutlaq harus diikutkan pada yang muqayyad.
b. Persamaan hukum
dan berlainan sebab, yang ini diperselisihkan ulama ushul, apakah yang mutlaq
diikutkan kepada yang muqayyad ataukan tidak.
c. Perbedaan hukum
dan sebab yang mutlaq boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
d. Perbedaan hukum
dan persamaan sebab, yang mutlaq juga tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.4
Daftar pustaka:
Chaerul Uman, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: h. 95-97
Chaerul Uma, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: h. 97-98
Chaerul Uman, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: h. 99
Chaerul Uman, dkk.,
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 2001:
h. 99-103
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak