Sumber-sumber hukum islam (IJMA’)
Sumber-sumber
hukum islam
IJMA’
1. Pengertian Ijma’
Pengertian ijma’ secara
etimologi ada dua macam, yaitu :
a. Ijma’ berarti
kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan “Suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka
telah sepakat begini.” Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15:
فَلَمَّا ذَهَبُواْ بِهِۦ
وَأَجۡمَعُوٓاْ أَن يَجۡعَلُوهُ فِي غَيَٰبَتِ ٱلۡجُبِّۚ وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡهِ
لَتُنَبِّئَنَّهُم بِأَمۡرِهِمۡ هَٰذَا وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ ١٥
Artinya, “Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia),
dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya
kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada
ingat lagi.”
b. Ijma’ berarti
tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini
bisa ditemukan dalam firman Allah SWT, dalam surat Yunus ayat 71 :
۞وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ نُوحٍ إِذۡ قَالَ
لِقَوۡمِهِۦ يَٰقَوۡمِ إِن كَانَ كَبُرَ عَلَيۡكُم مَّقَامِي وَتَذۡكِيرِي بَِٔايَٰتِ
ٱللَّهِ فَعَلَى ٱللَّهِ تَوَكَّلۡتُ فَأَجۡمِعُوٓاْ أَمۡرَكُمۡ وَشُرَكَآءَكُمۡ
ثُمَّ لَا يَكُنۡ أَمۡرُكُمۡ عَلَيۡكُمۡ غُمَّةٗ ثُمَّ ٱقۡضُوٓاْ إِلَيَّ وَلَا
تُنظِرُونِ ٧١
Artinya, “Dan bacakanIah kepada
mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia Berkata kepada kaumnya: “Hai
kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku
(kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah Aku bertawakal, Karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku”.
Juga sabda Nabi SAW “Tidak sah puasa seseorang yang tidak
membulatkan niat puasanya pada malam harinya” (HR. Abu Dawud).
Adapun pengertian ijma’ secara
terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikekmukakan para ulama ushul
fiqih. Ibrahim ibn Siyat Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah, merumuskan ijma’
dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu
muncul dari seseorang.” Akan tetapi, rumusan Al-Nazzam ini tidak sejaan dengan
pengertian etimologi di atas.
Imam Al-Ghazali, merumuskan
ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah
agama.” Rumusan AL-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan
umat Muhammad SAW yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al-Gazali pun
tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dialakukan setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rasulullah, ijma’ tidak
diperlukan, sebab keberadaan Rasulullah SAW. sebagai Syari’ (penentu/pembuat
hukum) tidak memerlukan ijma’.
Rumusan ini, menurut Al-Amidi,
tokoh ushul fiqih Syafe’iyyah, mengikuti pandangan Imam Asy-Syafe’i yang
mengatakan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam,
karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah
apabila disepakati oleh seluruh umat.
Jumhur ulama ushul
fiqih mengemukakan bahwa ijma’ adalah “Kesepakatan seluruh mujtahdid Islam dalam
suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW., akan suatu hukum syariat yang
amali”.1
2. Syarat-syarat
dan Rukun Ijma’
Dari beberapa definisi di atas,
maka dapat kita pahami bahwa ijma’ mempunyai syaratsyarat sebagai berikut :
a. Kesepakatan para
mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’. Begitu juga
kesepakatan Islam yang belum atau belum mencapai derajat mujtahid fiqih,
meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab,
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang
hukum perkara-perkara syariat Islam.
Al-Asnawi berkata, “Maka tidak
sianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama yang berdisiplin ilmu lain,
karena kesepakatan mereka dalam hal ini tanpa dasar dan mereka bukanlah
termasuk orang-orang mengetahui dalil-dalilnya.”
Fakhrur Razi berkata, “Karena
orang-orang yang bersepakat itu bukanlah orangorang yang mengerti bagaimana
mengistinbatkan hukum dari nas-nasnya, maka kesepakatan mereka yang berupa
perintah dan larangan tidak perlu diikuti.”
Atas dasar uraian di ata maka
pada saat masa sunyi dan para mujtahid, tidak mungkin terjadi ijma’ jika mereka
bersepakat atas hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya dalam Al-Quran dan
hadis. Minimal jumlah mujtahid yang dapat dibenarkan hasil ijma’nya adalah tiga
orang. Demikian menurut pendapat yang kuat. Jumlah tersebut merupakan jumlah
minimal untuk suatu kekompok. Karena itu, tidak bisa dikatakan terjadi ijma’,
jika dalam suatu masa hanya ada dua ornag mujtahid. Apalagi jika hanya seorang
saja sebab pendapatnya merupakna pendapat pribadi.
Sebagian ulama ada yang mensyaratkan
bahwa jumlah mujtahid harus mencapai batas mutawatir, sehingga tidak mungkin
mereka bersekongkol untuk bersepakat dalam suatu kebatilan atau kedustaan.
b. Ijma’ harus
merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid, meskipun negara dan kebangasaan
mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun. Maka
jika ada sebagain mereka yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas,
meskipun seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan
ijma’.
Karena itu, tak
diakui sebagai ijma’, kesepakatan:
1) Suara terbanyak,
2) Kesepakatan
mujtahid dua tanah haram dari golongan Salaf,
3) Kesepakatan
Ulama Salaf kota Madinah saja,
4) Kesepakatan
Ulama Salaf yang mujtahid dari dua kota Basrah dan Kufah, atau salah satunya
saja,
5) Kesepakatan Ahli
Bait Nabi saja,
6) Kesepakatan dua
orang syekh, Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain,
membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’I (diyakini) keabsahan dan
kebenarannya.
Termasuk dalam kategori mujtahid
adalah mereka yang ahli dalam “kelompok-kelompok dalam kalangan umat Islam”
yang tidak mengingkari masalah yang termasuk kategori sudah diketahui secara
dzaruri dalam agama. Kesepakatan itu harus mengikutsertakan mareka walaupun
mereka berbeda pendapat dengan jumhur kaum muslimin tentang masalah selain dari
yang diijma’kan. Namun, para ahli ilmu pengetahuan lain yang mengingkari
ketetapan syariat secara qath’i, seperti kelompok Syi’ah yang ekstrim tidak
perlu diikutsertakan karena pendapat mereka tidak diperhitungkan, baik mereka
sepakat maupun tidak.
c. Hendakanya
kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa
terjadinya maslah fiqihyah dan pembahasan hukumnya. Oleh karena itu, tidak
disyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya,
sebab jika tidak demikian, niscaya tidak mungkin terjadi ijma’ meskipun
datangnya hari kiamat.
Dan tidak disyaratkan, dalam
batalnya ijma’, karena wafatnya para mujahid yang telah bersepakat itu.
Berlakunya ijma’ tidak terbatas pada masa hidup mereka saja. Dalam pada itu,
ada sebagain ulama yang berpendapat bahwa ijma’ bisa batal jika seluruh
mujtahid yang bersepakat itu telah meninggal dunia, mengingat bolehnya sebagian
emreka mencabut pendapatnya ketika masih hidup.
d. Kesepakatan para
mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah Rasulullah SAW., wafat. Oleh
karana itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu perkara, ketika
Nabi SAW., masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’
syar’i. kesepakatan tersebut menjadi hujjah jika mendapat persetujuan dari Nabi
SAW. sebab Beliau sendirilah yang mempunyai wewenang untuk membentuk syari’at
pada masanya.
e. Kesepakatan itu
hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada satu
waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat,
dimana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi
berakhir dengan diperolehnya satu pendapat yang bulat, dan masing-masing mereka
menyatakan sepakat dan rela atas keputusan tersebut.
f. Hendaknya
kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu benar-benar sepakat lahir
dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat atas
suatu hukum.
Jika semua persyaratan di atas
terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas hukum syara’ yang amali, seperti
wajib, haram, sah, dan rusak maka terjadilah ijma’.
Adapun rukun ijma’
adalah sebagai berikut :
a. Yang terlibat
dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid.
Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil,
maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b. Mujtahid yang
telibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa
tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu
diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
d. Hukum yang
disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya
secara rinci dalam Al-Quran.
e. Sandaran hukum
ijma’ tersebut haruslah Al-Quran dan atau hadis Rasulullah SAW.2
3. Macam-macam
Ijma’
Dilihat dari bentuknya, ijma’
dapat dibedakan dalam dua bagian:
a. Ijma’ qath’i,
yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa
ada bantahan di antara mereka. Ijma’ qath’I ini dapat dijadikan dalil (alasan)
dalam menetapkan hukum suatu masalah.
b. Ijma’ sukuti,
yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah,
kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) diantara mereka atau salah
seorang di antara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu keputusan.
Tentang ijma’
sukuti, ulama berbeda pendapat bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak:
a. Imam Syafe’i dan
sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu Iyan dan Imama Al-Baqillani dari
golongan Asy’ariyah menyatakan, bahwa ijma’ sukuti tidak dapat menjadi hujjah
sebaba kemungkinan ada ulama yang tidak setuju atau ada pula yang setuju.
b. Ulama lain
seperti Al-Juba’i, ijma’ sukuti tetap menganggapnya hujjah, sebagaimna halnya ijma’
qauli/amali.
c. Imam Al-Amidi
mengambil jalan tengah ia mengatakan ijma’ sukuti hukumnya zhanni dan
kehujjahannya dzahiri bukan qath’i.
Ijma’ tidak dipandang sah,
kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri
sendiri. Selain itu, fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah.
Sandaran ijma’ tersebut
adakalanya dalil dari Al-Quran dan adakalanya dari hadis mutawatir bahkan
adakalanya berupa dalil zhanni yaitu hadis ahad dan qiyas.
a. Sandaran ijma’ dari
Al-Quran seperti firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa’ ayat 23:
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ
أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ
وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ
وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي
فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ
تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ
أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣
Artinya, “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Hukum mengawini
perempuan-perempuan tersebut di atas sepakat atas keharamannya.
b. Contoh sandaran
ijma’ dari sunah, seperti, sabda Nabi “Berikanlah bagi nenek perempuan itu 1/6
dari harta peninggalan.” Hal ini, juga telah disepakati.
c. Ijma’ yang
terjadi pada masa Umar bin Khaththab dera bagi peminum minuman keras sebanyak
80 x karena diqiyaskan/disamakan hukumnya dengan qadzaf (menuduh seorang
berbuat zina).
d. Usulan Umar
kepada Abu Bakar RA. untuk mengumpulkan A-Quran dalam satu mushaf/kumpulan.
Pada awalnya, Abu Bakar menolak usulan itu, dengan alasan tidak pernah
dilakukan pada masa rasul, tetapi akhirnya Abu Bakar menyetujuinya demi
kemaslahatan umat manusia.3
4. Kehujjahan Ijma’
a. Jumhur Ulama
berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan, dengan alasan:
1) Firman Allah
surat An-Nisa’ ayat 115:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ
مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥
Artinya: “Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah
dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.”
Allah mengancam orang yang
mengikuti bukan jalan kaum mukminin dengan memasukkannya ke neraka jahanam. Hal
ini menunjukkan akan haramnya mengikuti bukan jalannya orang mukmin itu dan
wajibnya mengikuti jalan orang mukmin dan apa yang disepakati umat Isam
(sebagai tamsil dari mujtahid dan mereka yang memiliki spesialisasi dalam
bidang tasyri’) wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya.
Zamakhsari mengomentari bahwa
ayat ini menunjukkan bahwa ijma’ merupakah hujjah yang atak boleh
diperselisihkan sebagaimana tak boleh diperselisihkannya Al-Quran dan Sunnah.
Sedang Amidi mengomentarinya bahwa ayat ini merupakan ayat yang amat kuat
petunjuknya tentang kehujjahan ijma’ dan dengan ayat inilah Imam Syafe’i
berpegang, sedangkan Imam Ghazali berpendapat lain, yaitu bahwa yang dimaksud
dengan “bukan jalan orang mukmin” itu ialah tidak membantu dan membela Nabi.
2) Firman Allah
surat An-Nisa’ ayat 59:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Allah memerintahkan untuk
menaati Ulil Amri, yaitu mereka yang mempunyai spesialisasi dalam berbagai
bidang pengetahuan. Maka ulil amri dalam urusan hukum adalah Hakim, sedangkan
dalam memperkenalkan hiukum Allah dan mengistinbatkannya adalah para mujtahid,
dan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah para pakar spesialis.
Berdasarkan pendapat Abdullah
bin Abbas, yang menafsirkan ulil amri itu dengan ulama, maka menaati apa yang
diijma’kan adalah wajib. Terhadap tafsiran ini, sebenarnya telah difirmankan
Allah dalam surat An-Nisa’ 83:
وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ
مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ
وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ
مِنۡهُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ
إِلَّا قَلِيلٗا ٨٣
Artinya:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan ulil Amridi antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri).
kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).”
Kemudian diiringi dengan ayat
yang memerintahkan pengembalian urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan
Rasul. Pengertiannya bahwa pendapat yang disepakati Ulil Amri itu adalah benar.
3) Beberapa hadis
yang menunjukkan terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan, yaitu hadis
yang saling memperkokoh dan diterima oleh umat, serta mutawatir maknanya
sehingga dijadikan hujjah. Hadis-hadis ini datang melalui lidah para sahabat,
seperti Umar, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abi Sa’id Al-Khudri, Hurairah, Anas bin
Malik, dan lain-lain, yang telah dikemukakan pada masalah ijma’ aktsariyah.
4) Kesepakatan
mujtahid dalam suatu pendapat yang sebagian pemikiran dan pengetahuan mereka
berbeda, menunjukkan bahwa pendapat ini merupakan kebenaran dan ketepatan yang
benar-benar nyata, dan menunjukkan bahwa tidak terdapat dalil yang
menentangnya. Jika dalil itu ada, tentulah sebagian mereka akan mengingatkannya
dan tidak akan menghasilkan perbedaan di kalangan mereka karena tidak semua
anggota jemaah itu lalai. Di dalam jemaah tidak terjadi kelalaian dari
Kitabullah, sunnah dan qiyas. Kelalaian itu terjadi jika umat
terkelompok-kelompok.
b. Al-Nazham,
sebagian Mu’tazilah dan syi’ah berpendapat bahwa ijma’ bukan hujjah, dengan
alasan:
1) Setiap individu
mujtahid itu mungkin saja tersalah dan hal ini bisa juga terjadi dalam jamaah
mereka. Penggabungan satu sama lainnya yang mungkin tersalah itu tidak mustahil
memungkinkah mereka menjadi salah juga.
2) Firman Allah
yang memerintahkan taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri itu menunjukkan bhwa
adanya perintah pengembalian urusan yang disengketakan kepada Kitabullah dan
Sunah Rasulullah. Karena itu, jika fuqaha generasi terdahulu ijma’ tentang
suatu urusan lalu ditentang oleh fuqaha generasi sesudahnya, maka wawjib
mengembalikan permasalahannya kepada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Oleh
karena itu, ijma’ generasi terdahulu itu, tidak m enjadia hujjah terhadap
generasi sesudahnya. Karena itu pula argumentasi Jumhur tentang kehujjahan
ijma’ dengan ayat ini dan bahwa kesepakatan itu tidak perlu kembali pada Kitab
dan Sunah adalah tidak benar karena adakalanya kesepakatan mustahid itu terjadi
dalam hukum yang mreka perselisihkan, sehingga mau tidak mau harus dikembalikan
kepada Kitab dan Sunah.
3) Mu’az bin Jabal
ketika diutus Rasulullah ke Yama tidak menyebutkan ijma’ di antara dalil-dalil
tempat rujuknya dalam memutuskan hukum, sementara pernyataan Mu’az itu diakui
oleh Rasul. Yang demikian menunjukkan bahwa ijma’ bukan menjadi hujjah.
Selanjutnya, mereka
menolak semua argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama, dengan alasan
sebagai berikut:
a. Firman Allah
surat al-Nisa ayat 115:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ
مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥
Artinya: “… dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,..”.
Bahwa yang dimaksud dengan
“bukan jalan mukminin itu seperti yag dikatakan oleh Ibn Hazmin, ialah tidak
menaati Al-Quran, Sunah yang sah dari Rasul.” Jadi, ia tidak menunjukkan
tentang kehujjahan ijma”.
b. Semua hadis yang
dipegang oleh Jumhur itu adalah hadis ahad, yang tidak menghasilkan keyakinan
tentang kehujjahan ijma’. Sekiranya diterima atas dasar mutawatir maknanya,
maka ia ditempatkan untuk terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan
dalam menyepakati kekufuran dan menyalahi dalil qath’i saja. Hal ini mengingat
bahwa terdapat hadis Nabi yang menunjukkan bahwa kesalahan itu bisa terjadi dalam
umat, yaitu Sabda Nabi SAW. “Sungguh Allah tidak mencabut ilmu itu dengan
mencabutnya dari hamba, tetapi Ia mencbut melalui kematian Ulama, sehingga bila
tidak ada lagi orang alim, maka manusia pun mengangkat orang jahil menjadi
pemimpinnya. Mereka bertanya dan si pemimpin pun memberi fatwa tanpa pengatahuan,
yang akibatnya mereka menjadi sesat dan si pemimpin merupakan pembuat (pokok
pangkal timbulnya) kesesatan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebenarnya, semua
dalil/argumentasi Jumhur tentang kehujjahan ijma’ tidak satu pun yang qath’i
dilalahnya, karena baik ayat maupun hadis tidak qath’i dilalahnya terhadap
kehujjahan ijma’ dan tidak pula secara tegas tentang itu.
Asy-Syaukani berkomentar bahwa
suatu keanehan di kalangan fuqaha bila mereka menetapkan kehujjahan ijma’
dengan keumuman (zhanni) ayat dan hadis lalu mereka ijma’ bahwa orang yang
mengingkari terhadap apa yang dicakup keumuman tersebut tidak kafir dan tidak
pula fasik bilamana keingkaran itu mempunyai ta’wil. Kemudian mereka mengatakan
bahwa hukum yang disimpulkan ijma’ adalah qath’i yang mengakibatkan kafir dan
fasiknya orang yang menyalahi ijma’ itu. Seolah-olah mereka menempatkan yang
cabang lebih utama daripada pokok.4
5. Cara Penetapan
Ijma’
Landasan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqih
mengatakan bahwa ijma’ yang merupakan upaya para mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nas, harus mempunyai landasan
dari nas atau qiyas (analogi). Apabila ijma’ tidak memiliki landasan, maka
ijma’ tersebut tidak sah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang jenis landasan
ijma’ tersebut.
Mayoritas ulama ushul fiqih
mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa dari dalil yang qath’i yaitu Al-Quran,
Sunah mutawatir, serta bisa juga berdasarkan dalil dzanni, seperti hadis ahad
(hadis yang diriwayatkan oleh satu dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai
tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma’ yang dilakukan para
sahabat tentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri. Landasan ijma’
ini, menurut mereka, adalah hadis ahad. Demikian juga kesepakatan para sahabat dalam
menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti (khalifah) Nabi SAW., dengan
mengqiyaskannya kepada sikap Nabi SAW., yang menunjuk Abu Bakar sebagai imam
shalat ketika Beliau berhalangan. Para sahabat juga berijma’ bahwa lemak babi
adalah haram dengan menganalogikannya kepada daging babi. Para sahabat di zaman
Umar ibn Al-Khaththab bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak 80 kali bagi
orang yang meminum minuman keras. Seluruh kesepakatan yang dikemukakan di atas
dasarnya dalah dzanni.
Ulama Dzahiriyah, Syi’ah, dan
Ibn Jarir Al-Thabari mengatakan bahwa landasan ijma’ itu harus dalil yang
qath’i. Menurut mereka, ijma’ itu dalil yang qath’i. Suatu dalil yang qath’i
tidak mungkin didasarkan pada dalil yang dzanni. Di samping itu, seorang
mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas.
Apabila sandaran ijma’ tersebut adalah qiyas, maka seorang mujtahid boleh
mengingkarinya.
Sejalan dengan perbedaan
pendapat tentang menjadikan qiyas sebagai landasan ijma’, para ulama juga berbeda
pendapat tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai landasan ijma’, Para ulama
yang menerima maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung oleh nas yang
rinci, tidak pula ditolak oleh nas, tetapi didukung oleh sejumlah makna nas)
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum menyatakan bahwa ijma’ bisa
didasarkan pada maslahah mursalah, dengan syarat apabila kemaslahatan itu
berubah, maka ijma’ pun bisa berubah. Alasan mereka adalah para ahli fiqih
Madinah berpendapat bahwa penetapan harga (al-taksir al-jabari) hukumnya boleh,
sedangkan para sahabat sebelumnya tidak memberlakukan penetapan harga. Landasan
kesepatan ini adalah maslahah mursalah.
Demikian juga kesepakatan ulama
tentang larangan orang yang ada hubungan kekerabatan dan suami istri menjadi
saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau sebaliknya. Landasan kesepakatan
ulama ini adalah maslahah mursalah. Selain itu, para sahabat juga sepakat
menyatakan bahwa tanah-tanah negeri yang ditaklukkan, seperti Irak dan Syam
tidak dibagikan kepada para penakluknya, tetapi diserahkan kepada penduduk
setempat dengan syarat penduduk itu m engeluarkan pajak, sebagai uang masuk
bagi kepentingan umat Islam, seperti untuk biaya hidup anak yatim, para janda,
gaji para hakim, dan buruh.
Seluruh hukum yang disepakati,
baik oleh para sahabat maupun oleh para mujtahid di atas, dilandaskan kepada
maslahah mursalah. Akan tetapi, Zakiyuddin Sya’ban, bahli ushul fiqih Mesir,
mengatakan bahwa ijma’ yang didasarkan kepada maslahah mursalah tidak bersifat
tetap dan abadi, tetapi bisa berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan
itu sendiri. Karenanya jika terjadi perubahan kemaslahatan, maka ijma’ tersebut
boleh dilanggar dan ditentukan hukum lain yang lebih mendatangkan kemaslahatan.
Dengan demikian, setiap ijma’
yang dapat dijadikan sumber fiqih adalah ijma’ yang mempunyai sandaran dan
sandarannya itu qath’i seperti ayat Al-Quran atau Sunah yang mutawatir. Maka
kalau sandaranya itu dzanni seperti hadis ahad atau qiyas masih dapat dianggap
sebagai ijma’, para fuqaha berbeda pendapat. Menurut Jumhurul Fuqaha, ijma’
seperti itu dapat diterima dan memang pernah terjadi. Jumhurul Fuqaha
memberikan contohnya seperti ijma’ tentang haram memakan lemak babi yang
diqiyaskan dengan daging babi, wajib membuang minyak lampu yang ada di dalamnya
terdapat bangkai tikus, atau kekhalifahan Abu Bakar yang diqiyaskan dengan
kepercayaan Rasulullah terhadap imamah Abu Bakar dalam shalat. Namun ada
sekelompok ulama yang berpendapat, ijma’ yang sandarannya qiyas tidak boleh dan
tidak pernah terjadi, ada pula yang mengatakan ijma’ yang sandarannya qiyas
jail dapat diterima sedangkan lain dari itu tidak dapat diterima, ada pula yang
berpendapat ijma’ sandarannya qiyas tidak dijadikan sumber fiqih.5
6. Kedudukan Ijma’
Ijma’ bisa dijadikan hujjah atau
alasan dalam menetapkan hukum kalau yang menjadi dasar adalah Kitabullah dan
Sunah Rasul. Perhatikan firman Allah SWT., dalam surat An-Nisa’ ayat 59:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya: “…
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),….”
Kalimat kembalikanlah kepada
Allah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah berpedoman dan bertitik tolak
dalam menetapkan suatu hukum kepada Al-Quran. Dan Kembali kepada Rasul-Nya
adalah berdasarkan sunah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi
hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan pada Quran dan sunnah Rasul.
Para ulama yang menetapkan bahwa
ijma’ itu hujjah, menetapkan pula bahwa ijma’ tersebut terletak di bawah derajat
Kitabullah dan Sunnah Rasul dan ijma’ itu tidak boleh menyalahi nas yang qath’i
(Kitabullah dan Hadis Masyur).
Kebanyakan ulama berpendapat
bahwa nilai hujjah, ijma’, ialah nilai zhanni; bukan qath’i. Karena nilai
hujjah ijma’ adalah zhanni, menurut pendapat kebanyakan ulama, maka ijma’ itu
dapat dijadikan hujjah atau dipegangi dalam urusan amal, tidak dalam urusan
i’tikad, mengingat bahwa dalam urusan i’tikad haruslah ditetapkan oleh dalil
yang bernilai qath’i.
Prinsip ijma’ ini telah menempuh
tiga masa sejak dari masa sahabat, hingga masa mujtahidin.
Ijma’ masa sahabat; Dalam masa
ini, para sahabat berijtihad dalam beberapa masalah. Umar sering mengumpulkan
para sahabat untuk memusyawarahkan sesuatu. Maka apabila para sahabat sepakat
bulat menetapkan sesuatu, Umar pun melaksanakannya. Dan kalau mereka
berselisih, mereka mempelajari msalah itu lebih jauh, hingga sampai pada suatu
penetapan yang disepakati oleh jemaah fuqaha. Kesepakatan inilah yang dinamakan
nash. Dan mereka tidak sepakat bulat atas sesuatu melainkan karena ada nash.
Masa ijtihad: Para imam tidak
mengeluarkan pendapat-pendapat yang sama sekali menyalahi pendapat ulama
negerinya, agar tidak dituduh orang yang ganjil. Karena itu Abu Hanifah
menghargai ijma’ ulama Kufah, sebagaimana Malik menghargai ijma’ ulama Madinah.
Masa Fuqaha: Para fuqaha berdaya
upaya menuruti hukum yang telah disepakati para sahabat untuk diikuti. Maka
dengan memperhatikan hal ini, nyatalah bahwa ijtihad mempunyai tempat juga
dalam bidang ijma’.
Mengenai dasar qiyas, ada yang
menjadikannya dasar ijma’, ada yang tidak. Dan ada yang mengatakan bahwa qiyas
yang dapat dijadikan dasar ijma’, ialah qiyas yang illatnya dinashkan, atau
yang illat-nya nyata, tidak tersembunyi.
Dalam hal ini kita mengatakan,
bahwa kita tidak berpegang kepada qiyas, tetapi kepada nash juga, lantaran
illat yang nyata itu sama dengan nash.
Para sahabat belum
pernah mendasarkan ijma’ kepada qiyas.
Ijma’ yang dilakukan oleh ulama
suatu masa, dapatkah dinasakhkan oleh ijma’ yang kedua? Jumhur ulama tidak
membolahkan. Ijma’ yang dapat mereka yakini hanyalah ijma’ sahabat.
Anggota-aggota sidang ijma’:
Anggota-anggota ijma’, ialah orang-orang mujtahid. Masukkah ulama-ulama
Khawarij ke dalam kategori mujtahid?
Menurut jumhur, ulama-ulama
Khawarij yang aktif mempropagandakan pahamnya tidak masuk ke dalam katagori
mujtahid, namun kalau tidak aktif maka mereka tergolong kategori mujtahid.
Mujtahid yang dii’tibarkan ialah
orang yang mengetahui masalah-msalah fiqih dan dalildalilnya, dan jalan
mengeluarkan hukum. Maka dalam bidang fiqih, para fuqaha-lah yang dii’tibarkan.6
Daftar
Pustaka:
Chaerul Uman, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: h. 73-75
Chaerul Uman, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: h. 75-78
Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka
Setia, 2001: h. 78-80
Chaereul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka
Setia, 2001: h. 80-85
Chaerul Uman, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka
Setia, 2001: h. 86-88
Chaerul Uman, dkk.,
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 2001: h. 89-91
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak