Puasa dan Imunitas Tubuh


Ke 82
Puasa dan Imunitas Tubuh

Firman Allah,

أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٤ 

Terjemahan:
........Dan puasamu itu lebih baik bagi mu jika kamu mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 184).

Sebuah penelitian tentang puasa dilakukan oleh Dr. Ahmad Zainullah, dr., Sp.P. Responden penelitiannya adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim (STAIL) Pondok Pesantren Hidayatullah, Sura baya. Beliau membuktikan bahwa puasa meningkatkan potensi responsivitas limfosit, yaitu sel yang berfungsi mengatur irama sistem imunitas (sistem kekebalan tubuh). Artinya, dengan berpuasa, tubuh tidak mudah terkena penyakit.

Penelitian Dr. Ahmad Zainuri, dr., Sp.P. selama bulan puasa pada 2003 itu menunjukkan bahwa pada akhir puasa, limfosit (sel darah putih yang fungsinya untuk membunuh kuman penyakit dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh) para mahasiswa meningkat. Jadi, puasa tidak menimbulkan sakit, justru imunitas mereka semakin seimbang.

Imunitas adalah sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Dalam keadaan sehat atau optimal, imunitas berfungsi secara efisien sehingga tubuh dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat kehadiran substansi asing. Sistem imun yang terpapar oleh imunogen atau patogen (racun) akan meresponsnya sehingga tubuh kebal terhadap zat patogen tersebut.

Puasa yang dilaksanakan dengan iman yang mantap, apalagi dengan dasar cinta, penuh harap kepada Allah Swt., persepsinya akan menuju positive coping style (bentuk penanggulangan yang positif ), sehingga menimbulkan ketenangan dan ketenangan dapat memperbaiki imunitas. Pada penelitian ini dibuktikan bahwa puasa dapat menjadikan seseorang tenang dan jauh dari stres.

Puasa yang mencapai fase ketenangan merupakan stress coping mechanism (mekanisme penanggulangan stres) yang positif. Ini dapat mengubah kualitas stres ke fase adaptasi, sehingga puasa ditanggapi sebagai stimulus (rangsangan) yang menyenangkan (eustress). Pusat reward (pengembalian di hipotalamus otak) akan merespons berupa penurunan pelepasan Corticotropin Relea sing Hormone (CRH).

Pelepasan hormon CRH yang terkendali akan menyebabkan sekresi (pengeluaran) Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) oleh hipoisis anterior (hipoisis anterior adalah bagian otak) juga terkendali, sehingga pelepasan kortisol sebagai salah satu hormon stres ke dalam darah juga terkendali sehingga stres orang yang berpuasa juga terkendali.

Menurut Dokter Ahmad Zainullah, puasa juga bisa menurunkan stimulasi sistem saraf simpatetik pada tahap akhir puasa (Ramadhan). Selama 11 bulan, manusia menumpuk stres fisik. Meskipun sebenarnya stimulasi sistem saraf simpatetik yang berlebihan selama aktivitas harian diharapkan menurun dengan shalat lima waktu atau tidur yang efekif. Namun, apabila aktivitas harian sedemikian besarnya, stres harian tersebut masih tersisa setelah bangun tidur. 

Dengan puasa berlandaskan iman yang mantap, penurunan stimulasi saraf simpatetik terjadi selama sebulan berpuasa sehingga diharapkan dapat mengurangi atau meniadakan sisa stres yang bertumpuk selama 11 bulan beraktivitas. Setelah berpuasa, kondisi kesehatan akan optimal. “Itu sudah dibuktikan secara ilmiah,” kata Dokter Ahmad Zainullah.

Komentar

Postingan Populer