Sumber-sumber hukum islam (Al-Qur'an)
SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM
AL-QUR’AN
1. PENGERTIAN
AL-QUR’AN
Kata Al-Quran dalam bahasa Arab merupakan masdar dari kata Qara’a (قرأ) yang secara etimologis berarti bacaan,
dan atau apa yang tertulis padanya. Subjek dari kata Qara’a (قرأ) berupa isim fa’il yaitu Maqru’ (مقروء) seperti terdapat dalam
firman Allah SWT. Surat Al-Qiyamah ayat 17–18:
إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ
وَقُرۡءَانَهُۥ ١٧ فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ
قُرۡءَانَهُۥ ١٨
Artinya, “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
Dalam kajian ushul
fiqih, Al-Quran juga disebut dengan beberapa nama seperti:
a. Al-Kitab, artinya tulisan atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita
kaum muslimin agar Al-Quran dibukukan atau ditulis menjadi suatu buku. Kata
tersebut antara lain dapat dijumpai dalam surat Al-Baqarah ayat 2:
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا
رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
Artinya, “Kitab (Al
Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
b. Al-Furqan, artinya pembela. Hal
ini mengingatkan pada kita agar dalam mencari garis pemisah antara yang hak dan
yang batil, yang baik dan yang buruk haruslah merujuk padanya. Hal ini
menunjukkan bahwa Al-Quran membedakan sesuatu antara yang hak dan yang batil.
Ini dapat kita jumpai antara lain dalam firman Allah surat Al-Furqan ayat 1:
تَبَارَكَ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ
عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا ١
Artinya, “Maha Suci
Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”.
c. Al-Zikr, artinya ingat. Arti ini menunjukkan bahwa Al-Quran berisi
peringatan agar tuntutannya selalu diingat dalam melaksanakan setiap tindakan.
Hal ini dapat kita temukan dalam surat Al-Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا
لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
Artinya,
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami
benar-benar memeliharanya”
d. Al-Huda, artinya petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang
kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan
kepada Al-Quran.
Dari segi terminologi,
Al-Quran adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW., dengan perantaraan Malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir
dan tertulis dalam mushaf. Para ulama ushul fiqih antara lain mengemukakan
bahwa:
a. Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW.
Apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad SAW., maka tidak
dinamakan Al-Quran, melainkan Zabur, Taurat, dan Injil. Ketiga kitab yang
disebut terakhir ini adalah kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada
Muhammad SAW. Bukti bahwa Al-Quran adalah kalam Allah adalah kemukjizatan yang
dikandung Al- Quran itu sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah
yang dikandungnya, dan ramalan-ramalan masa depan yang diungkap Al-Quran.
b. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy. Hal ini ditunjukkan oleh
beberapa ayat Al-Quran, seperti dalam surat Asy-Syu’ara: 192-195, Yusuf: 2,
Al-Zumar: 28, Al-Nahl: 103, dan Ibrahim: 4. Oleh sebab itu, penafsiran dan
terjemahan Al-Quran tidak dinamakan Al-Quran, tidak bernilai ibadah bila
membacanya seperti nilai membaca Al-Quran, dan tidak sah shalat dengan hanya
membaca tafsir atau terjemahan Al-Quran. Al-Quran merupakan nama dari struktur
bahasa dan makna yang dikandungnya. Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan
shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah
(keringanan hukum), karena ketidakmampuan sebagian orang untuk membaca dan
menghafal ayat-ayat Al-Quran, terlebih lagi bagi yang baru masuk Islam.
Dari definisi
Al-Quran tersebut di atas, jelaslah bahwa Al-Quran mempunyai ciri-ciri khas dan
keistimewaan sebagai berikut:
a. Lafaz dan maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril dengan jalan wahyu. Nabi tidak boleh
mengubah, baik kalimat ataupun pengertiannya selain dari menyampaikan seperti
apa yag diterimanya. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Quran dengan
makna. Dengan demikian, maka Al-Quran berbeda dengan hadis, baik hadis Qudsi
maupun hadis Nabawi, yang keduanya merupakan ungkapan kalimat dari Nabi dan
merupakan perkataan Nabi yang diwahyukan Allah kepadanya. Jadi, dari segi ini
tak berbeda antara hadis Qudsi dan Nabawi. Perbedaannya dalah bahwa hadis Qudsi
disampaikan Rasul dengan menjelaskannya bahwa itu dari Allah.
Sedang
hadis Nabawi ialah yang keluar dari lidah Nabi tanpa menghubungkannya dengan
Allah, seperti sabdanya:
Demikian
juga halnya dengan Tafsir Al-Quran sekalipun berbahasa Arab, tidak boleh
dinamakan Al-Quran, karena kalimat-kalimat tafsir sekalipun sesuai lafaz dan
maknanya dengan Al-Qurann merupakan kreasi para ahli tafsir, bukan Kalam Allah
Yang Maha Agung.
b. Al-Quran diturunkan dengan lafaz dan gaya bahasa Arab, seperti yang
difirmankan Allah dalam surat Al-Zukhruf ayat 3:
إِنَّا جَعَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا
لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٣
Artinya,
“Sesungguhnya kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 3)
Memang di dalam Al-Quran terdapat sebagian lafaz nadir (ganjil), yang
menurut pandangan sebagian ulama bukan bahasa Arab asli. Namun, hal ini
tidaklah membuat cacat sebagai bahasa Arab. Beberapa kata-kata itu misalnya:
المشكاة والقيسورة . Akan
tetapi, kata-kata tersebut sudah digunakan orang Arab sebagai bahasanya.
Sebagaimana halnya juga terdapat dalam berbagai bahasa, yaitu adanya kata-kata
dari bahasa asing yang diambil (diserap). Dalam bahasa indonesia pun banyak
kata dari bahasa asing yang sudah diindonesiakan sehingga menjadi bahasa asli.
Berdasarkan hal tersebut, maka terjemahan Al-Quran ke dalam
bahasa-bahasa asing tidak boleh disebut Al-Quran sehingga tidak sah shalat dengan
terjemahan Al-Quran dan tidak boleh dijadikan sumber hukum. Pernah diriwayatkan
bahwa Abu Hanifah membolehkan shalat dengan terjemahan bahasa Parsi pada
sebagian Al-Quran bagi orang yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab. Akan
tetapi, di kalangan ulama sudah disahkan bahwa Abu Hanifah berpendapat bahwa
orang yang tidak bisa mengucapkan bahasa Arab dalam bacaan shalatnya cukup diam
saja seraya menekuni makna ibadah, taat, dan munajat, sebagaimana halnya dengan
orang yang tak mampu shalat berdiri, cukup shalat sambil duduk.
Oleh karena itu, Imam Syafe’i dan lain-lain mewajibkan kaum muslimin
untuk mengetahui baca tulis bahasa Arab untuk keperluan membaca Al-Quran serta
menghapal bagian yang perlu dibaca dalam shalat.
Sesungguhnyalah menerjemahkan Al-Quran menurut maknanya yang bersifat
sastra itu adalah mustahil. Yang mungkin hanyalah menerjemahkan secara
tafsir/interprestasi sebagai terjemahan menurut perkataan dan pandangan ahli
tafsir, bukan sebagai terjemahan Al-Quran itu sendiri, karena ada kemungkinan
adanyakekeliruan ahli tafsir dan ahli terjemah dalam menafsirkan atau
menerjemahkan Al-Quran itu.
c. Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara
mutawatir (dituturkan oleh orang banyak kepad orang banyak sampai sekarang.
Mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian
satu kata pun. Berbeda dengan kitab-kitab samawi (yang datang dari Allah) yang
ditujukan kepada para Rasul sebelum Muhammad SAW., sifatnya tidak mutawatir dan
tidak dijamin keasliannya. Sedangkan Al-Quran terpelihara kemurniannya,
sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al-Hijr ayat 9:
ثَانِيَ
عِطۡفِهِۦ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۖ لَهُۥ فِي ٱلدُّنۡيَا خِزۡيٞۖ
وَنُذِيقُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ عَذَابَ ٱلۡحَرِيقِ ٩
Artinya,
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami
benar-benar memeliharanya.”
d. Membaca setiap kata dalam Al-Quran itu mendapat pahala dari Allah, baik
bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf Al-Quran.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW., bersabda: yang artinya, “Siapa yang membaca
satu huruf dari Al-Quran, maka ia mendapat satu kebaikan, satu kebaikan
bernilai sepuluh kali. Saya tidak mengatakan alif lam mim itsu satu huruf,
tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf” (HR. Al-Tirmizi dan
Al-Hakim dari Abdullah ibnu Mas’ud).
e. Ciri terakhir dari Al-Quran yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian
bagi para ulama untuk membedakan Al-Quran dengan kitab-kitab lainnya adalah
bahwa Al-Quran itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Quran, disusun sesuai dengan
petunjuk Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak boleh
diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian doa-doa yang biasanya ditambahkan
di akhir Al-Quran, tidak termasuk Al-Quran.1
2. Garis-garis
Besar Isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi
Al-Qur’an ada lima:
a. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, Malaikat-malaikatnya,
Kitab-kitabnya, para RasulNya, hari kemudian, dan Qadla dan Qadar yang baik dan
buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai sebagai kegiatan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman; Al-Qur’an menjanjikan pahala bagi orang yang mau
menerima dan mengamalkan isi Al-Qur’an dan mengancam mereka yang mengingkarinya
dengan siksa.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat, untuk kebahagiaan
dunia dan akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang
yang saleh seperti Nabi-nabi dan Rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari
Agama Allah dan hukum-hukumnya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan
tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntutan
akhlaq.2
3. Dasar-dasar
Al-Qur’an dalam Membuat Hukum
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk
dan pengajaran bagi seluruh umat manusia, dalam mengadakan perintah dan
larangannya, Al-Qur’an selalu selalu berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
a.
Tidak memberatkan atau menyusahkan
Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut.
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ
نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ .... ٢٨٦
Artinya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya”.
Dengan
dasar itulah, kita boleh:
1) mengqashar shalat (dari empat menjadi dua raka’at) dan menjama’
(mengumpulkan dua shalat), yang masing-masing apabila dalam bepergian sesuai
dengan syarat-syaratnya.
2) boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian.
3) boleh bertayamum sebagai ganti wudlu.
4) boleh makan makanan yang diharamkan, jika keadaan memaksa.
b.
Tidak memperbanyak beban atau
tuntutan
Misalnya
zakat, karena hanya diwajibkan bagi orang yang mampu saja, dan lain-lain.
c.
Berangsur-angsur
Al-Qur’an
telah membuat hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini dapat diketahui
dalam proses mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, seperti larangan
minum-minuman keras dan perjudian, yang dikemukakan oleh firman Allah surat
al-Baqarah ayat 219, al-Nisa ayat 43. Kemudian datanglah fase terakhir yaitu
larangan keras terhadap arak dan judi, setelah banyak orang-orang yang telah
meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat pertama dan yang kedua
seperti yang terdapat dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 90.
Demikian Allah membuat larangan dan melakukan pembinaan hukum secara berangsur-angsur.3
Daftar pustaka:
1 Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001, h. 31-41
2 Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, Bandung:
Al-Ma’arif, 1987: h. 97
3 Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, Bandung:
Al-Ma’arif, 1987: h. 98-99 & Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia,
2001: h. 49
Deskripsi
SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM
AL-QUR’AN
1. PENGERTIAN
AL-QUR’AN
Kata Al-Quran dalam bahasa Arab merupakan masdar dari kata Qara’a (قرأ) yang secara etimologis berarti bacaan,
dan atau apa yang tertulis padanya. Subjek dari kata Qara’a (قرأ) berupa isim fa’il yaitu Maqru’ (مقروء) seperti terdapat dalam
firman Allah SWT. Surat Al-Qiyamah ayat 17–18:
إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ
وَقُرۡءَانَهُۥ ١٧ فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ
قُرۡءَانَهُۥ ١٨
Artinya, “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
Dalam kajian ushul
fiqih, Al-Quran juga disebut dengan beberapa nama seperti:
a. Al-Kitab, artinya tulisan atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita
kaum muslimin agar Al-Quran dibukukan atau ditulis menjadi suatu buku. Kata
tersebut antara lain dapat dijumpai dalam surat Al-Baqarah ayat 2:
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا
رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
Artinya, “Kitab (Al
Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
b. Al-Furqan, artinya pembela. Hal
ini mengingatkan pada kita agar dalam mencari garis pemisah antara yang hak dan
yang batil, yang baik dan yang buruk haruslah merujuk padanya. Hal ini
menunjukkan bahwa Al-Quran membedakan sesuatu antara yang hak dan yang batil.
Ini dapat kita jumpai antara lain dalam firman Allah surat Al-Furqan ayat 1:
تَبَارَكَ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ
عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا ١
Artinya, “Maha Suci
Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”.
c. Al-Zikr, artinya ingat. Arti ini menunjukkan bahwa Al-Quran berisi
peringatan agar tuntutannya selalu diingat dalam melaksanakan setiap tindakan.
Hal ini dapat kita temukan dalam surat Al-Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا
لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
Artinya,
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami
benar-benar memeliharanya”
d. Al-Huda, artinya petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang
kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan
kepada Al-Quran.
Dari segi terminologi,
Al-Quran adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW., dengan perantaraan Malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir
dan tertulis dalam mushaf. Para ulama ushul fiqih antara lain mengemukakan
bahwa:
a. Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW.
Apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad SAW., maka tidak
dinamakan Al-Quran, melainkan Zabur, Taurat, dan Injil. Ketiga kitab yang
disebut terakhir ini adalah kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada
Muhammad SAW. Bukti bahwa Al-Quran adalah kalam Allah adalah kemukjizatan yang
dikandung Al- Quran itu sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah
yang dikandungnya, dan ramalan-ramalan masa depan yang diungkap Al-Quran.
b. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy. Hal ini ditunjukkan oleh
beberapa ayat Al-Quran, seperti dalam surat Asy-Syu’ara: 192-195, Yusuf: 2,
Al-Zumar: 28, Al-Nahl: 103, dan Ibrahim: 4. Oleh sebab itu, penafsiran dan
terjemahan Al-Quran tidak dinamakan Al-Quran, tidak bernilai ibadah bila
membacanya seperti nilai membaca Al-Quran, dan tidak sah shalat dengan hanya
membaca tafsir atau terjemahan Al-Quran. Al-Quran merupakan nama dari struktur
bahasa dan makna yang dikandungnya. Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan
shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah
(keringanan hukum), karena ketidakmampuan sebagian orang untuk membaca dan
menghafal ayat-ayat Al-Quran, terlebih lagi bagi yang baru masuk Islam.
Dari definisi
Al-Quran tersebut di atas, jelaslah bahwa Al-Quran mempunyai ciri-ciri khas dan
keistimewaan sebagai berikut:
a. Lafaz dan maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril dengan jalan wahyu. Nabi tidak boleh
mengubah, baik kalimat ataupun pengertiannya selain dari menyampaikan seperti
apa yag diterimanya. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Quran dengan
makna. Dengan demikian, maka Al-Quran berbeda dengan hadis, baik hadis Qudsi
maupun hadis Nabawi, yang keduanya merupakan ungkapan kalimat dari Nabi dan
merupakan perkataan Nabi yang diwahyukan Allah kepadanya. Jadi, dari segi ini
tak berbeda antara hadis Qudsi dan Nabawi. Perbedaannya dalah bahwa hadis Qudsi
disampaikan Rasul dengan menjelaskannya bahwa itu dari Allah.
Sedang
hadis Nabawi ialah yang keluar dari lidah Nabi tanpa menghubungkannya dengan
Allah, seperti sabdanya:
Demikian
juga halnya dengan Tafsir Al-Quran sekalipun berbahasa Arab, tidak boleh
dinamakan Al-Quran, karena kalimat-kalimat tafsir sekalipun sesuai lafaz dan
maknanya dengan Al-Qurann merupakan kreasi para ahli tafsir, bukan Kalam Allah
Yang Maha Agung.
b. Al-Quran diturunkan dengan lafaz dan gaya bahasa Arab, seperti yang
difirmankan Allah dalam surat Al-Zukhruf ayat 3:
إِنَّا جَعَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا
لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٣
Artinya,
“Sesungguhnya kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 3)
Memang di dalam Al-Quran terdapat sebagian lafaz nadir (ganjil), yang
menurut pandangan sebagian ulama bukan bahasa Arab asli. Namun, hal ini
tidaklah membuat cacat sebagai bahasa Arab. Beberapa kata-kata itu misalnya:
المشكاة والقيسورة . Akan
tetapi, kata-kata tersebut sudah digunakan orang Arab sebagai bahasanya.
Sebagaimana halnya juga terdapat dalam berbagai bahasa, yaitu adanya kata-kata
dari bahasa asing yang diambil (diserap). Dalam bahasa indonesia pun banyak
kata dari bahasa asing yang sudah diindonesiakan sehingga menjadi bahasa asli.
Berdasarkan hal tersebut, maka terjemahan Al-Quran ke dalam
bahasa-bahasa asing tidak boleh disebut Al-Quran sehingga tidak sah shalat dengan
terjemahan Al-Quran dan tidak boleh dijadikan sumber hukum. Pernah diriwayatkan
bahwa Abu Hanifah membolehkan shalat dengan terjemahan bahasa Parsi pada
sebagian Al-Quran bagi orang yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab. Akan
tetapi, di kalangan ulama sudah disahkan bahwa Abu Hanifah berpendapat bahwa
orang yang tidak bisa mengucapkan bahasa Arab dalam bacaan shalatnya cukup diam
saja seraya menekuni makna ibadah, taat, dan munajat, sebagaimana halnya dengan
orang yang tak mampu shalat berdiri, cukup shalat sambil duduk.
Oleh karena itu, Imam Syafe’i dan lain-lain mewajibkan kaum muslimin
untuk mengetahui baca tulis bahasa Arab untuk keperluan membaca Al-Quran serta
menghapal bagian yang perlu dibaca dalam shalat.
Sesungguhnyalah menerjemahkan Al-Quran menurut maknanya yang bersifat
sastra itu adalah mustahil. Yang mungkin hanyalah menerjemahkan secara
tafsir/interprestasi sebagai terjemahan menurut perkataan dan pandangan ahli
tafsir, bukan sebagai terjemahan Al-Quran itu sendiri, karena ada kemungkinan
adanyakekeliruan ahli tafsir dan ahli terjemah dalam menafsirkan atau
menerjemahkan Al-Quran itu.
c. Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara
mutawatir (dituturkan oleh orang banyak kepad orang banyak sampai sekarang.
Mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian
satu kata pun. Berbeda dengan kitab-kitab samawi (yang datang dari Allah) yang
ditujukan kepada para Rasul sebelum Muhammad SAW., sifatnya tidak mutawatir dan
tidak dijamin keasliannya. Sedangkan Al-Quran terpelihara kemurniannya,
sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al-Hijr ayat 9:
ثَانِيَ
عِطۡفِهِۦ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۖ لَهُۥ فِي ٱلدُّنۡيَا خِزۡيٞۖ
وَنُذِيقُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ عَذَابَ ٱلۡحَرِيقِ ٩
Artinya,
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami
benar-benar memeliharanya.”
d. Membaca setiap kata dalam Al-Quran itu mendapat pahala dari Allah, baik
bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf Al-Quran.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW., bersabda: yang artinya, “Siapa yang membaca
satu huruf dari Al-Quran, maka ia mendapat satu kebaikan, satu kebaikan
bernilai sepuluh kali. Saya tidak mengatakan alif lam mim itsu satu huruf,
tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf” (HR. Al-Tirmizi dan
Al-Hakim dari Abdullah ibnu Mas’ud).
e. Ciri terakhir dari Al-Quran yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian
bagi para ulama untuk membedakan Al-Quran dengan kitab-kitab lainnya adalah
bahwa Al-Quran itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Quran, disusun sesuai dengan
petunjuk Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak boleh
diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian doa-doa yang biasanya ditambahkan
di akhir Al-Quran, tidak termasuk Al-Quran.1
2. Garis-garis
Besar Isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi
Al-Qur’an ada lima:
a. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, Malaikat-malaikatnya,
Kitab-kitabnya, para RasulNya, hari kemudian, dan Qadla dan Qadar yang baik dan
buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai sebagai kegiatan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman; Al-Qur’an menjanjikan pahala bagi orang yang mau
menerima dan mengamalkan isi Al-Qur’an dan mengancam mereka yang mengingkarinya
dengan siksa.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat, untuk kebahagiaan
dunia dan akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang
yang saleh seperti Nabi-nabi dan Rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari
Agama Allah dan hukum-hukumnya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan
tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntutan
akhlaq.2
3. Dasar-dasar
Al-Qur’an dalam Membuat Hukum
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk
dan pengajaran bagi seluruh umat manusia, dalam mengadakan perintah dan
larangannya, Al-Qur’an selalu selalu berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
a.
Tidak memberatkan atau menyusahkan
Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut.
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ
نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ .... ٢٨٦
Artinya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya”.
Dengan
dasar itulah, kita boleh:
1) mengqashar shalat (dari empat menjadi dua raka’at) dan menjama’
(mengumpulkan dua shalat), yang masing-masing apabila dalam bepergian sesuai
dengan syarat-syaratnya.
2) boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian.
3) boleh bertayamum sebagai ganti wudlu.
4) boleh makan makanan yang diharamkan, jika keadaan memaksa.
b.
Tidak memperbanyak beban atau
tuntutan
Misalnya
zakat, karena hanya diwajibkan bagi orang yang mampu saja, dan lain-lain.
c.
Berangsur-angsur
Al-Qur’an
telah membuat hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini dapat diketahui
dalam proses mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, seperti larangan
minum-minuman keras dan perjudian, yang dikemukakan oleh firman Allah surat
al-Baqarah ayat 219, al-Nisa ayat 43. Kemudian datanglah fase terakhir yaitu
larangan keras terhadap arak dan judi, setelah banyak orang-orang yang telah
meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat pertama dan yang kedua
seperti yang terdapat dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 90.
Demikian Allah membuat larangan dan melakukan pembinaan hukum secara berangsur-angsur.3
Daftar pustaka:
1 Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001, h. 31-41
2 Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, Bandung:
Al-Ma’arif, 1987: h. 97
3 Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, Bandung:
Al-Ma’arif, 1987: h. 98-99 & Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia,
2001: h. 49
Deskripsi
Pembahasan sumber-sumber hukum islam lengkap
(Al-Qur’an)
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak