Mahkum Alaih
MAHKUM
‘ALAIH
1. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih adalah orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ulama
ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya
dikenai khithab Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf. Dengan kata lain, orang
yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah
dipehitungan berdasarkan tuntutan Allah.1 Dari segi bahasa, mukallaf
diartikan sebagai orang yang diebani hukum, sedangkan dalam istlah ushul fiqh,
mukallaf disebut juga mahkum ’alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang
telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dnegan perintah
Allah maupun dnegan laranan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf
akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan
mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya
bila mengerjakan larangan Allah, ia akan mendapat siksa atau resiko dosa karena
melanggar aturannya, di samping tidak memenuhi kewajibannya.2
2. Taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah
dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tidak heran jika sebagian
besar ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang
mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru dapa
dibebani hukum jika ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang
ditujukan kepadanya. Orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa
memahami taklif dari Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Termasuk ke dalam golongan
ini adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa karena dalam keadaan
tidak sadar. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: yang artinya, “Diangkat
pembebanan hukum dari tiga jenis (jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai sembuh”.
Dengan demikianaa jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan bagi orang
yang dianggap cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hukum.
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa seorang mukallaf dapat dikenai
taklif jika telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a.
Orang itu telah memahami khithab
syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah, baik
secara langsung maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif
tidak dapat dicapai kecuali melalui akal manusia, karena hanya akallah yang
dapat mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Namun
demikian, karena akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, dan berbeda
antara satu orang dengan yang lainnya, maka syara’ menentukan patokan dasar
lain sebagai indikasi yang konkret (jelas) dalam menentukan seseorang telah
berakal atau belum. Indikasi konkret itu adalah balighnya seseorang. Penentu
bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi
wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali, atau telah
sempurna umur lima belas tahun (Rachmat Syafe’i, 1999: 336). Uraian ini
menunjukkan bahwa syarat subjek hukum yang pertama adalah baligh dan berakal.
Orang yang tidak memnuhi persyaratan ini tidak berlaku padanya tuntutan hukum
atau taklif.3
b.
Seseorang harus mampu dalam
bertindak hukum, dalam ushul ??iqh disebut ahlun li al-taklif. Kecakapan
menerima taklif atau yang disebut dengan al-ahliyah adalah kepantasan untuk
menerima taklif.4 Dengan
demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum,
belum atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Maka anak kecil yang belum
baligh, yang dianggap belum mampu bertindak hukum, tidak dikenakan tuntutan
syara’. Begitu pula orang gila, karena kecakapannya untuk bertindak hukumnya
hilang. Selain itu, orang yang pailit dan yang berada di bawah pengampunan
(hajr), dalam masalah harta dianggap tidak mampu bertindak hukum, karena
kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta dianggap hilang.5
Selanjutnya dipermasalahkan, apakah “Islam” merupakan syarat untuk
dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain, apakah non muslim dengan kekafirannya
dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat para ulama.
Pertama, Imam Syafi’i, ulama Iraq yang bermadzhab Hanafi dan mayoritas
ulama di kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara
persyaratan taklif dengan tercapainya syar’i. Mereka berpendapat baahwa
orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan syari’at, seperti
ibadah shalat, puasa dan haji. Artina, meskipun mereka tidak sah niatnya karena
tidak beriman, namum mereka dituntut untuk melaksnakan ibadah itu sebagaimana
berlaku terhadap mukallaf lainnya.
Kedua, pendapat dari sebagian ulama Hanafiyah, Abu Ishak al-Asfahani,
sebagian kelompok Syafi’iyah dan sebagian ulama Mu’tazilah menyatakan bahwa
orang kafir itu tidak dikenai taklif untuk melaksanakan ibadat, karena bagi
kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dnegan terpenuhinya syarat syar’I;
sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu.
Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai
taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk
melaksanakan suruhan, karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan
niat; sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat
apa-apa.Untuk tidak berbuat tidak diperlukan niat.6
3. Ahliyyah
Secara harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan.
Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli
untuk menangani bidang tersebut. Adapun arti ahliyyah secara terminologi,
menurut para ahli ushul fiqh antara lain sebagai berikut:
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang
dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menetukan seseorang telah cakap dikenai
tuntutan syara’”.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang
menujukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh
tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat
tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi
yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan dmeikian, jual belinya,
hibbahnya dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah dianggap mampu untuk
menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.
Kemampuan untuk bertindak hukum tidak datang kepada seseorang secara
sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan
jasmani dan aklnya. Oleh sebab itu para ulama ushul fiqh membagi ahliyyah
tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk,
yaitu:
Pertama, Ahliyyah al-ada’, yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi
seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang bersifat posiif maupun negative. Apabila perbuatannya
sesuai dengan tuntutan syara’, ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan berhak
mendapatkan pahala. Sebaliknya, bila melanggar tuntutan syara’, maka ia
dianggap berdosa dan akan mendapatkan siksa. Dengan kata lain, ia dianggap
telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fiqh, yang menjadi ukuran dalam
menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah ‘aqil, baligh
dan cerdas.7
Kecakapan berbuat hukum atau ahliya al-ada’ terdiri dari tiga
tingkatan. Setiap tingkatan dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga
tingkatan itu adalah:
1)
‘Adim al-ahliyah atau tidak cakap
sama sekali, yaitu seseorang semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar
umur 7 tahun.
2)
Ahliyah al-ada’ naqishah atau
cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz
(kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Panamaan naqishah (lemah) dalam hal
ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna.
3)
Ahliyah al-ada’ al-kamilah atau
cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu seseorang yang telah mencapai usia
dewasa.8
Kedua, Ahliyah al-Wajib, yaitu sifat dan kecakapan seseorang untuk
menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh
kewajiban. Misalnya, ia telah berhak untuk menerima hibbah. Apabila harta
bendanya dirusak orang lain, ia pun dianggap mampu untuk menerima ganti rugi.
Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris dari keluarganya.
Namun demikian, ia dianggap belum untuk dibebani kewajiban-keajiban syara’,
seperti shalat, puasa, dan haji, dan lain-lain. Walaupun mereka melakukan
amalan-amalan tersebut, statusnya sekedar pendidikan bukan kewajiban.
Menurut ulama Ushul Fiqh, ukuran yang digunakan dalam menentukan
ahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur,
baligh kecerdasan, dan lainlain. Sifat ini telah dimiliki seseorang sejak
dilahirkan sampai meninggal dunia dan akan hilang dari seseorang apabila orang
yang bersangkutan meninggal dunia. Berdasarkan ahliyyah wujub, anak yang baru
lahir berhak menerima warisan dan wasiat. Akan tetapi harta tersebut tidak
boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang
diberi wasiat memelihara hartanya), karena anak tersebut dianggap belum mampu
untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Para ahli ushul fiqh membagi ahliyyah al-wujub menjadi dua bagian:
Pertama, ahliyyah al-wujub al-naqishah, yaitu anak yang masih berada
dalam kandungan ibunya (janin). Ia sudah dianggap memiliki ahliyyah al-wujub,
tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi
miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat walaupun hanya untuk sesaat.
Jika ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima dapat menjadi miliknya. Para
ulama Ushul sepakat, ada empat hak bagi seorang janin, yaitu: (a) hak keturunan
dari ayahnya; (b) hak warisan dari pewarisan yang meninggal dunia. (c) wasiat
yang ditujukan kepadanya; dan (d) harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
Kedua, ahliyyah al-wujub al-kamilah, yaitu kecakapan menerima hak bagi
seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal,
sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status ahliyyah al-wujub (baik yang sempurna ataupun tidak),
seeorang tidak dibebani tuntutan syara’, baik bersifat ibadah mahdlah, seperti
shalat, maupun yang sifatnya tindakan-tindakan hukum duniawi, seperti transaksi
yang bersifat pemindahan hak milik. Namun demikian, menurut kesepakatan ulama
ushul, apabila mereka melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan orang
lain, maka orang yang telah berstatus ahliyyah al-ada’ ataupun ahliyyah
al-wujub al-kamilah, wajib mempertanggungjawabkannya. Apabila tindakannya
berkaitan dengan harta, maka wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri.
Pengadilan pun berhak untuk memerintahkan wali atau washi anak kecil yang masih
dalam ahliyyah al-wajib, untuk mengeluarkan ganti rugi terhadap harta orang
lain yang dirusak dari harta anak itu sendiri.
Hanya saja, apabila tindakannya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
??isik rohani, seperti melukai seeorang dan bahkan membunuhnya, maka tindakan
hukum anak kecil yang memiliki ahliyyah al-wajib al-kamilah belum dapat
dipertanggugjawabkan secara hukum, karena ia dianggap belum cakap untuk
bertindak hukum. Hukuman terhadap pembunuhan yang dilakukannya tidak dengan
qishash, tetapi dianggap sebagai melukai atau pembunuhan semi sengaja, yang
hukumannya dengan diat. Adapun bagi orang yang telah berstatus ahliyyah
al-ada’, apabila melakukan tindakan hukum yang merugikan harta, fisik atau
nyawa orang lain, maka ia bertanggung jawab penuh menerima hukuman apapun
bentuknya yang diputuskan syara’.9
.
4. Halangan (‘Awaridl) Ahliyyah
Ulama ushul
menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan
hal-hal berikut:
a.
Awaridh al-samawiyah, yaitu
halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti
gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berlanjut dengan kematian), dan
lupa;
b.
Awaridh al-muktasabah, yaitu
halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah,
berada di bawah pengampunan dan bodoh.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap
tindakan-tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama
sekali, mengurangi atau mengubahnya. Oleh karena itu, mereka membagi halangan
bertindak hukum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk, yaitu:
1)
Halangan yang dapat menyebbakan
kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’) hilang
sama sekali, sepeti gila, tidur, dan terpaksa. Hal ini didasarkan pada sabda
Nabi Muhammad saw.: yang artinya, “Diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku
yang tersalah, terlupa dan terpaksa”.
2)
Halangan yang dapat mengurangi
ahliyyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya
tidak hilang sama sekali, tetapi dapat membatasi sifat kecakapannya dalam
bertindak hukum. Tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat untuk dirinya
dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap batal;
3)
Halangan yang sifatnya dapat
mengubah tindakan hukum seseorang seperti orang yang berutang, pailit, di bawah
pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifatsifat tersebut, sebenarnya tidak
mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukuman yang
berkaitan dengan masalah harta dibatasi. Hal itu dimaksudkan untuk kemashlahatan
dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang.10
Daftar pustaka:
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: h. 389
Rachamt
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: h. 334
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: h. 390
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: h. 390
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
h. 338
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: h. 396-399
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
h. 340
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: h. 392-394
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
h. 341-343
Rachmat Syaf’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
h. 343
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak