Istishab, 'Urf dan Syar'un man Qablana
MODUL IV :
IJTIHAD DAN METODE IJTIHAD
ISTISHHAB, ‘URF DAN SYAR’UN MAN QABLANA
1. Istishhab
a. Pengertian istishhab
Secara bahasa, istishhab itu
berasal dari dua kata “is-tash-ha-ba”, yang berarti istimrar al-shahabah. Kalau
kata “shahabah” diartikan “sahabat” atau “teman”, dan kata “istimrar” diartikan
“selalu” atau “terus menerus”. Maka istishhab secara bahasa artinya adalah
“selalu menemani” atau “selalu menyertai”. Penggunaan secara arti bahasa adalah
sesuai dengan qaidah istishhab yang berlaku di alangan ulama ushul yang
menggunakan istishhab sebagai dalil, karena mereka mengambil sesuatu yang telah
diyakini dan diamalkan di masa lalu dan secara konsisten menyertainya
(memeliharanya) untuk diamalkan sampai ke masa sebelumnya.1
Sedangkan istishhab menurut
Ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai
terdapat dalil-dalil yang menunjukkan peruahan keadaan, atau menjadikan hukum
yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai
terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Oleh sebab itu, apabila seorang
mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak
ditemukan nashnya dalam al-Quran dan al-Sunnah, juga tidak ditemukan dalil
syara’ yang mengitlakkann hukumnya, maka hukumnya adalah boleh, berdasarkan
kaida “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.
Maksud dari kaidah ini adalah
suatu keadaan, pada saat Allah menciptakan segala sesutau yang ada di bumi
secara keseluruhan. Selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahan
dari kebolehannya, keadaan segala sesutau itu dihukumi dengan sifat asalnya.
Apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda,
tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak
ditemukan dalam sutau dalil syara’, maka ukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah
pangkal (asal) meskipun tidak terdapat dalil menunjukkan atas kebolehanyna.
Dengan demikian, pangkal sesuatu itu adalah boleh. Allah Ta’ala telah berfirman
dalam surat al-Baqarah ayat 29:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم
مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ
سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٩
Artinya, “Dialah Allah yang menjadikan segala
sesuatu yang ada di bumi untuk kamu”.
Ayat ini menyatakan bahwa segala
sesuatu yang ada di bumi ini tidak akan dijadikan kecuali dibolehkan bagi
manusia. Apabila hal itu dilarang bagi manusia, niscaya semuanya diciptakan
bukan untuk mereka.2
Muhammad Ridha Muzhaffar
memerinci hakikat istishhab itu ke dalam 7 poin sebagai kriteria istishhab yang
diistilahkannya dengan muqawwim atau pendukung, yaitu:
a. Keyakinan.
Maksudnya bahwa keyakinan akan berlakunya suatu keadaan pada waktu yang lalu,
baik keadaan itu dalam bentuk hukum syara’ atau sesuatu objek yang bermuatan
hukum syara;
b. Keraguan.
Maksudnya bahwa keraguan tentang masih berlakunya keadaan yang telah meyakinkan
sebelumnya adalah karena memang waktunya sudah berlalu;
c. Bertemunya hal
yang meyakinkan dan meragukan dalam waktu yang sama. Maksudnya bahwa keyakinan
dan keraguan bertemu pada masa kini; artinya, terjadi keraguan untuk
memberlakukan keadaan baru karena belum ada petunjuk untuk itu, dan dalam waktu
yang bersamaan terjadi keyakinan untuk memberlakukan yang lama karena belum ada
hal yang mengubahnya;
d. Keadaan yang
meyakinkan dan meragukan itu waktunya berbeda. Maksudnya, keadaan yang
meyakinkan itu terjadi pada masa lalu, sedangkan yang meragukan terjadi pada
masa kini atau masa mendatang;
e. Tempat
berlakunya keyakinan dan keraguan itu emnyatu. Maksudnya, bahwa apa yang
diragukan itu berlaku terhadap suatu keadaan yang juga sekaligus diyakini;
f. Masa berlakunya
hal yang meyakinkan mendahului masa berlakunya hal yang meragukan; dan
g. Keyakinan dan
keraguan itu terjadi secara nyata. Maksudnya, betul-betul terjadisecara hakiki
(nyata) dan bukan terjadi secara taqdiri (tersembunyi).3
b. Kehujjahan Istshhab
Istishahab adalah akhir dalil
syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum
suatu perisiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul berkata, “Sesungguhnya istishahb
adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum
yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini
adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi
manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap
dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya
sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya keputusan tentang kematiannya.
Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu maka dihukumi wujudnya sampai
terdapat dalil yang meniadakannya, dan barangsiapa mengetahui ketiadaannya
sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut
keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja
berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada
sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.
Istishhab telah dijadikan dasar
bagi prinsip-prinsip syari’at antara lain sebagai berikut: Asal sesuatu kaidah
adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu
ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah “Asal segala sesuatu itu
adalah kebolehan”.
Pendapat yang dianggap benar
adalah istishhab dapat dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalil-lah yang
telah menetapkan hukum tersebut. Istishahb itu tiada lain adalah menetapkan
dalalah dalil pada hukumnya.4
c. Pendapat Ulama tentang Istishhab
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa
istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan
apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut, jelaslah bahwa
istishhab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula
dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan
atas perbedaannya.
Istishhablah yang menunjukkan
atas hidupnya seseorang dan menolak dugaan kematiannya serta warisan harta
bendanya juga perceraian pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk
menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishhab
itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.5
d. Contoh Istishhab
Untuk memberikan gambaran dari
bentuk istishhab tersebut, berikut ini akan dikemukakan contohnya dalam bentuk
tsubut dan dalam bentuk nafi’. Contoh istishhab dalam bentuk tsubut (pernah
ada) yaitu: Bila tadi pagi seseorang telah wudlu untuk shalat subuh; maka
keadaan telah wudlunya itu masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia
akan melaksanakan shalat dhula (ia tidak perlu berwudlu kembali), selama tidak
ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudlunya yang dilakukan pada waktu shubuh itu
telah batal.
Contoh sitishhab dalam bentuk
nafi’ (tidak pernah ada) adalah Dimasa lalu tidak pernah ada hukum tentang
wajibnya puasa di bulan Syawal, karena memang tidak ada dalil syara’ yang
mewajibkannya. Keadaan tidak adanya hukum wajib itu tetap berlaku sampai masa
kini dan mendatang karena memang dalil syara’ yang akan mengubahnya untuk itu
tidak akan ada lagi dengan telah meninggalnya Nabi saw.6
e. Kaidah Fiqhiyah dalam sitishhab
Dari uraian tentang sitishhab di
atas jelaslah bahwa istishhab itu berjalan atas prinsip keraguan yang
mengiringi keyakinan dan mengukuhkan pengamalan yang meyakinkan yang berlaku di
masa lalu (sebelumnya) itu. Atas dasar ini, ulama merumuskan kaidah pokok
populer berikut: “Apa yang ditetapkan dengan sesuatu yang meyakinkan tidak dapat
dihilangkan dengan suatu yang meragukan.
2. ‘Urf
a. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf berasal dari kata
‘arafa, yang sering diartikan “al-ma’ruf”, yang berarti “sesuatu yang dikenal”.
Di kalangan masyarakat, ‘urf ini sering disebut sebagai adat. Bila diperhatikan,
kedua kata tersebut, dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada
perbedaan. Kata “adat” dari bahasa Arab, yang akar katanya “’’ada”, yang
berarti tikrar (perulangan). Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali,
belum dinamakan ‘adat. Hanya saja, tentang berapa kali suatu perbuatan harus
dilakukan untuk sampai disebut ‘adat, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung
pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Sedangkan kata “‘urf”,
pengertiannya tidak melihat dari segi berulangkalinya suatu perbuatan
dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal
dan diakui oleh orang banyak. Adanya sudut pandang berbeda ini menyebabkan
timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini, sebenarnya tidak ada perbedaan yang
prinsip di antara keduanya karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu suatu
perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan dakui orang
banyak; sebaliknya Karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak,
maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulangkali.7
‘Urf, ada yang bersifat
perbuatan, ada juga yang bersifat ucapan. Di antara contoh ‘urf yang bersifat
perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli
tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf yang bersifat ucapan adalah
adanya pengertian tentang kemutlakan lafazd al-walad atas anak laki-laki bukan
anak perempuan, dan juga tentang mengitlakan lafazh al-lahm yang bermakna
daging atas al-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian, ‘urf itu
mencakup sikap saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di
antara mereka, baik keumumannya ataupun kekhususannya. Maka ‘urf berbeda dengan
ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara
khusus.8
b. Macam-amcam ‘Urf
Penggolongan macam-macam ‘urf
dapat dilihat dari beberapa segi. Ditinjau dari segi materi yang biasa
dilakukan, ‘urf ada dua macam, yaitu: (1) ‘urf qauli, yakni kebiasaan yang
berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Misalnya kata “walad” yang
digunakan untuk anak laki-laki dan anak perempuan; dan (2) ‘urf fi’li, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya, kebiasaab jual beli
barang-barang enteng, transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya
menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi
(akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli.
Sedangkan ditinjau dari sisi
ruang lingkup npenggunaannya, ‘urf terbagi kepada 2 bagian juga, yaitu: (1)
‘urf umum, yakni kebiasaan yang telah umum berlaku di manamana, hamper di
seluruh penjuru dunia, tanpa memandang Negara, bangsa dan agama. Umpamanya:
mengaanggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak
atau menidakkan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh
atau ganjil; dan (2) ‘urf khusus, yakni kebiasaan yang dilakukan sekelompok
orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua
tempat dan di sembarang waktu. Umpamanya: oeang Sunda menggunakan kata “paman”
hanya untuk adik dari ayah, dan tidak digunakan unutk untuk kakak dari ayah;
sedangkan orang Jawa menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan untuk kakak
dari ayah.9
Sementara dari segi penilaian
baik dan buruk, ‘urf terdiri dari dua macam, yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid
(rusak). ‘Urf shahih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan
tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan juga
tidak membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia
tentang kontrak borongan, pembagian maskawin (mahar) yang didahulukan dan yang
diakhirkan. Begitu pula bahwa isteri tidak boleh menyerahkan dirinya kepada
suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya. Tentang sesutau yang telah
diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon isteri, berupa perhiasan,
pakaian, atau apa saja, dianggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian
dari mahar. Sedangkan ‘urf fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal
manusia tetapi bertentangan dengan syaa’, atau menghalalkan yang haram dan
membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia
tentang beberapa pebuatan munkar dalam upacara kelahiran anak, juga tentang
memakan barang riba dan kontrak judi.10
c. Hukum ‘Urf
Ulama telah sepakata bahwa ‘urf
shahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Seorang
mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan huukum. Begitu
juga seorang Qadhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatu
yang telah saling dikenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi
disepakati dan dianggap mendatangkan kemashlahatan bagi manusia serta selama
hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.
Syari’ (Allah) pun telah memelihara
‘urf bangsa Arab yang shahih dalam membentuk hukum. Oleh karena itu,
difardlukan diat (denda) atas perempuan yang berakal, disyari’atkan kafa’ah
(kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adanya ‘ashabah
(ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan
pembagian harta pusaka).
Di antara ulama ada yang
berpendapat bahwa adat adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum. Begitu
pula ‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Imam Malik mendasarkan
sebagian besar hukumnya pada perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama
murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas pebuatan
‘urf mereka. Sedangkan Imam Syafe’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah
sebagian pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau
berada di Bagdad. Hal iin karena perbedaan ‘urf, maka tak heran kalau ia
mempunyai dua mazhab, madzhab qadim (terdahulu/pertama) dan madzhab jadid
(baru).
Adapun ‘urf yang rusak, tidak
diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti menentang
dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah saling
mengerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad tharar (tipuan dan
membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam
membolehkannya.
Dalam undang-undang positif
manusia, ‘urf yang bertentangan dengan undangundang umum tidak diakui, tetapi
dalam contoh akad ini dapat ditinjau dari segi lain, yaitu apakah akad tersebut
dianggap darurat atau sesuai dengan hajat manusia? Artinya, apabila akad
tersebut membatalkan, maka berarti menipu peraturan kehidupan mereka atau
mereka akan memperoleh kesulitan. Jika hal itu termasuk darurat atau kebutuhan
mereka, akad itu diperbolehkan, karena dalam keadaan darurat dibolehkan melakukan
hal-hal yang telah diharamkan, sedang hajat itu dapat menduduki tempat
kedudukan darurat. Namun jika tidak termasuk darurat atau kebutuhan mereka,
maka dihukumi dengan batalnya akad tersebut dan berdasarkan hal ini maka ‘urf
tidak diakui.
Hukum
yang didasarkan ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan
asalnya. Karena itu, para fuqaha menyatakan bahwa perselisihan itu adalah
perselisihan masa dan zaman buka perselisihan hujjah dan bukti.11
d. Kehujjahan ‘Urf
Secara umum, ‘urf diamalkan oleh
semua ulama fiqh terutama di kalangan ulama madzhab Hanafiyah dan Malikyah.
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu dari
bentuk istihsan itu daalah isihsan al’urf (istihsan yang menyandar pada ‘urf).
Oleh ulama Hanafiyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga
didahulukan atas nash umum, dalam arti: ‘urf mentakhshish umum nash. Ulama
Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Mmadinah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan emndahulukannya dari hadits ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemkan ketentuan
batsannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan
kaidah berikut12 “Setiap yang
dating dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’
maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf”.
‘Urf menurut penyelidikan bukan
merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, ‘urf ditujukan untuk
memelihara kemashlahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran
nash. Dengan ‘urf dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak.
Karena ‘urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan. Karena itu, sah mengadakan
kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah
menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum
(tiada).13
3. Syar’un Man Qablana
a. Pengertian
Para ulama menjelaskan bahwa
syari’at sebelum kita atau syar’un man qablana ialah hukum-hukum yang telah
disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul
terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umatsebelum adanya
syari’at Nabi Muhammad saw. sejauh yang dapat dibaca dalam al-Quran atau
dinukilkan oleh Nabi Muhammad saw., karena memang al-Quran danhadits Nabi
banyak berbicara tentang syari’at terdahulu.14
b. Hukum Syari’at sebelum Kita
Apabila al-Quran atau al-Sunnah
yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada umat yang
dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada umat Nabi
Muhammad saw. sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi
bahwa syari’at tersebut ditujukan juga kepada umat Nabi Muhamamd saw. Dengan
kata lain, wajib untuk diikuti, seperti tentang puasa ramadhan yang terdapat
dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 183:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن
قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”.
Sebaliknya, jika pada al-Quran
atau al-Sunnah diqisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada
orang-orang terdahulu, namum hukum tersebut telah dihapus untuk umat Nabi Muhamma
saw., para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyari’atkan kepada umat
Nabi Muhamamd saw., seperti syari’at Nabi Musa bahwa seseorang yang telah
berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya.
Contoh lain juga jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci
kecuali dnegan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.15
c. Pendapat Para Ulama tentang Syari’at
Sebelum Kita
Telah diterangkan di atas bahwa
syari’at terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan ataupun
penghapusan telah disepakati para ulama. Namun yang diperselisihkan adalah
apabila pada syari’at terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal
itu diwajibkan pada Umat Nabi Muhammad saw. sebagaimana diwajibkan pada mereka.
Dengan kata lain, apakah dalil tersebut sudah dihapus atau dihilangkan untuk
umat Nabi Muhammad saw.? Seperti firman Allah SWT. dalam surat al-Maidah ayat
32:
مِنۡ أَجۡلِ ذَٰلِكَ
كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ
نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ
أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ
رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٰلِكَ فِي ٱلۡأَرۡضِ
لَمُسۡرِفُونَ ٣٢
Artinya, “Oleh
Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakanakan dia Telah
membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan
Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu;
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”.
Jumhur Ulama Hanafiyah, sebagian
ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyari’atkan
juga pada umat Nabi Muhammad saw. dan Umat Nabi Muhamamd saw. berkewajiban
mengikuti dan menerapkannya dalam hukum tersebut telah diceritakan kepada umat
Nabi Muhammad saw. serta tidak terdapat hukum yang menasakhnya. Alasan mereka
menganggap bahwa hal itu termasuk di antara hukum-hukum Tuhan yang telah
disyari’atkan melalui para rasul-Nya dan diceritakan kepada umatnya.
Orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh, ulama Hanafiyah mengambil
dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang
apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki ataupun perempuan,
berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT.
Sebagian ulama mengatakan bahwa
syari’at itu menasakhkan atau menghapus syari’at terdahulu, kecuali apabila
dalam syari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar
adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu
yang bertentangan dengan syari’at kita saja.16
Daftar Pustaka:
1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: H. 342
2 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: H. 125-126
3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: H. 345-346
4 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: H. 126-127
5 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: H. 127
6 Amir Sayarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: H. 344
7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: H. 363-364
8 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: H. 128
9 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: H. 365-368
10 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: H. 128-129
11 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: H. 130-131
12 Amir Syarifuddi, Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008: H. 374-375
13 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: H. 131
14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta:
Prenada Media Group, 208: H. 391-392
15 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1999: H. 143-144
16 Rachmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999: H. 144-145
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak