Hakim dalam pandangan hukum islam (hukum syara')
HUKUM
SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA
HAKIM (Pembuat Hukum)
1. Pengertian Hakim
Secara etimologi, hakim memiliki dua arti, yaitu:
Pertama:
واضع الاحكام ومشبتها ومنشئها ومصدرها
Artinya, “Pembuat
hukum yang menetapkan dan memunculkan sumber hukum”.
Kedua:
الذي يد رك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف
عنها
Artinya, “Yang
menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa
hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum
yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at,
kecuali dari Allah baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram), maupun yang berkaitan dengan hukum wadl’i
(sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, ‘azimah dan rukhshah). Menurut
kesepakatan para ulama, semua hukum di atas bersumber dari Allah melalui Nabi
Muhammad saw., maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori
istinbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap
hukum yang datang dari Allah. Dalam hal ini para ulama ushul fiqh menetapkan
kaidah:
لاحكم الاالله
Artinya, “Tidak ada
hukum kecuali bersumber dari Allah”.
Dari pemahaman kaidah tersebut, para ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum
sebagai titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa
tuntutan, pemilihan, maupun wad’i.
Di antara alasan para ulama ushul fiqh untuk mendukung pernyataan di
atas adalah sebagai berikut:
Firman Allah Q.S.
al-An’am ayat 57 menyatakan:
..... إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِۖ يَقُصُّ ٱلۡحَقَّۖ
وَهُوَ خَيۡرُ ٱلۡفَٰصِلِينَ ٥٧
Artinya,
“Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik”.
Firman Allah Q.S.
al-Maidah menyatakan:
واحكم بينهم بما انزل الله
Artinya, “Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah”.
Firman Allah Q.S.
al-Maidah ayat 44 menyataan:
.... وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
٤٤
Artinya,
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang yang kafir”.
Firman Allah Q.S.
al-Nisa ayat 59 yang menyatakan:
... فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ
إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ
.... ٥٩
Artinya, “Apabila
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah
(al-Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kiamat”.
Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim di atas, ulama ushul fiqh
membedakannya sebagai berikut:
Sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, para ulama ushul fiqh
berbeda-beda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan
menjelaskan hukum. Sebagian ulama ushul fiqh dari golongan Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’,
sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah dan
yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi
Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah namun akal pun sudah mampu
untuk menemukan hukum-hukum Allah dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum
datangnya syara’.
Di kalangan para ulama ushul fiqh, persoalan-persoalan ini dikenal
dengan istilah “altahsin wa al-taqbih”, yakni pernyataan bahwa sesuatu baik
atau buruk.
Sedangkan setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul dan menyebarkan
dakwa Islam, para ulama ushul sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun
dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Apa yang telah dihalalkan oleh
Allah hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang diharamkan-Nya hukumnya
adalah haram. Juga disepakati bahwa apa-apa yan dihalalkan itu disebut hasan
(baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segala
sesuatu yang diharamkan Allah disebut qabih (buruk) yang didalamnya terdapat
kemadaratan atau kerusakan bagi manusia.1
2. Kemampuan Akal
Mengetahui Syari’at
Dalam menentukan kemampuan akal untuk menetapkan hukum sebelum turunnya
syari’at, para ulama terbagi kepada tiga golongan:
Pertama, menurut ahlu sunnah waljama’ah, akal tidak memiliki kemampuan
untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at. Akal hanya dapat menetapkan
baik dan buruk melalui perantaraan al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi
lainnya. Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah surat al-Isra ayat 15
berikut:
.... وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ
رَسُولٗا ١٥
Artinya, “Kami tidak
akan mengadzab seseorang sebelum Kami mengutus rasul”.
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah sekali-kali tidak akan
mengadzab seseorang yang belum sampai kepadanya seseorang utusan (rasul) yang
membawa risalah Ilahi. Di samping ayat tersebut, surat al-Nisa ayat 165
menegaskan bahwa:
.... لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ
حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ .... ١٦٥
Artinya, “Agar
tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu”.
Dengan mengemukakan ayat di atas, menurut ahlu sunnah wal jamaah, akal
tidak dapat dijadikan standar untuk menentukan baik buruknnya suatu perbuatan.
Dengan demikian, Allah tidak berkewajiban menetapkan suatu kebaikan yang
dipandang baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu perbuatan yang
dipandang buruk menurut akal, karena Allah memiliki kehendak yang mutlak. Allah
pun berkuasa untuk menetapkan perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun
menurut penelitian, semua perintah Allah pasti mengandung suatu manfaat,
sedangkan larangannya mengandung kemadaratan.
Kedua, Mu’tazilah berpendapat bahwa akal dapat menentukan baik buruknya
suatu perbuatan seelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi
dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehinga akal dapat
menentukan syari’at. Alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang dikemukakan
oleh ahlu sunnah wal jamah, yaitu dalam surat al-Isra ayat 17, hanya mereka
mengartikan rasul pada ayat tersebut dengan arti akal, sehingga arti
keseluruhan dari ayat tersebut adalah: “Kami tidak akan mengadzab seseorang
sampai Kami berikan akal padanya”.
Menurut mereka sebagian perbuatan dan perkataan itu sudah semestinya
dilakukan manusia, seperti beriman dan selalu berbuat baik. Orang yang
melakukannya berhak mendapat pujian, karena keimanna dan perbuatan baik itu
merupakan hal yang baik pada zatnya. Sebaliknya, akal akan menolak perbuatan
yang buruk pada zatnya, seperti berdusta, kafir, dan berbuat sesuatu yang tidak
benar. Perbuatan tersebut akan mendapat celaan dari manusia, dan sedikitpun
tidak ada alasan untuk mengerjakannya.
Menurut kaum Mu’tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu
itu baik ataupun buruk adalah akal manusia, bukan syara’. Sebelum datangnya
rasul pun, manusia telah dikenakan kewajiban melakukan perbuatan yang menurut
akal mereka baik dan untuk itu mereka akan diberikan imbalan. Selain itu,
merekapun dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal mereka,
dan bila dikerjakan mereka akan mendapat hukuman.
Golongan Mu’tazilah juga berpendapat bahwa syariat yang ditetapkan
kepada manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai dengan akal, yakni dapat
ditelusuri bahwa didalamnya ada unsur manfaat dan madarat. Sesuatu yang baik
menurut akal adalah baik menurut syara’, dan manusia dituntut untuk
mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang buruk menurut akal adalah buruk
menurut syara’, dan manusia dilarang mengerjakannya.
Ketiga, Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di atas. Mereka
berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada
zatnya. Syara’ menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik
pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang buruk pada zatnya. Adapun
terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak ada pada
zatnya, syara’ memiliki wewenang untuk menetapkannya.
Maturidiyah pun menyatakan bahwa suatu kebaikan atau keburukan yang
didasarkan pada akal tidak wajib dikerjakan ataupun ditinggalkan. Seandainya
dikerjakanpun tidak akan mendapat pahala kalau semata-mata hanya berdasarkan
pada akal saja. Begitu pula sebaliknya, bila mengerjakan suatu perbuatan yang
dipandang buruk semata-mata oleh akal, tidak akan mendapatkan hukuman. Menurut
mereka akal tidak berdiri sendiri, tetapi harus dibarengi dengan nash.
Implikasi dari perbedaan pendapat mengenai peranan akal tersebut,
berkaitan dengan posisi akal dalam ijtihad, apakah akal dapat menjadi salah
satu sumber hukum Islam? Menurut Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Maturidiyah, akal
tidak dapat secara berdiri sendiri menajdi sumber hukum Islam. Namun diakui,
bahwa akal berperan penting dalam menangkap maksud-maskud syara’ untuk
menetapkan suatu hukum, tetapi bukan menentukan hukum. Sebagaimana pendapat Abu
Zahrah, bahwa seluruh produk fiqh adalah hasil daya nalar manusia yang tidak
habis-habisnya sampai sekarang. Akan tetapi daya nalar tersebut tidak terlepas
sama sekali, karena harus bersandar pada nash. Di pihak lain, Mu’tazilah dan
Syi’ah Ja’fariyah berpendapat bawha akal merupakan sumber hukum ketiga setelah
al-Qur’an dan al-Sunnah.2
Daftar Pustaka:
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: 350-353
Rachmat Syafe’i, h. 345-349
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak