Sumber-sumber hukum islam (QIYAS)
Sumber-sumber
hukum islam
QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Menurut bahasa, qiyas artinya
ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan
yang lain. Dengan demikian, qiyas diartikan mengukurkan sesuatu atas yang lain,
agar diketahui persamaan antara keduanya.
Sedangkan secara terminologi,
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli ushul fiqih dengan
redaksi yang aberbeda sesuai dengan pandapat masing-masing, namun mengandung
pengertian yang sama. Di antaranya dikemukakan oleh Saifuddin Al-Amidi yang
mengatakan bahwa qiyas “Mempersamakan illat yang ada pada furu’ dengan illat
yang ada pada asal yang diistinbatkan dari hukum asal”.
Mayoritas ulama Syafi’iyah
mendefinisikan qiyas dengan “Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada
(hukum) yang diketahui untuk menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan
hukum bagi keduanya, karena adanya sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum
maupun sifat.”
Wahhab Al-Zuhaili mendefinisikan
qiyas sebagai “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash
dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash disebabkan kesatuan illat
hukum antara keduanya.”
Dari beberapa definisi yang
dikemukakan para ahli ushul fiqih tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa qiyas menurut
istilah adalah “Menggabungkan suatu pekerjaan pada pekerjaan lain tentang
hukumnya, karena kedua pekerjaan itu memiliki persamaan sebab (illat) yang
menyebabkan hukuman harus sama.”
Sebagaimana kita kita ketahui
bahwa pada masa sahabat qiyas diartikan dengan mengembalikan suatu tujuan
syara’ kepada kaidah-kaidah yang umum dan kepada illatillat yang cepat dipahami
sehingga tidak diperselisihkan lagi.
Imam Rasyid Ridha berkata, “Hal
inilah yang dikehendaki dengan mengembalikan soal-soal yang diperselisihkan
kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila terjadi perselisihan paham antara ulul
amri.”
Qiyas mempunyai pengeraian
berbeda di antara pada ahli ushul fiqih disebabkan penggantian masa, tetapi
pengertian qiyas yang paling terkenal ialah yang telah disebutkan di atas.1
2. Rukun Qiyas
Para ulama ushul fiqih sepakat
bahwa rukun qiyas itu terdiri atas empat, yaitu perkara yang dipakai
perbandingan yang disebut Ashl yaitu perkara pokok yang terdapat atau
telah ditetapkan oleh nash atau ijma›. Perkara yang hendak dibandingkan disebut
far’u, yaitu perkara yang belum ada atau belum ditetapkan hukumnya oleh nash,
hukum asal yang hendak menjelaskan persamaan antara furu dengan ashl (hukum
yang telah ditentukan oleh nash, dan illat yang dipakai sebagai dasar penetapan
hukum pada perkara ashl dan menyandarkan furu’ padanya.)
Rukun qiyas itu ada empat yaitu
ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma›, far›u (kasus yang
akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh
mujtahid pada ashl, dan hukum Al-Ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash
atau ijma).
a. Ashl, menurut
para ahli ushul fiqih, merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh
ayat-ayat Al-Quran, hadis Rasulullah SAW., atau ijma›. Misalnya, pengharaman
wisky dengan mengqiyaskan kepada khamar; maka yang ashl itu adalah khamar; yang
telah ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut para ahli ushul fiqih,
khususnya dari kalangan mutakallimin, yang dikatakan Al-Ashl itu adalah nash
yang menentukan hukum, karena nash inilah yang dijadikan patokan penentuan
hukum furu›. Dalam kasus wisky yang diqiyaskan kepada khamar, maka yang menjadi
ashl menurut mereka adalah ayat 90 – 91 surat Al-Maidah.
b. Far’u , adalah
objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas
dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus di atas.
c. Illat , adalah
sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau
ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus di atas.
d. Hukum, adalah
sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum, dalam kasus khamar di atas
illatnya adalah memabukkan.2
3. Syarat-syarat
Qiyas
Untuk menetapkan hukum suatu
perkara dengan qiyas yang belum ada ketentuannya dalam Al-Quran dan hadis harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Syarat-Syarat
Ashl (Soal-Soal Pokok)
1) Hukum yang
hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya. Kalau tidak ada, hukum
tersebut harus dimansukh maka tidak boleh ada pemindahan hukum.
2) Hukum yang ada
dalam pokok harus hukum syara’ bukan hukum akal atau bahasa.
3) Hukum pokok
tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun
makan dan minum. Mestinya puasanya menjadi rusak sebab sesuatu tidak tetap ada
apabila berkumjpul dengan hal-hal yang menafikannya. Namun, puasanya tetap ada
sebab ada hadis yang menjamin atas sahnya puasa itu.
“Barang siapa yang lupa padahal ia sedang
berpuasa kemudian makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya
sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari – Muslim).
b. Syarat-Syarat
Cabang
1) Hukum cabang
tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok. Misalnya, mengqiyaskan wudhu dengan
tayamum dan wajibnya niat karena keduanya sama-sama taharah (suci). Qiyas tersebut
di atas tidak benar karena wudhu (dalam contoh di atas sebagai cabang) diadakan
sebelum hijrah, sedang tayamum (dalam contoh di atas sebagai pokok) diadakan
sesudah hijrah. Bila qiyas tersebut dibenarkan, berarti menetapkan hukum
sebelum ada illat-nya.
2) Cabang tidak
mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama ushul berkata, apabila datang
nash, qiyas menjadi batal.
3) Illat yang
terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok.
4) Hukum cabang
harus sama dengan hukum pokok.
c. Syarat-Syarat
Illat
Illat mempunyai beberapa syarat
sebagai berikut:
1) Illat harus
tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum dan tidak ada hukum bila
tidak ada illat.
2) Illat
berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya illat
tanpa menggangu sesuatu yang lain. Sebab adanya illat tersebut adalah demi
kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas, juga
seperti memabukkan sebagai illat adanya haram minum-minuman keras.
3) Illat tidak berlawanan
dengan nash, dan apabila berlawanan maka nash yang didahulukan. Sebagaimana
pendapat segolongan ulama bahwa perempuan dapat memiliki dirinya, sebab
diqiyaskan dengan bolehnya menjual harta bendanya. Karena itu, perempuan tidak
dapat melakukan pernikahan tanpa izin walinya qiyas seperti ini berlawanan
dengan nash hadis Nabi yang berbunyi “Perempuan yang menikah tanpa izin walinya,
maka nikahnya menjadi batal” (HR. Tirmizi dan lainnya).
4) Illat harus
berupa sesuatu yang jelas dan tertentu misalnya berpengarunya illat tersebut
karena adanya hikmah yang dikehendaki syara’. Bepergian misalnya, dijadikan
illat-nya mengqashar shalat karena qashar tersebut mengandung hikmah, yaitu
menghindari (mengurangi) kesukaran. Demikian pula zina dijadikan sebagai illat
hukum had karena ada hikmah, yaitu menjaga keturunan dari percampuran darah.
Sesuatu yang tidak terang, tidak
bisa dijadikan illat, seperti ridha dalam perkataan, karena ridha adalah suatu
hal yang samar, maka perlu adanya serah terima sebagai gantinya. Demikian pula
sesuatu yang tidak tertentu, seperti kesukaran maka tidak bisa menjadi illat
mengqashar dan keadaannya. Maka tidak dapat dijadikan illat untuk mengqas arkan
shalat dalam keadaan tidak bepergian meskipun boleh jadi kesukarannya lebih berat
daripada yang bepergian dalam beberapa hal.3
4. Macam-macam
Qiyas
Qiyas itu dibagi
menjadi 4 (empat), yaitu :
1) Qiyas Aula,
yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum ada yang disamakan
(mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya
(mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan
“ah” kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah : ...janganlah kamu mengatakan
“ah” kepada kedua orang tua …”
Mengatakan “ah” kepada ibu bapak
dilarang karena illat-nya ialah menyakiti hati. Oleh karena itu, memukul kedua
ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga
menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq (yang
disamakan) lebih berat daripada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian,
larangan memukul kepada orang tua lebih keras daripada larangan mengatakan “ah”
kepadanya.
2) Qiyas Musawi,
yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang
terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih.
Misalnya, merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan
memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusakkan harta. Sedang makan harta
anak yatim yang diharamkan.
3) Qiyas dalalah,
yakni suatu qiyas di mana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi
tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil
pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat
bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam
masalah ini, Imam Abu Hanifah berpendapat lain, bahwa harta benda anak yang
belum dewasa tidak wajib dizakati lantaran diqiyaskan dengan haji. Sebab,
menunaikan ibadah haji itu tidak wajib bagi anak yang belum dewasa (mukallaf).
4) Qiyas Syibhi,
yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih,
tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan
mulhaq. Misalnya, seoerang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang. Budak
yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena memang
keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga diqiyaskan dengan harga
benda, karena keduanya sama-sama dimiliki. Namun, budak tersebut diqiyaskan dengan
harta benda, yaitu sama-sama dapat diperjualbelikan, dihadiahkan, diwariskan,
dan sebagainya. Karena sahaya tersebut diqiyaskan dengan harta benda, mak
ahamba yang dirusakkan itu dapat diganti dengan nilainya.4
5. Kehujjahan Qiyas
Para ulama berbeda pendapat
tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas dalam hukumhukum syaria/agama. Dalam
hal ini ada beberapa pendapat di antaranya:
a. Jumhur ulma
ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat hukumhukum
syara’/agama. Alasan mereka adalah :
1) Firman Allah
SWT. QS. Al-Hasyr: 2 :
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَخۡرَجَ ٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمۡ لِأَوَّلِ ٱلۡحَشۡرِۚ مَا
ظَنَنتُمۡ أَن يَخۡرُجُواْۖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمۡ حُصُونُهُم مِّنَ
ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنۡ حَيۡثُ لَمۡ يَحۡتَسِبُواْۖ وَقَذَفَ فِي
قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعۡبَۚ يُخۡرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيۡدِيهِمۡ وَأَيۡدِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ ٢
Artinya: “.....Maka ambillah
(Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai
wawasan.”
I’tibar dalam ayat ini berasal
dari kata ubur yang artinya melewati atau melampaui. Sebab memang qiyas ialah
melewati/melampaui dari hukum ashl (pokok) kepada hukum soal cabang (furu’i).
Jadi qiyas termasuk ke dalam ayat tersebut.
2) Firman Allah QS.
An-Nisa: 59 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya: “…
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),…”
Adanya pertentangan dalam suatu
perkara dan dianjurkannya mengembalikan perkara itu di kala tidak ada nashnya
kepada Allah (Quran) dan kepada Rasul-Nya (sunah) dimana di dalamnya mencakup
segala perkara, termasuk juga menghubungkan suatu perkara yang tidak ada
nashnya kepada suatu perkara yang telah ada nashnya.
b. Sebagian ulama
Syi’ah dan golongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzam juga ulama-ulama
Zhaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.
Alasan mereka ialah, semua
peristiwa (perkara) sudah ada ketentuannya dalam Al-Quran dan sunah baik yang
ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau tidak seperti isyarat nash (hukum
yang tersirat) atau yang menunjukkan nash. Karena itu, kita tidak memerlukan
qiyas sebagai hujjah.
c.
Al-Quffalusysyasyi, dari golongan Syafi’iyah, dan Abu Hasan Al-Bashri dari
golongan Mu’tazillah. Keduanya berpendapat bahwa penetapan hukum melalui qiyas
wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syariat.5
Daftar pustaka:
Chaerul Uman, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: h. 93-95
Chaerul Uman, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: h. 95-96
Chaerul Uman, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 1998: h. 96-99
Chaerul Uman, dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: h. 99-101
Chaerul Uman, Ushul
Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 2001: h. 101-103
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak