Maahkum bih dan mahkum fih (objek dan peristiwa hukum)


HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA

MAHKUM BIH DAN MAHKUM FIH (OBJEK DAN PERISTIWA HUKUM)

1. Pengertian Mahkum Bih dan Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan objek hukum atau mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum untuk, dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pad perbuatan dan bukan pada dzat. Umpamanya, “daging babi”. Pada daging babi itu taidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”, yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada dzat daging babi itu.1Oleh karena itu, menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum bih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat sebab, syarat, halangan, ‘azimah, rukhshah, sah dan bathal.2
Para ulama juga sepakat bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum. Misalnya:
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ... ٤٣
Artinya, “Dan dirikanlah shalat”.

Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
Firman Allah surat al-An’am ayat 151:
۞.... وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ... ١٥١
Artinya, “Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”.

Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.

Firman Allah surat al-Maidah dan 6:
٥ .... إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ ... ٦
Artinya, “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”.
Dari kandungan ayat di atas, dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf yang termasuk salah satu syarat sah shalat.
Dengan beberapa contoh di atas dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqh menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan”. Kaidah ini telah disepakati oleh sebagian besar ulama ushul. Artinya, jika dalam syara’ tercakup hukum wajib ataupun sunnah, maka keduanya dapat terlaksana dengan adanya perbuatan. Demikian pula untuk hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh, keduanya terjadi dengan perbuatan, yaitu mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh mayoritas golongan Mu’tazilah. Menurut mereka objek hukum yang terkait dengan larangan, baik yang hukumnya haram ataupun makruh bukanlah perbuatan, namun terjadi semata-mata karena tidak adanya perbuatan. Hal itu merupakan kemampuan seorang mukallaf untuk tidak mengerjakan perbuatan tersebut. Pendapat seperti ini dinilai tidak epat menurut Jumhur, karena tidak adanya perbuatan tidak berarti seseorang tidak mampu melakukannya.3

2. Syarat-syarat Mahkum Bih
Perbuatan, sebagai objek hukum itu melekat pada manusia, hingga bila pada suatu perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif. Dengan demikian, untuk menentukan apakah seseorang dikenai beban hukum terhadap suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat untuk emnjadi objek hukum.4
Para ulama Ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a.       Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakannya. Misalnya, seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat sebelum ia tahu rukun, syarat, dan kaifiyah shalat.
b.      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanankan titah Allah semata. Tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang dituntut kepadanya adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya.
c.       Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditingalkan dan berada dalam kemampuannya untuk dilaksanakan. Berkaitan dengan perbuatan mungkin atau tidak mungkin dilakukan, terdapat beberapa syarat, antara lain:
1)      Tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan dzatnya atau kemustahilan itu dilihat dari luar dzatnya. Contoh yang mustahil berdasarkan dzatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam suatu tuntutan dalam suatu waktu yang bersamaan. Sedangkan contoh kemustahilan berdasarkan dari luar dzatnya adalah sesuatu yang dapat digambarkan berdasarkan akal, tetapi menurut kebiasaan tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa sayap, atau mengangkat gunung, dan lain-lain.
2)      Para ulama ushul fiqh menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di-taklif-kan untuk dan atas nama orang lain.
3)      Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berkaitan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya karena hal itu berada di luar kendali manusia. Misalnya kecintaan suami terhadap isteri yang satu dan yang lainnya. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Ya Allah ini adalah bagianku, maka jangan paksakan dengan apa yang Engkau miliki, namun tidak aku miliki”.
4)      Tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam masalah ibadah dan bersuci untuk shalat.5

3. Macam-macam Mahkum Bih
Para ulama ushul membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Dari segi keberadaanya dan syara’, mahkum bih terdiri dari:
a.       Perbuatn yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf tetapi perbuatan makan dan minum itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b.      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishash;
c.       Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat;
d.      Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual-bei dan sewa menyewa. Perbuatan ini secara material ada dan diakui oleh syara’. Apabila memenuhi rukun dan syaratnya, perbuatan itu mengakibtakan munculnya hukum syara’ yang lain, yaitu halalnya berhubungan suami isteri, kewajiban nafkah, dan kewajiban mahar dalam perkawinan; berpindahnya hak milik dalam jual beli; dan berhaknya seorang menafkahkan milik orang lain serta berhaknya pihak lain untuk menerima upah dalam akad sewa menyewa.
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan, maka mahkum bih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a.       Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak yang semata-mata hak Allah ini menurut ulama ushul fiqh ada 8 macam, yaitu: (1) ibadah mahdlah, seperti rukun iman dan rukun islam; (2) ibadah yang didalmnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah; (3) Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil bumi; (4) Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap hukuman bagi orang-orang yang tidak ikut jihad; (5) Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindakan pidana seperti dera/rajam sebagai hukuman berbuat zina; (6) Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi hak waris karena ia membunuh pemilik harta; (7) Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah; dan (8) Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam.
b.      Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak;
c.       Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf. Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, termasuk hak Allah, dan dari sisi menghilangkan malu dari orang yang dituduh, termasuk hak hamba.
d.      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash. Hak Allah dalam qishash berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak hala dibunuh, sedangkan hak pribadi hamba Allah menjamin kemashlahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi karena dalam pelaksanaan qishash sepenuhnya diserahkan kepada ahli waris terbunuh dan mereka berhak unuk menggugurkan hukuman tersebut, maka hak hamba dianggap lebih dominan.6

4. Kaitan objek hukum dengan pelaku perbuatan
Setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu. Dapat tidaknya taklif itu dilakukan oleh orang lain berhubungan erat dnegan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini, objek hukum terbagi tiga:
a.       Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri prinadi yang dikenai taklif; umpamanya shalat dan puasa;
b.      Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dnegan harta benda pelaku taklif; umpamanya kewajiban zakat.
c.       Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diir pribadi dan harta dari pelaku taklif; umpamanya kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dnegan harta benda, pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian, pembayaran zakat dapat dilakukan oleh orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dnegna diri pribadi, haarus dilakukan sendiri oleh yang dikenai taklif dan tidak dapat digantikan oleh orang lain. Shalat, tidak dapat digantikan oleh orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat digantikan orang lain pada saat tidak mampu meaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan kepada orang lain dalam keadaan tidak mampu.7


Daftar pustaka:
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: h. 383
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: h. 317
 Racmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia,1999: h. 317-319
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2008: h. 383
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: h. 320-321
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia,1999: h. 331-333
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group,2008: h. 388-389

Komentar

Postingan Populer