‘AMR DAN NAHI
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH
‘AMR
DAN NAHI
1. ‘Amr
a. Pengertian ‘amr
Hakikat pengertian ‘amr
(perintah), sebenarnya ialah “Lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan
apa yang dimaksudkan”.
Ali Hasbullah mendefinisikan
‘amr sebagai berikut “‘Amr ialah suatu ketentuan perbuatan dari pihak yang
lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya”.
Dalam hal ini, tidak diharuskan
bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh,
walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena
derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh.
Sebagian ulama
mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada
orang yang disuruh.1
b. Sighat ‘amr
‘Amr merupakan lafal yang
mengandung pengertian perintah. Sighat ‘amr berbentuk sebagai berikut:
1) Berbentuk Fi’il ‘amr/perintah langsung.
Misalnya, firman Allah qs al-baqarah ayat 43 اَقِيْمُوا
الصَّلَوةَ Artinya: “Dirikanlah salat.”
2) Berbentuk mudhari’ yang didahului oleh lam
‘amr. Misalnya, firman Allah QS. Al-Hajj : 29:
...وَلۡيَطَّوَّفُواْ
بِٱلۡبَيۡتِ ٱلۡعَتِيقِ ٢٩
Artinya: “... dan hendaklah melakukan thawaf
sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”.
3) Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafadz
faradla, kutiba, dan sebagainya.
Bentuk ‘amr kadang-kadang keluar
dari maknanya yang asli dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang
dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.
Imam Ar-Razi berkata di dalam
kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah sepakat menetapkan bahwa bentuk
If’al (fi’il ‘amr) dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan qarinah yang
mempengaruhinya, lihat contoh di bawah ini.
a) Ijab (Wajib). Contoh firman Allah QS.
Al-Baqarah : 43:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ ... ٤٣
Artinya: “Dan dirikanlah salat” .
b) Nadab (Anjuran). Contoh firman Allah QS.
An-Nur : 33:
...فَكَاتِبُوهُمۡ
إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيهِمۡ خَيۡرٗاۖ ...٣٣
Artinya: “Dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu.”
c) Takdib (Adab) Contoh hadis Rasul “Makanlah
apa yang ada di depanmu”.
d) Irsyad (Menunjuki). Contoh firman Allah QS.
Al-Baqarah: 282:
...وَٱسۡتَشۡهِدُواْ
شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ ... ٢٨٢
Artinya: “Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki (diantaramu)”.
e) Ibahah (Kebolehan). Contoh firman Allah QS.
Al-Baqarah: 187:
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ
ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ
لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ
عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ
لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ
مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ
فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧
(f)
Tahdid (Ancaman). Contoh firman Allah QS. Fushilat : 40:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ
فِيٓ ءَايَٰتِنَا لَا يَخۡفَوۡنَ عَلَيۡنَآۗ أَفَمَن يُلۡقَىٰ فِي ٱلنَّارِ
خَيۡرٌ أَم مَّن يَأۡتِيٓ ءَامِنٗا يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ ٱعۡمَلُواْ مَا شِئۡتُمۡ
إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٤٠
(g)
Inzhar (Peringatan). Contoh firman Allah QS. Ibrahim : 30:
... قُلۡ تَمَتَّعُواْ فَإِنَّ مَصِيرَكُمۡ
إِلَى ٱلنَّارِ ٣٠
Artinya:
“Katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah
neraka.”
h) Ikram (Memuliakan). Contoh firman Allah QS.
Al-Hijr : 46:
ٱدۡخُلُوهَا
بِسَلَٰمٍ ءَامِنِينَ ٤٦
Artinya: “(Dikatakan kepada mereka): masuklah
ke dalamnya dengan sejahtera dan aman”.
i) Taskhir (Penghinaan). Contoh firman Allah
yang artinya: “... Jadilah kamu sekalian kera yang hina.
j) Ta’jiz (Melemahkan). Contoh firman Allah
QS. Al-Baqarah : 23:
.... فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّن مِّثۡلِهِۦ .... ٢٣
Artinya:
“Datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama Al-Quran itu.”
k) Taswiyah (Mempersamakan). Contoh firman Allah
QS. At-Thur : 16:
....فَٱصۡبِرُوٓاْ
أَوۡ لَا تَصۡبِرُواْ ... ١٦
Artinya: “... maka
bersabar atau tidak ...”.
l) Tamanni
(Angan-angan). Contoh Syi’ir Arab dari Ummul Qais “Wahai sang malam!
Memanjanglah, Wahai kantuk! Menghilanglah, Wahai waktu subuh! Berhentilah
dahulu, Jangan segera datang m) Doa (Berdoa). Contoh firman Allah QS. Shad :
35):
...رَبِّ
ٱغۡفِرۡ لِي ... ٣٥
Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”.
n) Ihanah (Meremehkan). Contoh firman Allah
QS. Ad-Dukhan : 49:
ذُقۡ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ
... ٤٩
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang
yang perkasa lagi mulia”.
o) Imtinan. Contoh firman Allah QS. An-Nahl :
114:
فَكُلُواْ مِمَّا
رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ .... ١١٤
Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan Allah
kepadamu”.2
c. Dilalah dan Tuntunan ‘amr
Menunjukkan wajib,
berdasarkan kaidah: “Arti yang pokok dalam ‘amr ialah menunjukkan wajib
(wajibnya) perbuatan yang diperintahkannya)”.
Contoh firman Allah QS. Al-A’raf: 12:
... مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ
أَمَرۡتُكَۖ ق.... ١٢
Artinya: “Apakah yang menghalangimu untuk
bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?”
Ayat pertama bukan ditujukan
untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap iblis karena enggan
bersujud kepada Adam tanpa alasan, ketika iblis diperintahkan sujud.
Perlu diketahui bahwa suatu
perintah atau suruhan yang tidak ada qarinah-nya, dengan suatu hal yang lain
menunjukkan arti kemestian (wajib). Menunjukkan anjuran (nadab) berdasarkan
kaidah: “Arti yang pokok dalam ‘amr/suruhan itu ialah menunjukkan anjuran (nadab).”
Suruhan itu memang adakalanya
untuk suruhan (wajib), seperti salat lima waktu, adakalanya untuk anjuran
(nadab), seperti salat dhuha. Di antara kemestian dan anjuran yang diyakini
adalah anjuran.
Kesimpulannya, ‘amr tetap
mengandung arti wajib, keciali apabila ‘amr tadi sudah tidak mutlaq lagi, atau
terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga ‘amr berubah
pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan
hukum sunah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang
mempengaruhinya.3
2. Nahi
a. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya
mencegah, sedangkan menurut istilah adalah “Lafal yang menyuruh kita untuk
meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi
dari kita.”
Abdul Hamid Hakim dalam Al-Bayan,
menyebutkan nahi adalah “Perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan”.
Adapun maksud nahi yang
sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti disebut dalam sebuah kaidah:
“Bermulanya larangan itu menunjukkan haram (dilarang)”.
Contoh firman Allah QS. Ali Imran : 130:
...لَا
تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ ... ١٣٠
Artinya: “Dan janganlah kamu makan riba dengan
berlipat ganda”.
Karena La ta’kulu berbentuk
nahi, sedangkan ketentuan nahi itu ialah tahrim, maka makan harta riba itu
hukumnya haram, karena tidak diridhai Allah SWT. Inilah hukum asli dari nahi.
Kita mengetahui bahwa nahi itu
menunjukkan hukum haram, berdasarkan firman Allah yang artinya: “Dan barang
siapa yang membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, akan dimasukkan ke dalam
neraka dengan kekal dan baginya siksaan yang pedih.” (QS. An-Nisa’ : 13).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa
orang yang melanggar batas Allah (termasuk semua larangan-Nya) dia akan
disiksa, padahal ketentuan haram itu adalah sesuatu yang apabila dilakukan akan
disiksa. Oleh karena itu, An-Nahyu menunjukkan haram, karena ada hubungannya
dengan siksaan.
Kecuali apabila ada qarinah yang
mempengaruhinya maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi
menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya, sesuai dengan qarinah yang
mempengaruhinya itu.
Ada ulama yang berpendapat bahwa
An-Nahyu yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang
lebih mu’tamad (kuat) ialah pendapat jumhur di atas tadi.4
b. Sighat Nahi
Kalimat larangan yang tidak
memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Jika kalimat itu
mempunyai qarinah, tidak menunjukkan hakikat larangan, seperti firman Allah
SWT. QS. An-Nisa’ : 43:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ ...٤٣
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jangan
kamu kerjakan salat dalam keadaan mabuk” .
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian,
antara lain sebagai berikut :
1) Untuk doa: “Hai Tuhan kami, janganlah
engkau hukum kami, bila kami lupa atausalah”.
2) Untuk pelajaran:
“Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu.”
3) Putus asa: “Janganlah kamu cari-cari alasan
hari ini”
4) Untuk
menyenangkan (menghibur): “Jangan kamu gentar bahwa sesungguhnya Allah bersama
kita”.
5) Untuk
menghardik, seperti perkataan majikan kepada budaknya. “Jangan engkau lakukan
perbuatan ini.”
Adapun Nahi itu sendiri terbagi dalam:
a) Nahi yang menunjukkan
perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang menyebabkan perbuatan
yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak).
b) Nahi yang
menunjukkan Juz’i dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya, larangan
jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
c) Nahi yang
menunjukkan sifat perbuatan yang tak dapat dipisahkan, misalnya larangan
berpuasa pada hari raya, karena hikmah dari hari raya itu ialah agar tiap orang
dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
d) Nahi yang
menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan
perbuatan itu. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu salat Jumat yang akibatnya
akan meninggalkan Jumat.5
c. Dilalah dan Tuntutan Nahi
1) Perintah sesudah larangan
Setelah memperhatikan segala
perintah syara’ yang datang sesudah larangan, ternyata bahwa perintah sesudah
larangan itu menunjukkan boleh (mubah), terkecuali jika ada nash yang
menegaskan kefarduannya.
2) Suruhan tidak menghendaki berulang kali
dikerjakan
Suruhan-suruhan syara’ tidak
menghendaki supaya orang yang disuruh itu berulang-ulang mengerjakannya dan
tidak pula menunjukkan kepadanya agar satu kali saja mengerjakannya. Perintah
itu hanya memberi pengeraian bahwa perbuatan tersebut harus kita kerjakan. Oleh
karena itu, cukuplah kita menunaikan perintah tersebut dengan sekali
mengerjakan saja.
3) Suruhan tidak menghendaki segera dikerjakan
Suruhan yang di-qaid-kan dengan
waktu akan gugur bila gurur waktunya karena harus dikerjakan dalam waktunya, sebagaimana
yang dijelaskan dalam bab hukum.
Jika tidak terpaut dengan waktu,
seperti kaffarah dan mengqada puasa yang ditinggalkan, maka para ahli ushul
berselisih paham.
Ada yang menyuruh untuk
menyegerakan pelaksanaanya, ada pula yang tidak. Menurut pertahqikan yang benar
dari paham-paham ini ialah boleh menakhirkannya asal saja tidak
meninggalkannya. Namun, sangat disukai bila dilakukan dengan segera. Hal ini
bila kita hanya melihat dzat suruhan. Akan tetapi, banyak keterangan agama yang
menyuruh kita segera melaksanakan perintah, di antaranya firman Allah QS. Ali
Imran : 133:
۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ .... ١٣٣
Artinya:”Dan cepat-cepatlah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan surga-Nya”.
Dan Allah SWT. Berfirman juga dalam QS.
Al-Baqarah: 148:
... فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ ... ١٤٨
Artinya: “Maka
berlomba-lombalah kepada kebaikan”.
Ayat ini memberi pengertian
bahwa kita diperintahkan menyegerakan penyelesaian tugas. Oleh karena itu,
dapatlah kita katakana, bahwa golongan yang membolehkan kita menunda
(memperlambat) itu melihat pada pengertian yang diperoleh dari suruhan saja.6
d. Masa Berlakunya Nahi
Dalam sebuah kaidah
disebutkan bahwa: “Melarang suatu perbuatan itu, mengandung ketentuan perintah
melakukan kebalikannya”.
Maksudnya, kalau ada kata-kata,
“janganlah berdiri!” Berarti “Duduklah”, karena kebalikan dari berdiri adalah
duduk. Melarang Sesuatu Mengakibatkan Perbuatan yang Dilarang Hukumnya menjadi
Rusak Tidak Sah. Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan
mengakibatkan perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi
tidak sah (fasid), sama saja perbuatan itu termasuk hissi, seperti, zina atau
termasuk syar’i seperti, salat.
Ada sebagian ulama termasuk Iman
Al-Ghazali dan Imam Razi berpendapat bahwa: “Nahi itu tidak menyebabkan
fasidnya perbuatan yang dilakukan kecuali hanya dalam soal ibadah saja dan
tidak di dalam muamalah”.
Dan sebagian dari ulama
Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Muktazilah berpendapat bahwa sesungguhnya nahi itu
tidak menyebabkan fasidnya perbuatan yang dilarang, tidak pada luqah, dan tidak
pada syara’ dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah.7
Daftar pustaka:
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 107-108
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 108-114
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 114-117
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 117-119
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 119-121
Chaerul Uman, Dkk., Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, 2001: H. 121-122
Chaerul Uman, Dkk.,
Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 2001: H. 122-123
Komentar
Posting Komentar
berkomentar dengan bijak