IJTIHAD
MODUL
IV :
IJTIHAD
DAN METODE IJTIHAD
IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad
diambil dari akar kata dalam bahasa Arab jahada, yang bentuk mashdarnya ada dua
bentuk, yaitu al-jahd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan
al-juhd, yang berarti al-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Kata al-jahdu
dapat ditemukan dalam surat al-An’am ayat 109 berikut:
وَأَقۡسَمُواْ بِٱللَّهِ
جَهۡدَ أَيۡمَٰنِهِمۡ لَئِن جَآءَتۡهُمۡ ءَايَةٞ لَّيُؤۡمِنُنَّ بِهَاۚ قُلۡ
إِنَّمَا ٱلۡأٓيَٰتُ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَا يُشۡعِرُكُمۡ أَنَّهَآ إِذَا جَآءَتۡ
لَا يُؤۡمِنُونَ ١٠٩
Artinya, “Mereka bersumpah dengan Allah
sesungguh-sungguh sumpah”.
Kata al-jahd beserta seluruh
derivasinya menunjukkan pekerjan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit
untuk dilaksanakan atau disenangi.
Sedangkan
kata al-juhdu ditemukan di dalam al-Quran surat al-taubah ayat 79 sbb.:
ٱلَّذِينَ يَلۡمِزُونَ ٱلۡمُطَّوِّعِينَ
مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فِي ٱلصَّدَقَٰتِ وَٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهۡدَهُمۡ
فَيَسۡخَرُونَ مِنۡهُمۡ سَخِرَ ٱللَّهُ مِنۡهُمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٧٩
Artinya, “Dan
(mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan”.
Ijtihad adalah mashdar dari
fi’il madly ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata jahada menjadi
ijtahada pada wazan ifta’ala berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Oleh
karena itu, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh
sesutau (Rachmat Syafe’I, 1999: 98). Bila arti kata (etimologis) ini dikaitkan
dengan arti istilah (terminologis) tentang ijtihad, akan terlihat keserasian
artinya karena pada kata ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan
kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhna serta sepenuh
hati.1
Adapun definisi ijtihad secara
terminology, banyak rumusan yang diberikan oleh para ulama, diantaranya adalah:
Imam al-Syaukani dalam kitabnya
Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi
“Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat amali
melalui cara istinbath”.
Kata “badzlu al-was’i” dalam
definisi di atas menunjukkan bahwa ijtihad itu adalah usaha besar yang
memerlukan pengerahan kemampuan. Sedangkan kata “syar’i” mengandung arti bahwa
yang dihasilkan oleh usaha ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang
menyangkut tingkah laku manusia.
Dengan menambahkan kata
“al-faqih” sesudah kata “al-badzlu dan kata zhan sebelum kata hukum syar’i,
Ibnu Subki mendefinisikan ijtihad “Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk
menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i”.
Penambahan kata “faqih”
mengandung arti bahwa yang mengereahkan kemampuan dalam ijtihad itu bukanlah
sembarang orang, tetapi orang yang telah mencapai deajat tertentu yang disebut
faqih. Sedangkan kata zhan mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai dengan
usaha ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah
itu sendiri, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui maksudnya secara pasti,
sedangkan Allah sendiri tidak mengungkapkan ketentuan hukum-Nya secara pasti.
Kalau sudah ada firman Allah yang pasti dan jelas tentang hukum, maka tidak
perlu ada ijtihad lagi.
Al-Amidi merumuskan definisi
yang melengkapi dua definisi di atas, yaitu “Pengerahan kemampuan dalam
memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang
dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu”.
Dari
tiga definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa hakikat dari ijtihad adalah:
a. Pengerahan daya nalar secara maksimal
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang
telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut faqih;
c. Produk atau hasil yang diperoleh dari usaha
ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
dan
d. Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara
istinbath.2
Dengan kata lain, ijtihad adalah
pengerahan kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum
sesuatu melalui dalil syara’. Dalam istilah ini, ijtihad lebih banyak dikenal
dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu dapat
dilakukan di bidang fiqh.3
2. Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad
Ijtihad dapat dipandang sebagai
salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan
dilakukannya ijtihad, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan
isyarat, diantaranya firman Allah surat al-Nisa ayat 105:
إِنَّآ أَنزَلۡنَآ
إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ
وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا ١٠٥
Artinya,
“Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di
anatra manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu”.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Umar menyatakan bahwa “Rasulullah saw. bertanya, “Dengan apa
kamu menghukumi?” Ia menjawab: “Dengan apa yang ada dalam kitab Allah”.
Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Dia
menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”. Rasul
bertanya lagi, “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan rasulullah?” Berkata
Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur
kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari rasul-Nya”.
Hal ini telah diikuti oleh para
sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan masalah
baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.4
Hukum berijtihad dapat dilihat
dari tiga segi. Pertama, dari hasil ijtihadnya, itu adalah untuk kepentingan
yang diamalkannya sendiri; seperti menetukan arah kiblat pada waktu akan
melakukan shalat. Kedua dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang
fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya. Ketiga, hukum berijtihad
seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum,
tanpa meamndang kepada keadaan dan kondisi apapun, atau dengan melihat kepada
keadaan dan kondisi tertentu.
Secara umum, hukum
ijtihad itu adalah wajib bagi seorang faqih yang sudah mencapai tingkat faqih.
Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas
dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami
dari firman Allah dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 2:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَخۡرَجَ ٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمۡ لِأَوَّلِ ٱلۡحَشۡرِۚ مَا
ظَنَنتُمۡ أَن يَخۡرُجُواْۖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمۡ حُصُونُهُم مِّنَ
ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنۡ حَيۡثُ لَمۡ يَحۡتَسِبُواْۖ وَقَذَفَ فِي
قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعۡبَۚ يُخۡرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيۡدِيهِمۡ وَأَيۡدِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ ٢
Artinya, “Maka
ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai
wawasan”.
Dalam ayat ini, Allah menyuurh
orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk mengambil I’tibar atau
pertimbangan dalam berpikir. Perintah untuk mengambil I’tibar ini sesudah Allah
menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah
mereka yang tidak baik. Seorang faqih akan dapat mengambil kesimpulan dari
ibarat Allah tersebut bahwa kaum manapun akan mengalami akibat yang sama bila
mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini. Cara
mengambil I’tibar ini merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam
ayat ini Allah menyuruh mengambil i’tibar berarti Allah juga menyuruh
berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah menunjukkan wajib.
Seorang mujtahid dalam kehidupan
sehari-harinya pada waktu mengamalkan ajaran agama sering menemukan hal-hal
yang perlu diselesaikan dengan ijtihad. Bertaqlid kepada orang lain tidak
diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki kualifikasi sebaai mujtahid. Kalau
tidak diperbolehkan bertaqlid, berarti ia harus berijtihad. Kalau tidak
berijtihad, maka ia tidak akan dapat beramal, karena tidak memperoleh petunjuk
dari dalil yang kuat.
Dalam kedudukannya sebagai faqih
yang pendapatnya akan diikuti dan diamalkan oleh orang lain yang minta fatwa
tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung kepada kondisi mujtahid dan
umat di sekitarnya. Pertama, bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu
kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat
melakukan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu
akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi
faqih tersebut adalah wajib ‘ain.
Kedua, bila seorang faqih
ditanya tentang hukum suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia adalah
satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus
tersebut dari hukum, atau pad waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu
melakukan ijtihad, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib
kifayah. Hal ini berarti bawha bila untuk menetapkan hukum kasus tersebut telah
ada seorang faqih yang tampil untuk berijtihad, maka faqih yang lain bebas dari
kewajiban berijtihad. Namun bila tidak ada seorang faqih pun yang berijtihad,
sehingga hukumnya luput, maka semua faqih yang ada di situ berdosa, karena
meninggalkan kewajiban kifayah.
Ketiga, bila keadaan yang
ditanyakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi umat
menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut,
maka ijtihad dalam hal ini hukumnya sunat. Artinya, tidak berdosa seorang faqih
tersebut bila tidak melaukan ijtihad, namun bila ia berijtihad akan lebih baik.
Keempat, berjtihad itu hukumnya
haram untuk kasus yang telah ada hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang
sharih dan qath’I, atau bila orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai
tingkat faqih. Jadi, haramnya hukum ijtihad dalam hal ini adalah pertama,
karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih dan qath’i
yang mengaturnya, dan kedua, karena orang yang berijtihad tidak (belum)
memenuhi syarat yang dituntut untuk berijtihad.
Kelima, dalam menghadapi suatu
kasus yang sduah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi, dan kasus tersbut
elum diatur secara jelas dalam nash al-Quran maupun Sunnah, sedangkan orang
yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa aorang, maka dalam hal
ini hukum berijtihad bagi seorang faqih hukumnya adalah mubah atau boleh.5
3. Macam-macam Ijtihad
Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian,
yaitu:
a. Ijtihad al-Bayani, yaitu ijtihad untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash;
b. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap
permasaahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dengan
menggunakan metode qiyas;
c. Ijtihad al-istishlahi, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah dengan
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Pembagian di atas disempurnakan
oleh Muhammad taqiyu al-Hakim, dengan mengemukakan alasan diantaranya al-jami’
wa al-mani’. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ijtihad al-aqli,
yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil
syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang
pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu tidak baik bila tidak
disertai penjelasan, dan lain-lain.
b. Ijtihaad syara’,
yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah
ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.6
4. Syarat-syarat Ijtihad
Syarat seorang berijtihad atau
syarat seorang mujtahid dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: (1) dari sisi
kepribadiannya; dan (2) dari sisi kemampuannya. Pertama, syarat yang
berhubungan dengan kepribadian menyangkut dua hal, yaitu: (1) syarat umum yang
harus dimiliki oleh seorang mujtahid, yakni telah baligh dan berakal; dan (2)
syarat kepribadian khusus yang menyangkut keimanan dan keadilan. Seorang
mujtahid harus beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berkenaan dengan
dzat, sifat dan perbuatannya. Yang dimaksud dengan adil di sini adalah adil
yang dipersyaratkan dalam periwayatan hadits dan dalam kewalian, yaitu malakah
atau potensi yang melekat pada diri seseorang yang tidak memunkginkannya untuk
melakukan dosa besar dan tidak berketerusan dalam berbuat dosa kecil.
Kedua, syarat yang berhubungan
dengan kemampuan, yaitu yang berhubungan dengan kemampuan akademis untuk
meneliti dan menggali hukum syara’ dari dalil-dalilnya serta merumuskannya
dalam formulasi hukum. Untuk mencapai kemampuan seperti ini diperlukan bebrapa
syarat yang secara kumulatif adalah sbb.:
a. Menguasai dan
mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Quran, baik menurut
bahasa maupun syari’ah.
b. Menguasai dan
mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at.
Menurut al-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab
yang sudah masyhur keshahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan
lain-lain.;
c. Mengetahui
nasakh dan mansukh dari al-Quran dan al-Sunnah, supaya tidak salah dalam
menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di antara
kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah kitab
karangan Ibnu Khuzaimah, Abi Ja’far al-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hazm, dan
lain-lain.
d. Mengetahui
permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya
tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang dapat dijadikan rujukan di
antaranya Kitab Maratib al-Ijma’.
e. Mengetahui qiyas
dan berbagai pesyaratannya serta mengistinbathnya, karena qiyas merupakan
kaidah dalam berijtihad;
f. Mengetahui
bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan baasa, serta
berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena al-Quran adan al-Sunnah ditulis
dengan bahasa Arab;
g. Mengetahui ilmu
ushul fiqh yang merupakan fondasi dari ijtihad.
h. Mengetahui
maqashid al-syari’ah (yujuan syari’at) secara umum, karena
bagaimana pun juga syari’at itu
berkaitan dnegan maqashid al-syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu
hukum. Maksud dari maqashid al-syari’ah antara lain menjaga kemashlahatan
manusia dan menjauhkan dari kemadaratan yang standarnya adalah syara’, bukan
kehendak manusia.7
5. Objek Ijtihad
Menurut al-Ghazali, objek
ijtihad ialah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari
pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidaka dapat dijadikan objek
ijtihad. Syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi ke dalam dua
bagian.
a. Syari’at yang
tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi
sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qath’i,
seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, haji, atau haramnya
melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di
dalam al-Quran dan al-Sunnah.
b. Syari’at yang
dapat dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil
yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya
(tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nashnya dan ijma’ para ulama.
Apabila ada nash yang
keberadannya masih zhanni, hadits ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan
ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para
perawinya, dan lain-lain. Adapun nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang
menjadi lapangan ijtihad antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut,
misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khash, mutlaq, muqayyd, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permsalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber
dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain.8
6. Tingkatan Mujtahid
Menurut para ulama, tingkatan para mujtahid
itu terbagi kepada lima tingkatan, yaitu:
a. Mujtahid
mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia
buat sendiri, dia menyusun fiqhnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang
ada. Menurut al-Suyuti, tingkatan ini sudah tidak ada lagi;
b. Mujtahid Mutlaq
ghairu Mustaqil, yaitu orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil,
namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, teapi mengikuti metode
salah satu imam madzhab. Mujtahid ini dapat juga disebut sebagai muthlaq
muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak
dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yan ditempuh
imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
c. Mujtahid
Muqayyad/Mujtahid Takhrij, yaitu mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya.
Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan
dalil tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya.
Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari
golongan Maliki, serta al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafe’i.
d. Mujtahid Tarjih,
yaitu mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi
menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hapal kaidah-kaidah
imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga
mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi
kalau dibandingkan dengan tingkat mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah
imamnya, ia tergolong masih kurang. Di antaranya al-Qaduri dan pengarang kitab
al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
e. Mujtahid fatwa,
yaitu orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kadiah imam madzhab, mampu
menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah
dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan
qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung
kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang
yang ada dalam madzhab tersebut.9
Daftar Pustaka:
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: 223-224
Amir Syaarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: 223-226
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:99
Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
101-103
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group,2008: 226-229
Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
104-106; lihat Amir Syarifuddin, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: 267-274
Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
104-106 & Amir Syarifuddin, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: 255-264
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
106-107
Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
108-109
Deskripsi:
MODUL
IV :
IJTIHAD
DAN METODE IJTIHAD
IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad
diambil dari akar kata dalam bahasa Arab jahada, yang bentuk mashdarnya ada dua
bentuk, yaitu al-jahd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan
al-juhd, yang berarti al-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Kata al-jahdu
dapat ditemukan dalam surat al-An’am ayat 109 berikut:
وَأَقۡسَمُواْ بِٱللَّهِ
جَهۡدَ أَيۡمَٰنِهِمۡ لَئِن جَآءَتۡهُمۡ ءَايَةٞ لَّيُؤۡمِنُنَّ بِهَاۚ قُلۡ
إِنَّمَا ٱلۡأٓيَٰتُ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَا يُشۡعِرُكُمۡ أَنَّهَآ إِذَا جَآءَتۡ
لَا يُؤۡمِنُونَ ١٠٩
Artinya, “Mereka bersumpah dengan Allah
sesungguh-sungguh sumpah”.
Kata al-jahd beserta seluruh
derivasinya menunjukkan pekerjan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit
untuk dilaksanakan atau disenangi.
Sedangkan
kata al-juhdu ditemukan di dalam al-Quran surat al-taubah ayat 79 sbb.:
ٱلَّذِينَ يَلۡمِزُونَ ٱلۡمُطَّوِّعِينَ
مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فِي ٱلصَّدَقَٰتِ وَٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهۡدَهُمۡ
فَيَسۡخَرُونَ مِنۡهُمۡ سَخِرَ ٱللَّهُ مِنۡهُمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٧٩
Artinya, “Dan
(mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan”.
Ijtihad adalah mashdar dari
fi’il madly ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata jahada menjadi
ijtahada pada wazan ifta’ala berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Oleh
karena itu, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh
sesutau (Rachmat Syafe’I, 1999: 98). Bila arti kata (etimologis) ini dikaitkan
dengan arti istilah (terminologis) tentang ijtihad, akan terlihat keserasian
artinya karena pada kata ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan
kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhna serta sepenuh
hati.1
Adapun definisi ijtihad secara
terminology, banyak rumusan yang diberikan oleh para ulama, diantaranya adalah:
Imam al-Syaukani dalam kitabnya
Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi
“Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat amali
melalui cara istinbath”.
Kata “badzlu al-was’i” dalam
definisi di atas menunjukkan bahwa ijtihad itu adalah usaha besar yang
memerlukan pengerahan kemampuan. Sedangkan kata “syar’i” mengandung arti bahwa
yang dihasilkan oleh usaha ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang
menyangkut tingkah laku manusia.
Dengan menambahkan kata
“al-faqih” sesudah kata “al-badzlu dan kata zhan sebelum kata hukum syar’i,
Ibnu Subki mendefinisikan ijtihad “Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk
menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i”.
Penambahan kata “faqih”
mengandung arti bahwa yang mengereahkan kemampuan dalam ijtihad itu bukanlah
sembarang orang, tetapi orang yang telah mencapai deajat tertentu yang disebut
faqih. Sedangkan kata zhan mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai dengan
usaha ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah
itu sendiri, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui maksudnya secara pasti,
sedangkan Allah sendiri tidak mengungkapkan ketentuan hukum-Nya secara pasti.
Kalau sudah ada firman Allah yang pasti dan jelas tentang hukum, maka tidak
perlu ada ijtihad lagi.
Al-Amidi merumuskan definisi
yang melengkapi dua definisi di atas, yaitu “Pengerahan kemampuan dalam
memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang
dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu”.
Dari
tiga definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa hakikat dari ijtihad adalah:
a. Pengerahan daya nalar secara maksimal
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang
telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut faqih;
c. Produk atau hasil yang diperoleh dari usaha
ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
dan
d. Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara
istinbath.2
Dengan kata lain, ijtihad adalah
pengerahan kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum
sesuatu melalui dalil syara’. Dalam istilah ini, ijtihad lebih banyak dikenal
dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu dapat
dilakukan di bidang fiqh.3
2. Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad
Ijtihad dapat dipandang sebagai
salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan
dilakukannya ijtihad, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan
isyarat, diantaranya firman Allah surat al-Nisa ayat 105:
إِنَّآ أَنزَلۡنَآ
إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ
وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا ١٠٥
Artinya,
“Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di
anatra manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu”.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Umar menyatakan bahwa “Rasulullah saw. bertanya, “Dengan apa
kamu menghukumi?” Ia menjawab: “Dengan apa yang ada dalam kitab Allah”.
Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Dia
menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”. Rasul
bertanya lagi, “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan rasulullah?” Berkata
Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur
kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari rasul-Nya”.
Hal ini telah diikuti oleh para
sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan masalah
baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.4
Hukum berijtihad dapat dilihat
dari tiga segi. Pertama, dari hasil ijtihadnya, itu adalah untuk kepentingan
yang diamalkannya sendiri; seperti menetukan arah kiblat pada waktu akan
melakukan shalat. Kedua dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang
fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya. Ketiga, hukum berijtihad
seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum,
tanpa meamndang kepada keadaan dan kondisi apapun, atau dengan melihat kepada
keadaan dan kondisi tertentu.
Secara umum, hukum
ijtihad itu adalah wajib bagi seorang faqih yang sudah mencapai tingkat faqih.
Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas
dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami
dari firman Allah dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 2:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَخۡرَجَ ٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمۡ لِأَوَّلِ ٱلۡحَشۡرِۚ مَا
ظَنَنتُمۡ أَن يَخۡرُجُواْۖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمۡ حُصُونُهُم مِّنَ
ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنۡ حَيۡثُ لَمۡ يَحۡتَسِبُواْۖ وَقَذَفَ فِي
قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعۡبَۚ يُخۡرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيۡدِيهِمۡ وَأَيۡدِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ ٢
Artinya, “Maka
ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai
wawasan”.
Dalam ayat ini, Allah menyuurh
orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk mengambil I’tibar atau
pertimbangan dalam berpikir. Perintah untuk mengambil I’tibar ini sesudah Allah
menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah
mereka yang tidak baik. Seorang faqih akan dapat mengambil kesimpulan dari
ibarat Allah tersebut bahwa kaum manapun akan mengalami akibat yang sama bila
mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini. Cara
mengambil I’tibar ini merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam
ayat ini Allah menyuruh mengambil i’tibar berarti Allah juga menyuruh
berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah menunjukkan wajib.
Seorang mujtahid dalam kehidupan
sehari-harinya pada waktu mengamalkan ajaran agama sering menemukan hal-hal
yang perlu diselesaikan dengan ijtihad. Bertaqlid kepada orang lain tidak
diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki kualifikasi sebaai mujtahid. Kalau
tidak diperbolehkan bertaqlid, berarti ia harus berijtihad. Kalau tidak
berijtihad, maka ia tidak akan dapat beramal, karena tidak memperoleh petunjuk
dari dalil yang kuat.
Dalam kedudukannya sebagai faqih
yang pendapatnya akan diikuti dan diamalkan oleh orang lain yang minta fatwa
tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung kepada kondisi mujtahid dan
umat di sekitarnya. Pertama, bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu
kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat
melakukan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu
akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi
faqih tersebut adalah wajib ‘ain.
Kedua, bila seorang faqih
ditanya tentang hukum suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia adalah
satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus
tersebut dari hukum, atau pad waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu
melakukan ijtihad, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib
kifayah. Hal ini berarti bawha bila untuk menetapkan hukum kasus tersebut telah
ada seorang faqih yang tampil untuk berijtihad, maka faqih yang lain bebas dari
kewajiban berijtihad. Namun bila tidak ada seorang faqih pun yang berijtihad,
sehingga hukumnya luput, maka semua faqih yang ada di situ berdosa, karena
meninggalkan kewajiban kifayah.
Ketiga, bila keadaan yang
ditanyakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi umat
menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut,
maka ijtihad dalam hal ini hukumnya sunat. Artinya, tidak berdosa seorang faqih
tersebut bila tidak melaukan ijtihad, namun bila ia berijtihad akan lebih baik.
Keempat, berjtihad itu hukumnya
haram untuk kasus yang telah ada hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang
sharih dan qath’I, atau bila orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai
tingkat faqih. Jadi, haramnya hukum ijtihad dalam hal ini adalah pertama,
karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih dan qath’i
yang mengaturnya, dan kedua, karena orang yang berijtihad tidak (belum)
memenuhi syarat yang dituntut untuk berijtihad.
Kelima, dalam menghadapi suatu
kasus yang sduah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi, dan kasus tersbut
elum diatur secara jelas dalam nash al-Quran maupun Sunnah, sedangkan orang
yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa aorang, maka dalam hal
ini hukum berijtihad bagi seorang faqih hukumnya adalah mubah atau boleh.5
3. Macam-macam Ijtihad
Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian,
yaitu:
a. Ijtihad al-Bayani, yaitu ijtihad untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash;
b. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap
permasaahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dengan
menggunakan metode qiyas;
c. Ijtihad al-istishlahi, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah dengan
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Pembagian di atas disempurnakan
oleh Muhammad taqiyu al-Hakim, dengan mengemukakan alasan diantaranya al-jami’
wa al-mani’. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ijtihad al-aqli,
yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil
syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang
pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu tidak baik bila tidak
disertai penjelasan, dan lain-lain.
b. Ijtihaad syara’,
yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah
ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.6
4. Syarat-syarat Ijtihad
Syarat seorang berijtihad atau
syarat seorang mujtahid dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: (1) dari sisi
kepribadiannya; dan (2) dari sisi kemampuannya. Pertama, syarat yang
berhubungan dengan kepribadian menyangkut dua hal, yaitu: (1) syarat umum yang
harus dimiliki oleh seorang mujtahid, yakni telah baligh dan berakal; dan (2)
syarat kepribadian khusus yang menyangkut keimanan dan keadilan. Seorang
mujtahid harus beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berkenaan dengan
dzat, sifat dan perbuatannya. Yang dimaksud dengan adil di sini adalah adil
yang dipersyaratkan dalam periwayatan hadits dan dalam kewalian, yaitu malakah
atau potensi yang melekat pada diri seseorang yang tidak memunkginkannya untuk
melakukan dosa besar dan tidak berketerusan dalam berbuat dosa kecil.
Kedua, syarat yang berhubungan
dengan kemampuan, yaitu yang berhubungan dengan kemampuan akademis untuk
meneliti dan menggali hukum syara’ dari dalil-dalilnya serta merumuskannya
dalam formulasi hukum. Untuk mencapai kemampuan seperti ini diperlukan bebrapa
syarat yang secara kumulatif adalah sbb.:
a. Menguasai dan
mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Quran, baik menurut
bahasa maupun syari’ah.
b. Menguasai dan
mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at.
Menurut al-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab
yang sudah masyhur keshahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan
lain-lain.;
c. Mengetahui
nasakh dan mansukh dari al-Quran dan al-Sunnah, supaya tidak salah dalam
menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di antara
kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah kitab
karangan Ibnu Khuzaimah, Abi Ja’far al-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hazm, dan
lain-lain.
d. Mengetahui
permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya
tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang dapat dijadikan rujukan di
antaranya Kitab Maratib al-Ijma’.
e. Mengetahui qiyas
dan berbagai pesyaratannya serta mengistinbathnya, karena qiyas merupakan
kaidah dalam berijtihad;
f. Mengetahui
bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan baasa, serta
berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena al-Quran adan al-Sunnah ditulis
dengan bahasa Arab;
g. Mengetahui ilmu
ushul fiqh yang merupakan fondasi dari ijtihad.
h. Mengetahui
maqashid al-syari’ah (yujuan syari’at) secara umum, karena
bagaimana pun juga syari’at itu
berkaitan dnegan maqashid al-syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu
hukum. Maksud dari maqashid al-syari’ah antara lain menjaga kemashlahatan
manusia dan menjauhkan dari kemadaratan yang standarnya adalah syara’, bukan
kehendak manusia.7
5. Objek Ijtihad
Menurut al-Ghazali, objek
ijtihad ialah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari
pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidaka dapat dijadikan objek
ijtihad. Syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi ke dalam dua
bagian.
a. Syari’at yang
tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi
sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qath’i,
seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, haji, atau haramnya
melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di
dalam al-Quran dan al-Sunnah.
b. Syari’at yang
dapat dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil
yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya
(tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nashnya dan ijma’ para ulama.
Apabila ada nash yang
keberadannya masih zhanni, hadits ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan
ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para
perawinya, dan lain-lain. Adapun nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang
menjadi lapangan ijtihad antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut,
misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khash, mutlaq, muqayyd, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permsalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber
dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain.8
6. Tingkatan Mujtahid
Menurut para ulama, tingkatan para mujtahid
itu terbagi kepada lima tingkatan, yaitu:
a. Mujtahid
mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia
buat sendiri, dia menyusun fiqhnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang
ada. Menurut al-Suyuti, tingkatan ini sudah tidak ada lagi;
b. Mujtahid Mutlaq
ghairu Mustaqil, yaitu orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil,
namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, teapi mengikuti metode
salah satu imam madzhab. Mujtahid ini dapat juga disebut sebagai muthlaq
muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak
dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yan ditempuh
imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
c. Mujtahid
Muqayyad/Mujtahid Takhrij, yaitu mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya.
Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan
dalil tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya.
Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari
golongan Maliki, serta al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafe’i.
d. Mujtahid Tarjih,
yaitu mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi
menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hapal kaidah-kaidah
imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga
mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi
kalau dibandingkan dengan tingkat mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah
imamnya, ia tergolong masih kurang. Di antaranya al-Qaduri dan pengarang kitab
al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
e. Mujtahid fatwa,
yaitu orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kadiah imam madzhab, mampu
menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah
dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan
qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung
kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang
yang ada dalam madzhab tersebut.9
Daftar Pustaka:
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: 223-224
Amir Syaarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: 223-226
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:99
Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
101-103
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group,2008: 226-229
Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
104-106; lihat Amir Syarifuddin, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: 267-274
Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
104-106 & Amir Syarifuddin, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: 255-264
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
106-107
Rachmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999:
108-109
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak