Istishan dan maslahah mursalah
MODUL IV :
IJTIHAD DAN METODE IJTIHAD
ISTIHSAN DAN MASHLAHAH MURSALAH
1. Istihsan
a. Pengertian dan Hakekat istihsan
Secara harfiyah, istihsan
diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitunghitung sesuatu dan
menganggapnya kebaikan (Rachmat Syafe’i, 1999: 111), atau adanya sesuatu itu
lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih
baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu (Amir Syarifuddin, 2008:
305). Dari arti bahasa tersebut tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua
hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu
diantaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karea itulah yang
dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.1
Menurut istilah ulama ushul, istihsan
adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. Dengan
mengorientasikan kebaikan itu pada keadilan, al-Muwafiq Ibnu Qudamah al-Hambali
menyatakan bahwa istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya
karena adanya dalil tertentu dari al-Quran dan al-Sunnah. Senada dengan
pendapat tersebut, al-Hasan al-Kurkhi al-Hanafi berpendapat bahwa istihsan
adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum
yang lain karena adanya suatu yan lebih kuat yang membutuhkan keadilan. Ulama
lain juga menyatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang
menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain. Dengan
menghubungkan kebaikan dengan kemaslahatan, Abu Ishaq al-Syatibi dalam madzhab
Maliki menyatakan bahwa istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang
bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.2
Dari beberapa definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah Sebuah hal yang dianggap baik dan
sebagai perbuatan yang adil terhadap suatu permasalahan hukum untuk
kemaslahatan manusia.3
b. Kehujjahan Istihsan
Para ulama memiliki perbedaan
pendapat tentang kehujjahan istihsan. Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah
banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis
dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya
istihsan. Bahkan dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat
permasalahan yang menyangkut istihsan. Al-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya
istihsan dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Malik
dan Imam Abu Hanifah. Abu Zahrah menyatakan bahwa Imam Malik sering berfatwa
dengan menggunakan istihsan. Dalam beberapa kitab Ushul pun dinyatakan bahwa
golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam
al-Amudi dan Ibnu Hazib. Namun al-Jallal al-Mahalli mengatakan bahwa istihsan
diakui oleh Abu Hanifah, tetapi ulama lain, termasuk golongan Hanabilah
mengingkarinya. Bahkan golongan al-Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya
istihsan dan mereka menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum juga
tidak menggunakannya sebagai dalil. Lebih jauh, Imam Syafi’i berkata,
“Barangsiapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at”. Ia
pun mengatakan, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah, setidaknya ada yang
menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan
menggunakan istihsan”.4
c. Contoh Istihsan
Masalah zakat. Dalil syara’ yang
dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh yang ada kebanyakan berbicara dalam
kaitannya dengan sektor pertanian dan sedikit sekali yang berkenaan dengan jasa
dan produksi. Padahal dewasa ini perkembangan sektor jasa dan produksi itulah
yang berkembang dengan pesatnya dan lebih dominan dibanding sektor pertanian
yang semakin langka. Kalau dalam menghadapi kehidupan ekonomi dewasa ini dan
dimasa mendatang –khususnya yang menyangkut masalah zakat- hanya mengandalkan
pendekatan lama dalam merumskan ketentuan hukumnya, maka tidak akan memadai
lagi. Dalam menghadapi masalah ekonomi, jika menggunakan ketentuan lama tentang
zakat, maka zakat tidak akan berkembang, karena sektor pertanian semakin
langka, sedangkan pihak yang mengharakan bantuan mellaui penghimpunan dana
sosial melalui zakat semakin banyak. Katakanlah umpamanya “zakat profesi” yang
sampai saat ini belum dirumuskan hukumnya secara tuntas di Indonesia. Kalau
masih berkutat dengan pendekatan dan dalil konvensional yang selama ini
digunakan, masalahnya tetap tidak akan terselesaikan. Karena itu, diperlukan
upaya untuk mencari alternatif pendekatan lain untuk menyelesaikannya.
Umpamanya berdalil dengan umumnya lafadz “ma kasabtum” yang terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 264. Dalam ayat tersebut sektor jasa dan profesi secara jelas
terkandung di dalamnya.5
2. Maslahah Mursalah
a. Pengertian Mashlahah al-Mursalah
Secara etimologi, kata
al-mashlahah memiliki dua arti, yaitu mashlahah yang berarti al-shalah, dan
al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Keduanya mengandung
arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti
menghasilkan kenikmatan dan faedah ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti
menjauhi kemadaratan dan penyakit.
Manfaat yang dimaksud oleh
pembuat hukum syara’ (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan,
dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada
kenikmatan. Dengan kata lain tahshil al-ibqa. Tahshil maksudnya penghimpunan
kenikmatan secara langsung. Ibqa maksudnya penjagaan terhadap kenikmatan
tersebut dengan cara menjaganya dari kemadaratan dan sebabsebabnya.
Dengan demikian, al-mashlahah
al-mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi
juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada
ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan
kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesutau yang sesuai dengan
hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan
atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan
al-mashlahah al-mursalah. Tujuan utama al-mashlahah almursalah adalah
kemashlahatan, yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatannya.
Menurut ulama ushul, sebagian
ulama menggunakan istilah al-mashlahah almursalah itu dengan kata al-Munasib
al-Mursal. Ada pula yang menggunakan alistishlah dan ada pula yang menggunakan
istilah al-istidlal al-mursal. Istilah-istilah tersebut walaupun tampak sama
memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang berbeda. Setiap
hukum yang didirikan atas dasar mashlahah dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
1) Melihat
mashlahah pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai
pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang. Akte nikah tersebut
memiliki kemashlahatan. Akan tetapi kemashlahatan tersebut tidak didasarkan
pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut.
Kemashlahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-mashlahah al-mursalah.
2) Melihat sifat
yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-manasib) yang mengharuskan adanya
suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan. Misalnya suatu akte
nikah itu mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’, antara lain untuk
menjaga status keturunan. Akan tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan
oleh dalil khusus. Oleh karena itu, dari sisi ini ia disebut al-munasib
al-mursal (kesesuaian dengan tujuan syaria’t yang terlepas dari dalil-dalil
syara’ yang khusus).
3) Melihat proses
penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus.
Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah
satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini disebut istishlah (menggali dan
menetapkan suatu mashlahat).
Walaupun para ulama berbeda-beda
dalam memandang al-Mashlahah al-Mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu seiap
manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak
terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Para ulama memiliki pandangan
masing-masing tentang hakikat al-mashlahha dan al-mursalah. Abu Nur Zuhair
menyatakan bahwa al-mashlahah al-mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan
hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara’. Abu Zahrah
mendefinisikan al-mashlahah al-mursalah dengan mashlahah yang sesuai dengan
maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang
secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya. Menurut pandangan al-Ghazali,
al-mashlahah al-musalah adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash
syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’, tetapi ia
tidak keluar dari nash syara’. Dalam pandangan al-Ghazali, al-mashlahah
almursalah menjadi hujjah qath’iyah selama mengandung arti pemeliharaan maskud
syara’, walaupun dalam penerapannya zhanni. Sementara menurut al-Syatibi,
almashlahah al-mursalah adalah setiap prinsip syara’ yang tidak disertai bukti
nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta makananya diambil dari
dalildali syara’.
Berdasarkan beberapa pengertian
di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat almashlahah dalam syari’at Islam
adalah suatu mashlahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil
syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat
dharuriyat (primer) maupun hajjiyyat (sekunder).6
Dari definisi di atas dikethaui
bahwa mashlahah mursalah perspektif syar’i memiliki beberapa keistimewaan
dibanding dengan mashlahah dalam artian umum, di antaranya:
1. Yang menjadi
sandaran dari mashlahah itu selalu petunjuk syara’, bukan semata berdasarkan
akal manusia, Karen akal manusia itu tidak sempurna, bersifat relative dan
subjektif, sellau dibatasi waktu dan tempat, serta selalu terpengaru lingkungan
dan dorongan hawa nafsu;
2. Pengertian
amshlahah ata bruk dan baik dalam pandangan syara’ tidak terbatas untuk
kepentingan dunia saja tetapi juga untuk kepentingan akhirat; tidak hanya untuk
kepntingan semusim, tetap berlaku untuk sepanjang masa; dan
3. Mashlahah dalam
artian syara’ tidak terbatas pada rasa enak dan tidak enak dalam artian fisik
jasmani saja, teapi juga enak dan tidak enak dalam artian mentalspiritual atau
secara ruhaniah.7
b. Objek al-Mashlahah al-Mursalah
Dengan memperhatikan beberapa
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa lapangan al-mashlahah al-mursalah
selain berlandaskan pada hukum syara’ secara umum, juga harus diperhatikan adat
dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Lapangan tersebut merupakan
pilihan utama untuk mencapai kemashlahatan. Dengan demikian, segi ibadah tidak
termasuk dalam lapangan tersebut.
Yang dimaksud segi peribadatan
adalah segala sesuatu yang tidak memberi kesempatan kepada akal untuk mencari
kemashlahatan juznya dari setiap hukum yang ada di dalamnya. Di antaranya,
ketentuan syari’at tentang ukuran had kifarat, ketentuan waris, ketentuan
jumlah bulan dalam iddah perempuan yang ditinggal wafat suaminya atau yang
diceraikan. Demikian pula segala sesuatu yang telah ditetapkan ukurannya dan
disyari’atkan berdasarkan kemashlahatan yang berasal dari syara’ itu sendiri.
Secara ringkas, dapat dikatakan
bahwa al-mashlahah al-mursalah itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak
terdapat dalam nash, baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah yang menjelaskan
hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibar. Juga difokuskan pada
hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan
kejadian tersebut.8
c. Kehujjahan al-Mashlahah al-Mursalah
Sebagaimana telah dijelaskan di
atas, masalah istishlah merupakan permasalahan yang menjadi bahan perdebatan di
kalangan pada ulama. Menurut al-Amidi dalam kitab al-Ihkam: “Para Ulama dari
golongan Syafe’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang
kepada istishlah, kecuali Imam Malik, dan diapun tidak sependapat dengan para
pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat untuk tidak memakai istishlah dalam
setiap kemashlahatan kecuali dalam kemashlahatan yang penting dan khusus secara
qath’i. Mereka tidak menggunakannya dalam kemashlahatan yang tidak penting,
tidak berlaku umum, serta tidak kuat”. Sedangkan al-Syatibi, dalam kitab
al-istifham menyatakan bahwa perdebatan pendapat para ulama tentang
al-mashlahah al-mursalah ini dapat dibagi dalam empat pandangan, yaitu:
1) al-Qadhi dan
beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak ada
dasarnya;
2) Imam Malik
menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak;
3) Imam al-Syafe’i
dan para pembesar golongan Hanafiyah memakai al-Mashlahah almursalah dalam
permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumnya yang shahih. Namun mereka
mensyaratkan dasar hukum yang mendekati hukum yang shahih. Hal ini senada
dengan pendapat al-Juwaini;
4) Imam Ghazali
berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsin atau tajayyun
(perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih jelas. Adapun bila
berada pada martabat penting boleh memakainya, tetapi harus memnuhi beberapa
syarat.
Dari beberapa
pendapat di atas, hanya Imam Malik yang menerima istishlah secara mutlak.9
Daftar pustaka:
1 Amir Syarifudin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: H. 305
2 Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 111-112 & Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: H. 305-306
3 Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 112
4 Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 112
5 Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: H. 320
6 Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 117-121
7 Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group,
2008: H. 326
8 Rachmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 121-122
9 Rachmat Syefe’i,
Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 122-123
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak