SADD AL-DZARI’AH DAN MADZHAB SHAHABY


MODUL IV :
IJTIHAD DAN METODE IJTIHAD

SADD AL-DZARI’AH DAN MADZHAB SHAHABY

1. Sadd al-Dzari’ah

                Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Demikian, lebih tepat kalau dzari’ah tu dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah (yang dilarang) dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).

a. Pengertian Sadd al-Dzari’ah

Menurut al-Syatibi, sadd al-Dzari’ah ialah  “Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan)”.

                Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd al-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syari’at Islam merupakan perbuatan baik yang mengandung kemashlahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum zakat adalah wajib sedangkan hibah adalah sunnah.

Menurut al-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu: (1) perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan; (2) Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan; dan (3) Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatan.1

b. Macam-macam Dzari’ah

                Para ulama membagi dzari’ah berdasarkan dua segi; segi kemashlahatan dan segi kemafsadatannya. Menurut al-Syatibi, dari segi kualitas kemafsadatan, dzari’ah dibagi ke dalam empat macam, yaitu:

1) Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tesrebut. Orang yang bersangkutan dikenai hukuman karena melakukan perbuata tersebut dengan disengaja.
2) Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan;
3) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata pada musuh, yang di mungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
4) Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan. Mislanya bai’ al-ajal (jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan.

                Sedangkan dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan, Ibnu Qayyim al-Auziyah membagi kepada dua bagian, yaitu:
1) Perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat;
2) Suatu perbuatan yang pada dadarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu dapat kembali kepada suaminya yang pertama (nikah al-tahlil).

Menurut Ibnu Qayyim, kedua bagian di atas dibagi lagi dalam dua bagian, yaitu:
1) Kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatannya;
2) Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfatannya.

Kedua pembagian ini pun, menurut Ibnu qayyim dibagi lagi menjadi empat bentuk,  yaitu:
1) Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang syara’;
2) Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar peempuan itu dapat kembali kepada suaminya yang pertama;
3) Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan suatu kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci Allah.
4) Suatu pekrjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi adakalanya menimbulkan kemafsadatan, seperti melihat perempuan yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.2

c. Kehujjahan Sadd al-Dzari’ah

                Di kalangan ulama Ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd al-dzai’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.

                Mereka pun mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah saw “Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seeorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah saw. ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan bapaknya? Rasulullah saw. menjawab, “Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang yang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci maki ibunya”..

                Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan udzur. Misalnya seorang musafir atau sakit dibolehkan meningalkan shalat Jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat zhuhur. Namun shalat zhuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat jum’at. Menurut Husain Hamid, Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima sadd al-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan tejadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah al-zhan) akan terjadi.

                Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul. Pertama, motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang lakilaki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’. Kedua, dari segi dampaknya (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maka sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.

                Perbedaan antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dnegan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang betransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah. Menurut mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjuukan niat dari perilaku maka berlaku kaidah: “Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya”.

                Akan tetapi jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka berlaku kaidah: “Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafadz dan bentuk formal (ucapan)”.

                Sedangkan menurut ulama malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya, maka sah. Namun apabila tidak sesuai dnegan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah. Apabila ada indikator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun bila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbatannya dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya.

                Golongan Zhahiriyah tidak mengakui kehujjahan sadd al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.3

d. Fath al-Dzari’ah

                Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan al-Qarafi mengatakan bahwa dzari’ah itu adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath al-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.

                Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti di atas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Hal iin sesuai dengan kaidah: “Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib”.

                Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah: “Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itupun diharamkan”.

                Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan perempuan yang bukan muhrim atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menururt Jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan perempuan yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).

                Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai fath al-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyah dan sebagian Malikiyah menyebutkan sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.4

2. Madzhab al-Shahabi

a. Keadaan Para Sahabat setelah Rasulullah Wafat

                Setelah Rasulullah saw. wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah saw. dan telah memahami al-Quran serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-amcam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Di antara mereka ada yang mengkodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka diangap summer-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali jika hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihad bukan atas nama umat Islam.5

b. Pengertian Mazhhab Shahabi

                Sulit menemukan arti madzhab shahabi itu secara definitif yang bebas dari kritik. Namun dari beberapa literatur yang menjelaskan hakikat madzhab shahabi, dapat dirumuskan arti madzhab shahabi itu secara sederhana adalah: “Madzhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perorangan”.

                Rumusan sederhana tersebut mengandung 3 (tiga) pembahasan. Pertama, penggunaan kata “fatwa” dalam definisi ini mengandung arti bahwa fatwa itu merupakan suatu keterangan atau penjelasan tenang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Dengan demikian apa yang disampaikan seorang sahabat dan dijelaskannya sebagai berasal dari Nabi, tidak dinamakan madzhab shahabi, tetapi disebut sunnah, sedangkan usaha sahabat yang menyampaikan itu disebut periwayatan.

                Abu Zahrah menguraikan beberapa kemungkinan bentuk madzhab Shahabi tersebut ke dalam beberapa bentuk, yaitu: (1) Apa yang disampaikn sahabat itu adalah suatu berita yang didengarnya dari Nabi, namun ia tidak menjelaaskan bahwa berita itu sebagai sunnah; (2) Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang dia dengar dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi tidak ada penjelasan dari orang tersebut bahwa yang didengarnya itu berasal dari Nabi; (3) Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Quran yang orang lain tidak memahaminya; (4) APa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang sudah disepakati oleh lingkungannya, namun ang menyampaikannya hanya sahabat tersebut seorang diri; (5) Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pemahamannya atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafadz.

                Kedua, yang menyampaikan fatwa itu adalah seorang sahabat Nabi. Tentang siapa yang dinamakan sahabat tersebut, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul dengan ulama hadits. Ulama hadits menamakan sahabat itu dengan “orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan Islam”. Menurut pandangan ahli ushul, yang disebut sahabat ialah orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang panjang.

                Ketiga, penggunaan kata “secara perseorangan” yang merupakan fasal kedua dalam definisi di atas, memperlihatkan secara jelas perbedaan madzhab shabai dengan ijma’ shahabi. Karena ijma; shabai itu bukan pendapat perorangan tetapi hasil kesepakatan bersama tentang hukum.6

c. Kehujjahan Madzhab Shahabi

                Berdasarkan uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dainggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau akal. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah saw., seperti ucapan Aisyah: “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”. Keterangan tersebut tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah saw., maka dianggap sebagai sunnah meskipun zahirnya merupakan ucapan sahabat.

                Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain dapat dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah saw. Mereka juga mengetahui tentang rahasiarahasia syari’at dan kejaidan-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dali yang qath’i. seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ktentuan tersebut wajib diikuti karena tidak diketahui adanya perselisihan dari umat islam.

                Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata: “Apabila saya tidak mendaptkan hukum dalam al-Quran dan Sunnah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya.

                Dengana demikian, Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagai hujjah karena dia dapat mengambil pendapat mereka yang dia kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh (menghapus/menghilangkan) terhadap berbagai pendapat yang terjadi di antara mereka.

                Menurut Abu Hanifah perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, dapat dikatakan ijma’ di antara keduanya. Apabila keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.

                Sementara Imam Syafe’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu di kalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah bahkan ia memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keeluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistibnath pendapat lain. Alasan yanag dipegang olehnya adalah pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’shum.

                Di pihak lain, para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Oleh karena itu, tidak aneh jika Imam Syafe’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang disepakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan di antara mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagian.7




Daftar pustaka:
1 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 132-133
2 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 133-135
3 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 136-139
4 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 139-140
5 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 141
6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: H. 378-381
7 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 141-142

Komentar

Postingan Populer