Sumber-sumber hukum islam (As-Sunnah/Hadis)


Sumber-sumber hukum islam
AL-Sunnah/Hadis

1. Pengertian Sunnah

Sunnah secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, sunnah lebih umum disebut dengan hadis yang mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu: Qarib, artinya dekat, jadid artinya baru, dan khabar artinya berita atau warna.
Dari beberapa arti tersebut, yang sesuai dengan pembahasan adalah hadis dalam arti khabar, seperti tersebut dalam firman Allah SWT, surat At-Tur: 34,
فَلۡيَأۡتُواْ بِحَدِيثٖ مِّثۡلِهِۦٓ إِن كَانُواْ صَٰدِقِينَ ٣٤
Artinya, “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.”

Dalam hadis Nabi SAW., kata hadis dipakai dengan arti khabar, terdapat dalam sabdanya yang artinya: “Hampir-hampir akan ada seseorang di antara kamu yag akan berkata, “Ini Kitab Allah. Apa yang halal di dalamnya kami halalkan. Dan apa yang haram di dalamnya kami haramkan. “Ketahuilah, barang siapa sampai kepadanya suatu ‘khabar’ dari aku, ‘lalu ia dustakan berarti ia telah mendustakan tiga orang’ dia mendustakan Allah, mendustakan Rasul-Nya, dan mendustakan orang yang menyampaikan berita itu” (HR. Ahmad dan Ad- Darimi).

                Pengertian sunah secara terminologi bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hadis, ilmu fiqih, dan ilmu ushul fiqih. Menurut ulama ahli hadis, sunah identik dengan hadis, yaitu semua yang disandarkan kepada Nabi Muhamad SAW., baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapannya sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik sebelum atau sesudah menjadi Rasul.

                Menurut ulama ushul fiqih, sunah diartikan:  “Semua yang lahir dari Nabi SAW., selain Al-Quran, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan.” Jelasnya, setiap perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW., yang berkaitan dengan hukum dinamakan hadis.

                Adapun sunah menurut para ahli fiqih, di samping mempunyai arti seperti yang dikemukakan para ulama ushul fiqih, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pengertian, “Perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.”

                Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa sunnah/hadis menurut ulama ahli hadis itu mempunyai pengertian lebih luas daripada menurut ulama ahli ushul. Ulama ahli hadis memandang bahwa semua yang datang dari Nabi SAW., (perkataan, perbuatan, dan taqrir) baik yang berkaitan dengan hukum atau tidak. Sedangkan menurut ulama ahli ushul hanya terbatas pada sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Di luar hukum bukan dinamakan hadis, seperti cara berpakaian, cara makan, dan sebagainya.1 (Chaerul Uman, 2001: 59-61).

2. Pembagian Sunnah

                Sunah atau hadis berdasarkan definisi menurut para ahli di atas, dapat dibedakan menjadi Qauliyah, Fi’liyah, dan Taqririyah.

a.       Sunnah Qauliyah, yang sering dinamakan juga dengan khabar atau berita berupa perkataan Nabi SAW., yang didengar dan disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain, seperti sabda Nabi yag diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya: “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah.”(Al-hadits).
                Dalam hadis lain, Nabi SAW, bersabda bahwa  “Setiap amal perbuatan itu bergantung kepada niat. Dan segala sesuatu itu menurut niatnya.”
Sunnah Qauliyah dapat dibedakan atas 3 bagian:
1)      Diyakini benarnya, seperti kabar yang datang dari Allah dan dari Rasul-Nya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya dan kabar-kabar mutawatir.
2)      Diyakini dustanya, seperti dua kabar yang berlawanan dan kabar yang menyalahi dari ketentuan-ketenauan syara’, seperti bid’ah-bid’ah sayyi’ah.
3)      Yang tidak diyakini benarnya dan dustanya yang terdiri atas 3 macam:
a)      Tidak kuat benarnya dan tidak pula dustanya, seperti berita yang disampaikan oleh orang yang bodoh.
b)      Kabar yang kuat dustanya dari benarnya, seperti berita yang disampaikan oleh orang fasik (yakni orang yang atidak mengakui peraturan-peraturan Islam, tetapi tidak mengindahkannya).
c)       Kabar yang kuat benarnya dari dustanya, seperti kabar yang disampaikan oleh orang yang adil (dipercaya).

b.      Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW., yang diketahui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Misalnya, cara wudhu yang dipraktekkan Nabi SAW., tata cara shalat, dan haji.
Sunaah Fi’liyah terbagi menjadi 5 bentuk, yaitu :
1)      Nafsu yag terkendalikan oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan, seperti gerakan anggota badan dan gerak badan; Sunnah Fi’liyah seperti ini menunjukkan mubah (boleh).
2)      Sesuatu yang tidak berhubungan dengan ibadah, seperti berdiri, duduk, dan lainlain.
3)      Perangai yang membawa kepada syara’ menurut kebiasaan yang baik dan tertentu, seperti makan, minum, berpakaian, dan tidur.
Seperti hadist Nabi SAW ini  “Nabi memakan roti dari tepung gandum yang belum diayak” (HR. Bukhari)
Hadist Nabi SAW yang lain seperti  “Adalah Nabi memakai bajunya di atas dua mata kaki” (HR. Hakim).
4)      Sesuatu yang tertentu kepada Nabi sjaa, seperti beristeri lebih dari empat orang.
5)      Untuk menjelaskan hukum-hukum yang mujmal (samara-samar), seperti menjelaskan perbuatan haji dan umrah; perbuatan-perbuatan shalat yang lima waktu (fardu) dan shalt khusuf (gerhana).

c.       Sunah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi SAW, tetapi Nabi hanya diam dan tidak menyegahnya. Sikap diam dan tidak mencegah menunjukkan persetujuan Nabi SAW. misalnya, kasus Amr ibn Al-Ash yang berada dalam keadaan junub (wajib mandi) pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak sanggup mandi karena khawatir akan sakit. Amr ibn Al-Ash ketika itu hanya bertayamum. Laluu hal ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah kemudian bertanya kepada Amr ibn Al-ashj, “Engkau melaksanakan shalat bersama-sama teman engkau, sedangkan engkau dalam keadaan junub?”, Amr ibn Al-Ash menjawab, “Saya ingat firman Allah Ta’ala yang mengatakan, ‘jangan kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang’. Lalu saya bertayamum dan langsung shalat. “Mendengara jawaban Amr ibn Al-Ash ini Rasulullah SAW. tertawa dan tidak berkomentar apapun (HR. Ahmad ibn Hanbal dan Al-Baihaqi).

Tidak berkomentarnya Rasulullah SAW, dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamum bagi orang yang junub dalam keadaan hari yang sangat dingin, sekalipun ada air untuk mandi.2 (Chaerul Uman, 2001: 61-64 & Moh. Riva’i, 1987:105-106).

3. Tingkat Kekuatan atau Kehujjahan Sunnah

                Chaerul Uman, dkk.2 (2001: 64-67), menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat jumhur ulama tentang sunah Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-Quran di dalam menetapkan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan Al-Quran. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang terkandung di dalamnya selama hadis itu sah dari Rasulullah SAW.

                Lain halnya dengan golongan Syiah yang tidak mengakui semua hadis yang dipandang sah oleh goloongan ahli sunah sebab mereka hanya mengakui sahnya suatu hadis atau khabar kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli-ahli hadis mereka sendiri. Berbeda dengan ahli zahir mereka masih dapat menerimanya selama hadis itu sah menuruti kriteria ilmu hadis.

                Kehujjahan sunah berdasarkan beberapa ayat Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW. di antaranya:
a.       “Apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
b.       “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya)”.
c.        “Dari Mu’az bin Jabal, sesungguhnya Rasulullah SAW., tatkala mengutus Mu’az bin Jabal untuk menjadi qadzi di Yaman, Nabi berkata kepadanya, “Bagaimana sikapmu Mu’az kalau ada suatu perkara yang dihadapkan kepadamu?” Jawab Mu’az, “Saya akan selesaikan dengan ayat Allah (Al-Quran)”. Kalau engaku tidak menemukannya di daam Al- Quran? Tanya Nabi. “Saya akan selesaikan dengan sunah Rasul-Nya”, jawab Mu’az. Kalau engkau tidak menemukan di dalam sunah? Tanya Nabi lagi, “saya akan beritihad”, jawab Mu’az pula. Kemudian NAbi menepuk dadanya sambil berkata segala puji bagi Allah yang memberi taufik kepada utusan Rasulullah yang diridai oleh-Nya.”

Catatan kaki:

1 Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 2001: h. 59-61
2 Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 2001: h. 61-64 & Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, Bandung: Al-Ma’arif, 1987: h. 105-106
3 Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 2001: h. 64-67

Komentar

Postingan Populer