Peran ushul fiqh dalam perkembangan fiqh islam

PERAN USHUL FIQH DALAM PERKEMBANGAN FIQH ISLAM

A. URAIAN MATERI 

Kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqh merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara’ dan menjabarkannya pada kehidupan sosial yang berubah-ubah itu. Kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul fiqh itu terus berkembang menuju kesempurnaan hingga puncaknya ada abad kelima dan awal abad keenam hijriyah. Abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh karena banyak para ulama memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut. Pada abad inilah muncul kitab-kitab ushul fiqh yang menjadi standar rujukan untuk perkembangan ushul fiqh selanjutnya.

Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqh ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh berarti seorang mujtahid dalam berijtihadnya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar.
Target studi fiqh bagi mujtahid ialah agar ia mampu mengistinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekliruan. Sebaliknya, bagi non mujtahid yang mempelajari fiqh Islam, target ushul fiqh itu ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam madzhab dalam mengistibath hukum sehingga ia dapat mentarjih dan mentakhrij pendapat imam madzhab tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan benar kecuali dengan diaplikasikannya kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode istibnath.

Motif dirintis, dimodifokasi, dan ditetapkannya kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid terhadap kaidah itu untuk keperluan istinbath hukum, terutama setelah masa sahabat dan tabi’in. Kalau diperhatikan sejarah al-Tasyri al-islami dan mengikuti perkembangan fiqh Islam serta periode-periode yang dilaluinya, diketahui bahwa setelah madzhab fiqh terbentuk, hukum-hukum fiqh hanya terbukukan pada berbagai kitab-kitab madzhab. Bahkan setelah banyak ulama yang berpendapat bahwa mulai tahun 400 H, pintu ijtihad tertutup, fiqh Islam hanya terbatas pada pendapat para imam dan pendapat mereka yang ditulis dalam kitab-kitab fiqh tanpa ada yang berusaha untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Ketika para ulama melihat orang-orang yang bkan ahli ijtihad tetap berijtihad, sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka para ulama mengambil sikap memilih sesuatu yang lebih ringan mudaratnya, yakni menutup pintu ijtihad. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup supaya jalan menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu untuk main-main dalam hukum syara’ dapat dihindari.

Dengan demikian, apabila target dari ilmu ushl fiqh sebagaimana telah dijelaskan di atas, sedangkan pintu ijtihad telah ditutup sejak sekitar sepuluh abad yang lalu, dan manusia sejak saat itu sampai sekarang masih terikat dan berpegang teguh pada hukum-hukum fiqh yang tertulis dalam kitab-kitab madzhab fiqh, hal ini berarti target dari ilmu ushul fiqh tidak tercapai.

Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu adalah tidak berdasar pada dalil syara’. Ulama berpendapat demikian karena pertimbanganpertimbangan yang teah dikemukakan di atas. Dengan demikian, bagi seseorang yang memenuhi syarat iktihad, tidak ada halangan baginya untuk melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun berpendapat bahwa ijtihad itu mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga dapat dikatakan waktunya sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berpendapat bahwa ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh karena itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan dapat kembali lagi sebagaimana terjadi di masa Aimmat al-Mujtahidin selama ada orang yang ahli dalam berijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat berijtihad.

Segi lain bagi orang yang hendak mendalami fiqh Islam adalah kebutuhan pada ilmu ushul fiqh selalu ada. Hal ini karena mujtahid madzhab yang tidak sampai ke tingkat mujtahid mutlaq perlu mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul fiqh. Lebih lanjut bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan imam madzhabnya tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya. 

Demikian pula bagi ulama yang hendak mentarjih pendapat imam madzhabnya, ia pun memerlukan ilmu ushul fiqh sebab tanpa mengetahui ilmu tersebut, ia tidak mungkin dapat mentarjih dengan baik dan benar. Lebih dari itu dapat dikatakan bahwa penguasaan ilmu ushul fiqh serta penyerapannya yang mendalam sangat membantu seseorang dalam mengadakan perbandingan suatu masalah di antara berbagai madzhab.

Dengan demikian, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh Islam dapat dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Di samping itu, dapat juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran fiqh Islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, Ibnu Khaldun aam kitabnya Muqaddimah menyatakan bahwa sesuhngguhnya ilmu ushul fiqh itu merupakan ilmu syari’ah yang termulia, tertinggi nilainya dan terbanyak kaidahnya.

Berdasarkan hal tersebut, para ulama memandang ilmu ushul fiqh sebagai ilmu dlaruri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari’ah yang terpenting dan tertinggi nilainya. Ushul fiqh pun merupakan usaha ulama terdahulu dalam rangka menjaga keutuhan dalalah lafadz yang terdalam dalam nash syara’, terutama dalam al-Qur’an. Dengan ushul fiqh mereka mencoba mengungkapkan maksud pembuat hukum (Allah) atau murad al-Syari’.1


Daftar Pustaka

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 42-43

Komentar

Postingan Populer