MUJMAL, MUBAYYAN, MANTHUQ DAN MAFHUM
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH
MUJMAL,
MUBAYYAN, MANTHUQ DAN MAFHUM
a. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Lafadz mujmal dalam arti sederhana adalah:
االفظ الذى ينطووى معناه على عدةاحوال واحكام قدجمعت فيه
Artinya, “Lafazh
yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di
dalamnya.
Lafazh mujmal ini adalah lafazh
yang samar, karena dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan arti yang
dimaksud; tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat mengantarkan kita
memahami maksudnya, tidak munkgin pula dapat dipahami arti yang dimaksud
kecuali dengan penjelasan dari Syari’ (Pembuat Hukum) sendiri (dalam hal ini
hadits Nabi).1 Mujmal ialah
suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti yang
sebenarnya, apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Penjelasan
ini disebut Al-Bayan. Ketidakjelasan ini disebut Ijmal.2
Contoh lafal yang mujmal, sebagimana firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 berikut ini:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ .....٢٢٨
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Lafal quru’ ini disebut mujmal,
karena mempunyai dua arti yaitu haid dan suci. Kemudian mana di antara dua
macam arti ini yang dikehendaki oleh ayat tersebut, maka diperlukan penjelasan
yaitu bayan. Itulah contoh ijmal dalam lafal tunggal.
Contoh dalam lafal
yang murakkab (susunan kata-kata) yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah: 237
sebagai berikut:
... أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ
ٱلنِّكَاحِۚ ... ٢٣٧
Artinya: “Atau orang yang memegang ikatan
pernikahan memaafkan”.
Dalam ayat tersebut masih
terdapat ijmal tentang menentukan siapakah yang dimaksud orang yang memegang
kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud suami tatau wali.
Kemudian untuk menentukan siapa di antara kedua itu yang dimaksud pemegang
ikatan nikah, maka diperlukan bayan.
Selain tersebut di atas, ada
lagi mujmal pada tempat kembalinya dlamir yang ihtimal (layak) menunjukkan dua
segi, sebagaimana sabda Nabi SAW. sebagai berikut “Janganlah salah seorang
diantara amu menghargai tetangganya untuk meletakan kayu pada dindingnya”.
Kata “nya” pada “dindingnya”
masih mujmal, artinya belum jelas apakah kembalinya itu kepada dinding orang
itu atau pada tetangga. Mujmal ini hampir sama dengan ‘Am (umum) dan muthlaq.
Karena itu perlu mengetahui perbedaan antara ketiga tersebut, agar tidak salah
menentukan masalahnya.3
b. Macam-macam Al-Bayan
Al-Bayan artinya penjelasan; di
sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal. Secara
etimologis, al-bayan ialah: “Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang
sulit ke tempat yang jelas”.
Dengan demikian, mubayyan ialah
suatu lafal yang terang maksudnya, tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.
Bayan itu ada bermacam-macam, sebagai berikut:
1) Bayan dengan perkataan
Sebagaimana firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah:
196:
...فَصِيَامُ
ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖ فِي ٱلۡحَجِّ وَسَبۡعَةٍ إِذَا رَجَعۡتُمۡۗ تِلۡكَ عَشَرَةٞ
كَامِلَةٞۗ ... ١٩٦
Artinya: “Barang siapa tidak
mendapat (beli binatang qurban), hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa
haji, dan tujuh hari apabila kamu kembali; yang demikian itu sepuluh hari
sempurna”.
Lafal tujuh dalam bahasa Arab
sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk
menjelaskan tujuh betul-betul, maka Allah iringi firmanNya sepuluh hari
sempurna. Penjelasan tujuh betul-betul dalam ayat ini adalah dengan ucapan.
2) Bayan dengan perbuatan
Misalnya penjelasan Nabi SAW.
pada cara-cara shalat dan haji. «Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku
menjalankan shalat» (HR. Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan
dengan perbuatan oleh Nabi SAW. yakni beliau mengerjakan sebagaimana cara
beliau mengerjakan, sambil menyuruh orang menirunya. Karena itu, penjelasan
seperti ini disebut “bayan dengan perbuatan”.
3) Bayan dengan isyarat
Misalnya penjelasan Nabi SAW.
tantang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat
beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian
mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya
bahwa bulan Arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
4) Bayan dengan meninggalkan sesuatu
Misalnya hadis Ibnu Hibban yang
menerangkan «Adalah akhir dua perkara pada Nabi SAW tidak berwudlu karena makan
apa yang dipanaskan oleh api».
Hadis ini sebagai penjelasan
yang menyatakan bahwa Nabi SAW. tidak berwudlu lagi setiap kali selesai makan
daging yang dimasak.
5) Bayan dengan diam
Misalnya tatkala Nabi SAW.
menerangkan wajibnya ibadah haji, ada seseorang yang bertanya “Apakah setiap
tahun ya Rasululah?” Rasulullah berdiam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini
berarti menetapkan bahwa kewajiban haji itu tidak tiap-tiap tahun.4
Daftar pustaka:
Amir Syarifuddin, Jilid Ii, Ushul Fiqh,
Jakarta: Prenada Media Group, 2008: 20
Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, Bandung: Al-Ma’arif,
1987: 84
Moh. Riva’i, Ushul Fiqh, Bandung: Al-Ma’arif,
1987: 84-85
Moh. Riva’i, Ushul
Fiqh, Bandung: Al-Ma’arif, 1987: 85-87
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak