Mudarat Daging Babi


Ke 83
Mudarat Daging Babi

Yusuf Qardhawi berfatwa mengenai makanan haram dengan mengambil dasar hukum QS Al-Baqarah (2) ayat 173, Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih tidak menyebut nama Allah diharamkan oleh Allah. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Allah, setelah dieksplorasi manusia, memiliki hikmah yang sangat besar.

Sesungguhnya Allah menyimpan hikmah yang lebih besar dari apa pun yang dititahkan-Nya. Titah ini pun mengandung sebuah ujian, siapakah yang imannya sangat kuat di antara hamba-Nya, yang menerima ketentuan-Nya tanpa banyak bicara, tanpa tahu apa dan mengapa, karena sedemikian kuatnya keyakinan mereka, seperti generasi sahabat Nabi Saw. Sami‘nâ wa atha‘nâ (kami dengar dan kami taati). Generasi ini adalah generasi terbaik yang dilahirkan sepanjang sejarah semesta. Generasi setelahnya (para tabi‘in) pun, yang menghafal Al-Quran dan hadis lebih banyak, memiliki ilmu-ilmu lebih tinggi, kalah posisi di sisi Allah dibandingkan dengan para sahabat. Dalam hal ibadah sekalipun, meski ibadah para tabi‘in lebih banyak, di bandingkan dengan sahabat Rasul Saw., kalah posisinya (bisa disebabkan kalah dalam niat, kepasrahan, atau ketakwaan kepada Allah, serta orientasi hidup, dan sebagainya).

Kami akan mengemukakan tentang mudarat daging babi, di antaranya:

1. Daging mentah babi mengandung larva, yaitu trichinella spiralis, yang menyebabkan penyakit trichinosis.

2. Daging babi juga mengandung parasit berupa cacing. Salah satunya cacing pita (taenia solium) yang sangat berbahaya karena akan mengganggu kesehatan jika sampai masuk ke tubuh manusia.

3. Daging babi memiliki pH (derajat keasaman) paling rendah, yaitu 2,0, dibandingkan dengan pH daging lainnya, sehingga sangat rentan terhadap bakteri, kuman, maupun parasit. Daging babi sangat mudah dihinggapi bakteri, kuman, dan parasit.

4. Perbandingan lemak antara daging babi, domba, dan kerbau dalam berat yang sama adalah 50% : 17% : 5% (daging babi lebih tinggi tiga kali lipat daripada daging domba). Lemak, terutama kolesterol, dalam jumlah yang melebihi takaran yang bisa diterima tubuh, akan mengganggu kesehatan.

Para ahli makanan dan gizi kadang ingin menyiasati ketentuan Allah atas daging babi. Hal yang tentu sangat tidak pantas untuk seorang Muslim. Mereka berupaya untuk membunuh parasit dan kuman penyakit yang ada dalam daging babi. Anggapan mereka, hal tersebut bisa mengubah status daging babi menjadi “sedikit” halal. Tentu tidak bisa seperti itu. Segala hukum yang Allah tetapkan adalah untuk kebaikan manusia.

Konon ada cara memasak daging babi yang bisa membunuh segala penyebab penyakit yang ada di daging babi, yaitu pemanasan yang sangat tinggi dan lama. Tetapi, perlu diketahui, pemanasan yang tinggi justru akan merusak kualitas protein daging itu sendiri. Daging tanpa kualitas protein, apa gunanya dimakan manusia? Cuma akan menjadi sampah di perut manusia.

Dari sumber lain, penulis mencatat kemudaratan babi yang lain. Pada suatu waktu, Imam Muhammad Abduh mengunjungi Prancis. Orang Prancis bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya, “Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram. Itu disebabkan, antara lain, ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba, dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sudah tidak ada sekarang. Babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkiti cacing pita, bakteri, atau mikroba lainnya?” Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Beliau meminta mereka untuk menghadirkan 2 ekor ayam jantan beserta 1 ekor ayam betina dan 2 ekor babi jantan beserta 1 ekor babi betina.

Orang-orang Prancis bertanya, “Untuk apa semua itu?” Beliau menjawab, “Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia.” Mereka memenuhi apa yang diminta sang Imam. Lalu, beliau memerintahkan agar melepas 2 ekor ayam jantan bersama 1 ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satunya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar memisahkan kedua ayam tersebut.

Setelah itu, beliau memerintahkan mereka untuk melepas 2 ekor babi jantan bersama 1 ekor babi betina. Kali ini mereka menyaksikan sesuatu yang menjijikkan dan aneh. Babi jantan yang satu membantu temannya, sesama babi jantan, untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri, atau keinginan menjaga babi betina dari temannya.

Selanjutnya sang Imam berkata, “Saudara-Saudara, daging babi membunuh ghirah (kecemburuan dalam hal yang baik) orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada pengonsumsi daging babi. Seorang suami pengonsumsi daging babi, ketika melihat istrinya bersama lelaki lain, akan membiarkannya tanpa rasa cemburu. Seorang bapak pengonsumsi daging babi, ketika melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, akan membiarkannya tanpa rasa cemburu dan waswas karena daging babi menularkan sifat-sifatnya kepada orang yang memakannya.” Itulah hikmah pengharaman daging babi.

Manusia tak pantas membantah diharamkannya daging babi hanya dengan alasan “diternakkan secara modern”. Bagaimanapun, sesuatu yang diharamkan Allah adalah tetap haram. Tak ada alasan apa pun karena ada hikmah dan kebaikan untuk manusia di balik perintah-perintah Allah.

Berikut hikmah lain tentang diharamkannya daging babi, antara lain:

Satu, seorang Muslim Jerman bernama Dr. Murad Hofman menyebutkan, “Memakan babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolesterol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi?”

Dua, Dr. Muhammad Abdul Khair menyebutkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh daging babi, “Daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan cacing trachenea lolipia. Cacing-cacing ini akan berpindah ke manusia yang mengonsumsi ‘mediator’ dari cacing-cacing ini, yaitu babi.”

Penyakit lain yang ditularkan oleh daging babi sangat banyak, di antaranya kolera babi, yaitu penyakit berbahaya yang di sebabkan oleh virus yang menyebabkan keguguran, kulit kemerahan yang ganas dan menahun (semacam kanker kulit yang ganas). Gangguan kulit ini juga bisa menyebabkan kematian dan gangguan persendian. Di samping itu juga ada penyakit berupa pengelupasan kulit, yang, menurut dugaan para ahli, disebabkan semacam benalu, sesuatu yang ditularkan babi.

Kemudaratan babi masih bisa dilanjutkan dari perilaku hewan ini yang menjijikkan. Babi adalah hewan yang kerakusannya tidak tertandingi. Ia memakan semua makanan di depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi untuk memuaskan kerakusannya. 

Ia tidak akan berhenti makan. Ia memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia atau hewan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa diamankan di hadapannya. Babi mengencingi kotorannya dan memakannya jika berada di hadapannya. Ia memakan sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah satu-satunya mamalia yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama. Sebuah perilaku yang tak memiliki etika, yang bisa ditularkan kepada manusia yang mengonsumsinya.

Mudarat daging babi yang lain, kulit pengonsumsi babi diketahui berbau tidak sedap. Daging babi, menurut penelitian ilmiah modern di dua negara Timur dan Barat, Cina dan Swedia, menjadikan pengonsumsinya menderita kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini di negara-negara yang penduduknya memakan babi meningkat drastis. Terutama di negara-negara Eropa dan Amerika, serta di negara-negera Asia, seperti Cina dan India. 

Semen tara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1:1000. Hasil penelitian ini di publikasikan pada 1986 dalam konferensi tahunan sedunia tentang penyakit alat pencernaan yang diadakan di Sao Paulo, Brazil.

Komentar

Postingan Populer